Asal Mula Baju Toga dalam Wisuda

Setiap mahasiswa yang diwisuda khususnya di perguruan tinggi, bisa dipastikan pernah memakai baju toga berwarna hitam, dengan topi hitam yang mempunyai lima ujung.

Tadi pagi ada yang bertanya ketika membersamai mahasiswa dalam profesi wisuda UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Pertanyaan sederhana tapi tak mudah dijawab, “Dari mana asal mula baju toga dengan topinya yang khas?”. Saya jawab ngaur, karena belum membuka rujukan yang sahih, hanya bermaksud guyon saja, “Mungkin dari Paskitan!”.

“Lo kok bisa dari Pakistan Tadz?!”, Tanyanya melongo, sepertinya ia sangat tidak percaya baju yang mirip baju Pakistan itu berasal dari Pakistan. “Itu hanya menebak, sepertinya memamg

Benar, dari berbagai bahan bacaan yang penulis baca, toga yang digunakan bukan berasal dari Pakistan, tapi terdapat beberapa pendapat; ada yang mengatakan berasal dari Arab, ada pula yang berpendapat berasal dari eropa. Dalam beberapa kajian, masih ada kaitannya asal mula toga antara Eropa dan Arab, yaitu ketika kaum muslimin lagi berjaya di Eropa beberapa abad lalu.

Dalam buku Islam in Europe, karya Jacques Gaudi, “Gaun Arab telah menjadi tanda prestise ilmiah hingga hari ini, terutama pada acara-acara ilmiah …” (bilarabiyah)

‏وقال جاك غودي في كتابه الإسلام في أوروبا “اللِّباس العَربي أضحى علامةَ الوجَاهة العلمية إلى اليَوم، ولا سيَما في المُناسبات العِلمية…”

Masih dalam laman yang sama, bahwa toga (gaun wisuda, jubah) berasal dari Arab. Ketika banyak mahasiswa Eropa yang lulus dari perguruan tinggi/sekolah tinggi di Andalusia pada waktu, dan kembali ke negaranya dengan mengenakan jubah Arab (toga) sebagai slogan; “Dia lulus dari universitas Muslim” (sekolah-sekolah yang berada di Andalusia, Spanyol hari ini).

Baca Juga:  Sejarah Tarawih (2) : Era Khulafaur Rasyidin

Pakaian Arab dulu sampai hari ini, kita kenal dengan jubah (jubbah), yaitu pakaian panjang sampai di bawah lutut dan berlengan panjang. Pakaian ini juga digunakan oleh hakim, prosesi wisuda, sastra fantasi dan lainnya. Ia seperti baju kebesaran. Seperti baju toga.

Pilihan toga warna hitam ketika dalam wisuda, adalah gambaran kegelapan yang mampu dimenangkan oleh ilmuan, menuju terang dan merdeka. Mungkin sama dengan apa hang disampaikan ibu Kartini, “habis gelap terbitlah terang”.

Ada pendapat lain tetang asal usul toga (gaun), bahwa jubah hitam (toga) adalah pakaian pendeta dan biarawan pada Abad Pertengahan, karena mereka yang memakai toga (jubah) mewakili para intelektual suatu negara, serta mereka bertugas mengajar siswa-siswi, dan ketika para siswa yang diajar menyelesaikan studinya, mereka menjadi seorang biarawan, dan mengenakan seragam (toga) sebagai pendeta dan biarawan.”

Pendapat lainnya, toga merupakan baju yang biasa dipakai orang Romawi kuno, yaitu sehelai kain sepanjang kira-kira enam meter yang dililitkan ke sekeliling tubuh, dan umumnya dikenakan setelah mengenakan tunik. Dan Toga ini terbuat dari wol dan tunik kerap terbuat dari linen. Setelah abad ke-2 SM, toga menjadi busana khusus pria, dan hanya warga negara Romawi yang diizinkan mengenakannya. Karena menjadi busana khusus pria, maka kaum wanita mengenakan stola. (Wikipedia). Banyak pendapat terkait dengan asal mula baju toga ini. Sedangkan asal kata toga dari kata latin, tego yang bermakna penutup. Kalau dalam bahasa Arab rida’ atau staub al-takharruj.

Dalam bilarabiyah, terkait dengan topi, mulai digunakan pada abad keempat dan kelima untuk membedakan para filosof dan seniman dari rakyat biasa, dan orang-orang Arab Muslim di Andalusia menggunakan topi ini untuk meletakkan Al-Qur’an di atasnya. Dan dalam Farah,id Baju dan topi tersebut didesain oleh Fatimah (Universitas Al-Qarawiyyin). Topinya berbentuk kotak karena Fatimah ingin siapa pun yang menggunakannya saat wisuda, pikirannya akan ingat selalu pada Baitullah atau Ka’bah yang berbentuk kotak dan berwarna hitam. Dan mungkin ada maraji’ lainnya tentang baju toga dan topi toga tersebut. Allahu’alam bishawab.

Baca Juga:  Sejarah Money Politic dalam Islam: Dari Menyuap Hakim Hingga Menyuap Rakyatnya

Pada akhirnya, baju toga adalah sebuah simbol, bahwa setelah memakai baju tersebut ia adalah bagian dari kaum intelektual, yang harus mematuhi berbagai kaidah-kaidah keilmuan yang sudah diraihnya. Baju bukan hanya untuk pakaian tetapi untuk menutupi, dan tidak hanya untuk menutupi tetapi bagian dari simbol ia digunakan, demikian juga dengan topi. []

Halimi Zuhdy
Dosen UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, dan Pengasuh Pondok Literasi PP. Darun Nun Malang, Jawa Timur.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini