Syekh Yusuf al-Makassari: Laku Intelektual, Perjuangan, dan Ajarannya

Yusuf al-Makassari dilahirkan di Goa, Sulawesi Selatan pada 8 Syawal 1036 H/3 Juli 1629 M. lingkungan tempat al-Makassari hidup adalah lingkungan yang agamis. Oleh karena itu, tak heran bila ia memiliki semangat dan kemauan yang kuat untuk belajar agama Islam lebih dalam. Al-Makassari mengawali belajarnya kepada guru kerajaan yang bernama Daeng Ri Tasammang. Bidang keilmuan yang dipelajari al-Makassari saat itu yakni fiqh, tauhid, dan tasawuf. Ketika usianya menginjak 18 tahun, al-Makassari memutuskan pergi ke Banten untuk melanjutkan aktivitasnya dalam mencari ilmu. Ia berangkat pada tanggal 22 September 1644 dengan menumpang kapal Melayu.

Setelah merasa cukup berada di Banten, al-Makassari lantas belajar kepada Nuruddin al-Raniri di Aceh. Di penghujung belajarnya kali ini, al-Makassari diberi ijazah tarekat Qadiriyyah oleh gurunya tersebut. Merasa masih haus ilmu, al-Makassari kemudian pergi ke Timur Tengah untuk melanjutkan belajarnya sekaligus menunaikan rukun Islam yang ke-5. Ia berangkat sekitar tahun 1649 M. Tempat yang pertama didatangi al-Makassari adalah Zabid, Yaman. Ketika itu al-Makassari berguru kepada 2 orang yang masng-masing memberinya ijazah tarekat yang berbeda. Syekh Abu ‘Abdillah Muhammad ‘Abd al-Baqi memberinya ijazah tarekat Naqsabandiyyah, sementara Sayyid ‘Ali memberinya ijazah tarekat al-Sa’adah al-Ba’alawiyyah.

Saat datang musim haji, al-Makassari lantas pergi ke Mekkah dan Madinah untuk melaksanakan ibadah haji, ziarah ke makam Rasulullah saw, sekaligus melanjutkan masa belajarnya. Al-Makassari kala itu kembali mendapat ijazah tarekat. Kali ini yang ia dapat adalah ijazah tarekat Syattariyah dari Syekh Ibrahim Hasan ibn Syihab al-Din al-Khudri al-Kurani. Perjalanan al-Makassari dalam mencari ilmu tak berhenti di situ, ia kemudian pergi ke Damaskus. Saat di Damaskus, al-Makassari berguru kepada Syekh Ayyub ibn Ahmad ibn Ayyub al-Dimasyqi al-Khalwani dan mendapat ijazah tarekat Khalwatiyyah.

Sekitar tahun 1670 M, al-Makassari pulang dari aktivitasnya mencari ilmu di Timur Tengah. Namun, saat itu bukan tanah Sulawesi yang ia tuju, ia justru kembali ke Banten. Penyebab dari hal tersebut yakni; pertama, saat itu Banten adalah tempat yang harus dilewati apabila seseorang berangkat dari Arab menuju Makassar; kedua, Kerajaan Gowa kala itu telah ditundukkan oleh Kerajaan Bugis Bone yang telah menjalin kerja sama dengan pihak Belanda. Suasana Banten sendiri kala itu tengah mendukung untuk ditinggali al-Makassari. Sebab, Kerajaan Banten tengah dikuasai oleh pangeran Surya yang berganti nama menjadi Sultan Abdul Fattah. Ia mendapat gelar Sultan Ageng Tirtayasa dan memegang tampuk kekuasaan sekitar tahun 1651 hingga 1682. Ia merupakan sahabat karib dari al-Makassari.

Baca Juga:  Baghdad Sebagai Pusat Peradaban Islam: Perkembangan Intelektual Peradaban

Karena telah mengenal al-Makassari cukup lama, Sultan Ageng Tirtayasa telah mengetahui kapasitas keilmuan al-Makassari. Oleh sebab itu, ia lantas mengangkat al-Makassari menjadi anggota Dewan Penasihat Sultan sekaligus menunjuknya untuk mengajarkan agama Islam kepada putra-putri sultan. Keberadaan al-Makassari berhasil membuat Banten dikenal sebagai pusat pendidikan Islam. Hal tersebut ternyata menjadikan pihak VOC merasa khawatir. Pada tahun 1682, terjadi perpecahan di Kesultanan Banten. Sultan Ageng Tirtayasa harus melawan putranya sendiri, Sultan Haji, yang telah bersekongkol dengan VOC. Kala itu, al-Makassari berpihak pada Sultan Ageng Tirtayasa.

