Menurut Jafaruddin, Bulan Muharram merupakan Bulan pertama dalam sistem kalender Qomariyah (Kalender Islam). Sehingga satu Muharram merupakan awal Tahun Baru Hijriyah. Bulan Muharam dikenal juga dengan sebutan Syuro/ Ashyura. Berbagai tradisi dilakukan oleh masyarakat Islam di Indonesia, sehinga Banyak aktivitas tertentu yang dilakukan mulai dari tradisi amalan, Bubur merah Putih hingga kirab shalawat.
Asyura/syuro adalah tanggal sepuluh dari bulan Muharram, pada bulan ini Rasulullah menganjurkan berpuasa, “Assaumu fi Yaumi asyura yukaffiru sanah al-Madiyah” puasa di bulan ini dapat menghapus dosa –dosa yang telah lalu, begitu juga Imam Nawawi dalam kitab, Nihayatus Zain, (192). Menyatakan bahwa keistimewaan dibulan ini banyak.
Sebenarnya kalau menelusuri jejak pemikiran ulama tentang amalan di bulan ini banyak. Imam nawawi dalam karyanya¸Nihayatus Zain¸bahwa amalan di bulan Muharram terutama tanggal 10 terdapat dua belas amalan: Sholat, terutama Shalat tasbih, puasa, shadaqah, melapangkan keluarga, mandi besar, ziarah kepada orang shaleh, menjenguk orang sakit, mengusap kepala anak yatim, iktihal, memotong kuku, membaca surat al-Ikhlas 1000 kali,dan silatur Rahim. (hal: 196).
Bulan Muharram bagi orang Madura merupakan Bulan istimewa yang didalamnya diyakini keistijabahan doa. Kalau merunut sejarah pada Tahun 1999-an, Tradisi dan amalan masyarakat Madura beraneka ragam. Misalnya di kawasan timur Pulau Madura (Kabupaten Sumenep) ada tradisi memasak Bubur Merah-Putih, Mencuci keris, membaca do’a bersama, menyantuni anak yatim. Bahkan ada didaerah lain seperti di Talango ada Kirab shalawat di Bulan ini.
Demikian pula, budaya santri di Bulan Muharram pada Tanggal satu dan sepuluh , terdapat kebiasan luhur seperti melakukan Puasa Sunnah dan amalan yang diberikan oleh Kiai. Membincang Bulan Muharram mengingatkan penulis diwaktu mondok sekitar Tahun 2002. Dikala itu penulis pernah meminta bekas air basuhan kaki ibu atas perintah dari Kiai Alimuddin Bin Syamiuddin. Menurutnya “bekas basuhan kaki ibu” terdapat banyak manfaat, diantaranya akan mendapatkan ilmu barakah, diselamatkan dari gangguan perampok”.
Intinya pada Bulan Muharam atau dikenal juga dengan sebutan Asyura/syuro adalah sebagai momentum penting dalam rangka meningkatkan pengabdian kita kepada Allah. Baik melalui Ritual Ibadah Mahdah maupun amalan tradisi yang tidak bertentangan dengan syariat. Sebab menurut Kiai Hasyim As’ari dalam kitab “Risalah Ahlussunnah” “amalan yang tidak bertentangan dengan syariat tidak termasuk Bid’ah”.
Menurut Kiai Musahri salah satu tokoh langgar di Desa Gelugur, bahwa membagikan Bubur Merah-Putih akan mendatangkan rizki yang banyak. Sebenarnya pendapat beliau seiring dengan kandungan isi al-Qur’an dan Hadis. sebab keduanya juga menganjurkan untuk memperbanyak Shadaqah apalagi di bulan-bulan yang dimulyakan “Ashurul Hurum”. Oleh karena itu tradisi masyarakat Madura seperti memberi santunan kepada anak yatim merupakan budaya yang baik yang harus dilestarikan.
Tradisi Masyarakat Madura di Bulan Muharram
1- Tradisi Asyuro
Tidak asing lagi di kalangan masyarakat madura pada tanggal sepuluh dari bulan Muharram atau yang dikenal dengan Asyuro, yang dalam bahasa Madura dikenal dengan istilah “sora”. Pada tanggal 10 muharram tradisi yang sampai saat ini masih terjaga membuat bubur merah-putih, atau dalam bahasa madura dikenal dengan “tajin sora”. Sebenarnya “tajin sora” adalah terbuat dari bubur nasi dengan kuah ketan.
Kalau menelusuri tradisi ini sebenarnya sudah ada di Zaman Nabi Nuh, Imam Nawawi dalam karyannya,Nihayatus Zain,(196) menceritakan “setelah nabi Nuh selesai membuat perahu pada tanggal sepuluh muharram, Nabi Nuh mengajak kaumnya, ayo berkumpullah kamu sekalian diperahu ini, atas perintahnya, maka kaumnya berkumpul dengan membawa berbagai sayur mayur, adas, beras,dan gandum. Lalu nabi Nuh memerintahkan kaumnya “masaklah gandum ini agar selamat ”.
Maka dari kisah itulah masakan pertama kali orang muslim pertama kali setelah terjadinya wabah banjir di masa Nabi Nuh adalah masakan gandung”. Inilah yang menjadi dasar tradisi “tajin sora”.
2- Tradisi salamatan Bumi
Desa poreh merupakan bagian timur dari kecamatan Lenteng, dapat dibilang di Desa ini kental dengan tradisi keagamaan yang mengakar di masyarakat, seperti selamatan bumi. Sebenarnya tradisi salamatan bumi dilaksanakan setiap tahun. Pada awal mulanya tradisi ini di gagas oleh Kiai Rasyid pendiri pondok pesantren Al-Rasyidin. Biasanya jamaah yang hadir sekitar 5000-an orang dari berbagai latar belakang, petani, PNS, pedagang bahkan tokoh masyarakat.
Pada acara ini di awali dengan pembacaan shalawat Nariyah sebanyak 4444. Lalu dilanjut dengan pembacaan tahlil bersama dan diakhiri dengan makan bersama yang dikemas dengan Nasi Bungkus. Menurut Ustadz Rusdi pelaksanaan ini bertujuan mencari ridha Allah dan mengharap pertanian di Desa poreh sukses.
3- Nasi Barakah
Istilah “Nasih Barakah” sebenarnya di gagas oleh Kiai Imam mawardi selaku ketua Kompolan Jumat Manisan di Desa Poreh Kecamatan Lenteng. Istilah nasih barakah ini dilaksanakan setiap Bulan Muharram dengan berkumpul 5 orang dalam satu nampan lalu makan bersama-sama. Dengan suguhan nasi jagung, ikan cakalan, pendang, tempe dan terong.
Sebelum melaksanakan makan “Nasi Barakah” di awali dengan pembacaan tahlil bersama-sama dengan tujuan mencari ridha Allah dan menjalin silaturrahim antara sesama masyarakat Muslim. Setelah selesai baru saling menyapa dan menceritakan keadaan dirinya serta saling memberikan motivasi kebaikan.
Dengan demikian, semua tradisi yang masih terpelihara di madura rata-rata mendasarkan atas kisah dari ulama’ ulama’. Mulai dari tajin Sora, Nasi Barakah, hingga santunan anak yatim, kecuali tradisi salamatan bumi dan membasuh keris. Ternyata setelah penulis melacak dari berbagai referensi tidak menemukan. Meskipun tidak ditemukan dasarnya , karena hal itu tidak bertentangan dengan syariat Islam tradisi ini dirasa perlu untuk tetap dilestarikan sebagai khazanah budaya keislaman masyarakat madura. Semoga bermanfaat.[BA]
[…] Source link […]