Siang itu dahaga menyerang, kering terasa ditenggorokan, elak-elakan seolah ada yang mencengekram. Datang tak dijemput pulang tak diantar, sayup-sayup terdengar gemerincing lonceng yang digerakkan seorang lelaki paruh baya dengan gerobak yang didorongnya lengkap dengan segala peralatan untuk meracik sebuah es cendol.
Spontan dorongan hati amat kuat untuk mencegat bapak cendol tersebut, saya belilah satu porsi es cendol seraya mengucap kode rahasia “Pak, es cendol satu!” bergegas bapak cendol menerima kode rahasia tersebut dengan menghentikan laju gerobaknya tepat di depan saya.
Kode rahasia “Pak es cendol satu” tersebut direspon oleh bapak penjual tersebut dengan mengambil satu kantong plastik ukuran 1/4 Kg, dia masukkan es batu dan cendol kedalam plastik, disiramkan dengan sedikit gula aren cair, ditutup dengan santan yang menjadi toping diatasnya kemudian dimasukkannya satu batang sedotan yang berdiri gagah ditengah. Bapak penjual es tersebut memberikannya kepada saya satu porsi es cendol siap sruput, saya menerima itu sebagai kode transaksi, sehingga disaat yang bersamaan saya sodorkan pecahan lima ribuan kepadanya.
Dari proses yang saya ceritakan di atas membuktikan betapa ajaibnya mantra “Pak cendol satu”. Bagaimana tidak? dengan kode “es cendol” saja saya mendapatkan sesuatu yang tidak saya pinta, bahkan jauh lebih banyak dari pesanan saya. Saya hanya pesan es cendol tapi yang saya dapatkan itu justru plastik, gula, santan dan sedotan. Hal tersebut tak secara ekplisit saya sebutkan, tapi otomatis ia berikan. Sebab, ia amat faham dan mengerti bahwa hal-hal diluar es cendol tersebut merupakan hal yang wajib dimiliki customer untuk dapat menikmati es cendol buatannya. Seolah ia faham akan sebuah kaidah ma la yatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib (hal yang dapat menyempurnakan sebuah kewajiban maka wajib pulalah hal tersebut)
Sejenak berfikir, bahwa benar yang diutarakan seorang ulama betawi Almagfurlah KH. Abdurrahman Nawi (Buya Nawi) “Tanam padi rumput ikut, tanam rumput padi luput. Tanam akhirat dunia ikut, tanam dunia akhirat luput” peristiwa transaksional es cendol di atas adalah dalil aqli dari maqolah buya nawi. Allah pun menjanjikan demikian, ketika kita menjadikan akhirat sebagai orientasi hidup kita, maka kebutuhan-kebutuhan duniawi kita akan dipenuhi pula oleh-Nya, bahkan tanpa harus kita pinta. Sebagaimana ketika membeli es cendol, kita akan dapat banyak bonus tanpa harus kita pinta. Amat mustahil bapak penjual es cendol memberikan hanya cendol saja tanpa part-part lain yang mendukungnya. Begitupun Allah, ketika Allah tujuan kita, Ibadah wasilah kita, akhirat orientasi hidup kita maka mustahil Allah tak memberikan bonus-bonus lain bahkan tanpa kita pinta.
Begitupun sebaliknya, jika kita pergi ke sebuah toko dan membeli plastik, apakah kita juga akan mendapatkan es cendol? Tentu tidak. Es cendol mustahil kita dapatkan sebab yang menjadi prioritas kita adalah plastik. Sama halnya jika hal duniawi menjadi orientasi hidup kita, maka akhirat mustahil kita dapatkan. Dari kisah sederhana ini merefleksikan bahwa menyusun orientasi hidup amatlah penting, sebab jangan sampai kita kehilangan arah dan tujuan, kesalahan dalam menentukanorientasi hidup itu hanya akan menjadikan kita kehilangan pula sesuatu yang lebih besar.
Ibadah menjadi sangat luas cakupannya, bukan hanya perihal ritual saja. Jauh daripada itu, segala yang kita miliki bisa bernilai jika memiliki orientasi yang benar. Apapun profesi kita, karyawan, buruh, pegawai kantoran, driver ojek online, pelajar dan jutaan profesi lainnya bisa bernilai jika kita setting orientasinya sebagai wasilah untuk ibadah. Sehingga jangan khawatir akan kebutuhan-kebutuhan duniawi kita. Sebab Allah-lah yang Maha Mengetahui apa yang menjadi kebutuhan hamba-Nya dan akan terwujudlah sebuah harapan besar kita yang selalu diulang-ulang “Rabbana atina fid dunya hasanah, wafil akhirati hasanah waqina adzabanar”. []