Dalam pertempuran tersebut, Sultan Ageng Tirtayasa ditawan oleh pihak lawan. Setahun setelahnya, yakni tahun 1983, giliran al-Makassari yang tertawan. Belanda kemudian mengasingkan al-Makassari ke Ceylon (sekarang Sri Lanka). Sekitar 10 tahun kemudian, al-Makassari dipindahkan ke Afrika Selatan dan di sanalah ia menutup usia pada tahun 1699 M. ia dimakamkan di Cape Town, tetapi beberapa tahun setelahnya jenazah al-Makassari dibawa pulang ke Gowa untuk dimakamkan ulang di sana.

Syekh Yusuf al-Makassari dikenal sebagai ulama di bidang tasawuf yang sangat produktif. Beberapa karya yang telah ia tulis yakni al-Futuhat al-Rabbani, Habl al-Warib, Maktub, Sirr al-Asrar, Taj al-Asrar. Pemurnia aqidah pada keesaan Tuhan merupakan konsep utama tasawuf milik al-Makassari. Ia menyatakan bahwa memang benar Tuhan mengungkapkan diri-Nya dalam ciptaan-Nya, tetapi itu bukan berarti bahwa ciptaan-Nya tersebut adalah Tuhan itu sendiri. Hal ini sama dengan yang diungkapkan al-Singkili yakni ciptaan hanyalah bayangan Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri.

Syekh Yusuf al-Makassari berpendapat bahwa tedapat 4 klasifikasi orang-orang yang beriman yakni.

  1. Al-Munafiq. Mereka adalah orang-orang yang mengucap dua kalimat syahadat, akan tetapi hatinya tidak benar-benar beriman.
  2. Al-Mu’min al-‘Awwam. Mereka merupakan orang-orang yang mengucap dua kalimat syahadat dan benar-benar melekatkannya dalam nurani mereka.
  3. Ahl al-Khawash. Mereka adalah orang-orang yang beriman dan menyadari implikasi pernyataan keimanan mereka dalam kehidupan, baik secara lahir maupun secara batin.
  4. Khashsh al-Khawash. Ini merupakan tingkatan tertinggi dari orang berimana. Mereka adalah orang-orang yang bersyahadat dengan sungguh-sungguh dan mengamalkan tasawuf dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah swt.
Baca Juga:  Post Tradisionalisme Islam: Suatu Diskursus Kaum Intelektual Muda NU

Kaitannya dengan aktivitas mendekatkan diri kepada Allah swt, al-Makassari mengungkapkan bahwa terdapat 3 golongan dalam hal tersebut, meliputi.

  1. Golongan yang menjalankan shalat, membaca al-Qur’an dan Hadis, dan berjuang di jalan Allah swt secara konsisten. Golongan ini disebut akhyar (orang-orang terbaik).
  2. Golongan yang berjuang keras melepaskan diri dari kebiasaan buruk sekaligus menyucikan pikiran dan jiwa. Mereka ini disebut mujahidat al-syaqa (orang-orang yang berjuang melawan kesulitan).
  3. Golongan yang mencintai Allah swt lahir-batin dan berupaya terus menjaga ketaatan dengan selalu berzikir pada-Nya. Golongan ini disebut ahl al-dzikir. []

Sumber Rujukan

Ansori, Ansori. “Urgensi Etika dalam Pendidikan Akhlak Islam menurut Perspektif Yusuf al-Makassari”, EL-BANAT: Jurnal Pemikiran dan Pendidikan Islam, vol. 8, no. 1. Januari-Juni 2018.

Mulyati, Sri. 2006. Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka. Jakarta: Kencana.

Mohammad Azharudin
Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya dan Alumni Pondok Pesantren Miftachussa'adah Genteng, Banyuwangi.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Ulama