Eksistensi Manusia Sebagai Makhluk Berintelektual

Menyoal penciptaan manusia (Adam a.s.) yang lalu kemudian oleh Allah dijadikan sebagai khalifah, menimbulkan dialog yang sangat inklusif antara Allah dan -beberapa malaikat- makhluk-Nya. Momen ini diabadikan oleh Allah di dalam al-Qur’an surat al-Baqarah (2): 30 yang secara zahir para malaikat mempertanyakan keputusan Allah. Tidak hanya itu, ayat tersebut secara implisit juga mengindikasikan penolakan malaikat terhadap keputusan Allah Swt. Alasanya adalah manusia merupakan makhluk yang suka merusak dan menumpahkan darah. Lantas mengapa nabi Adam yang notabenya sebagai manusia diberi kepercayaan untuk menjadi khalifah?

Secara substansi, surat al-Baqarah (2): 31-33 menggambarkan alasan Allah menjadikan Adam a.s. sebagai khalifah karena manusia mempunyai intelektualitas (berakal dan berpikir) yang cakap. Allah mengajari manusia (Adam a.s) secara langsung berbagai macam nama semua makhluk ciptaan-Nya, jenis wujud terbaru yang bermacam-macam, beserta ciri dan sifat khas mereka. Tidak hanya itu, Allah juga menunjukan kepada Adam mengenai segala hukum yang berkaitan dengan berkehidupan. (Lihat Imam Ar-Razi, Mafatihu al-ghaib, Juz 2, hlm. 397).

Nama-nama yang telah Allah ejakan kepada manusia (Adam a.s) mampu diserap dan dikelola dengan baik sehingga mampu masuk kedalam otak yang merupakan titik sentral pengelolaan data yang akan menjadi pengetahuan. Setelah itu pengetahuan tersebut diamalkan secara sistematis sehingga manusia mempunyai kemampuan untuk membedakan antara perbuatan baik dan buruk, memahami sekelilingnya, dan berpikir jernih. Kemampuan inilah yang menjadikan manusia sebagai mahluk yang mempunyai value yang tinggi dari pada lainya.

Al-Qur’an telah menggambarkan bahwa salah satu inti dari penciptaan manusia adalah berilmu, berintelektual, berpengetahuan, atau kata sepadanya. Hal ini dapat dicermati dengan banyaknya term ilmu atau al-‘ilm yang memiliki arti “tahu” dalam al-Qur’an. Setidaknya kata yang berkaitan dengan ‘ilm sebanyak 105 kata.

Baca Juga:  Mengapa Tidak Saling Menerima Saja?

Sedangkan derivasi kata tersebut setidaknya berjumlah 744 kata, yang meliputi term mu’lam (1 kali), yu’lamu (1 kali), ta’allama (2 kali), ‘ulima (3 kali), ‘alam (3 kali), ‘allama (4 kali), a’lama (12 kali), ma’lum (13 kali), yu’limu (16 kali), ‘alim (18 kali), i’lam (31 kali), alima (35 kali), a’lam (49 kali), ‘alamin (73 kali), ‘alim atau ulama (163 kalib), ya’lamu (215 kali). (Lihat Dawam Rahajo, Ensiklopedia Al-Qur’an, hlm. 531, cek juga Muḥammad Fu’ad ‘Abd. al-Baqī, al-Mu’jam al-Mufahrath li Alfaz al-Qur’an al-Karim, hlm. 596-610)

Meskipun demikian, tidak semua term ‘ilm yang ada dalam al-Qur’an tidak semuanya dinisbatkan kepada manusia, adakalanya pengetahuan yang dinisbatkan kepada Allah Swt., juga dinisbatkan kepada malaikat. Tetapi yang perlu dipahami bahwa term tersebut juga mengindikasikan adanya korelasi  antara penciptaan manusia dan pengetahuan, bahwa manusia diciptakan untuk mengetahui apa yang telah Allah ciptakan, dan Allah tidak akan menciptakan manusia tanpa pengetahuan Allah sendiri. Sebab itu Allah menyindir manusia yang tidak mau mempergunakan intelektualitasnya dengan baik.

Sindiran Allah bagi manusia yang menyia-nyiakan kapasitas intelektualnya bisa kita cermati melalui beberapa ayat al-Qur’an, seperti: surat al-Ahqaf (46): 26,  yang berisi sindiran Allah terhadap kaum ‘ad“Dan sungguh, Kami telah meneguhkan kedudukan mereka (dengan kemakmuran dan kekuatan) yang belum pernah Kami berikan kepada kamu dan Kami telah memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan, dan hati; tetapi pendengaran, penglihatan, dan hati mereka itu tidak berguna sedikit pun bagi mereka, karena mereka (selalu) mengingkari ayat-ayat Allah dan (ancaman) azab yang dahulu mereka perolok-olokkan telah mengepung mereka.” Imam Nawawi menafsirkan bahwa Allah telah memberikan pendengaran, penglihatan untuk meneliti, hati untuk menyakini adanya Allah tetapi mereka -kaum ‘ad- berpaling, tidak menggunakanya dengan baik. (Lihat Imam Nawawi, Marahu Labid, Juz 2, hlm. 411)

Baca Juga:  Tipu Daya Setan dalam Merusak Akidah: Sebuah Pengantar tentang Rencana Setan dan Fitrah Manusia

Kemudian juga Allah menyindir manusia yang tidak menggunakan akalnya dengan baik dengan ekspresi afala ta’qilun. Kalimat tersebut dimuat beberapa kali dalam al-Qur’an, diantaranya al-Baqarah (2): 44, 76, Ali-Imran (3): 65, al-An’am (6): 32, al-A’raf (7): 169, Yunus (10): 16, Hud (11): 51, Yusuf (12): 109. Ada juga yang ekspresi afala tatafakkarun dalam surat al-An’am (6): 50, afala yatafakkarun dalam surat az-Zumar (39): 42.

Dalam bentuk sindiran tersebut, sependapat dengan Buyah Husein Muhammad yang mengemukakan redaksi afala merupakan bentuk kritis Tuhan kepada manusia yang tidak mau berpikir, tidak mau menggunakan intelektualitasnya dengan cakap, tidak mau menerung, dan tidak mau memahami kehidupan. Dengan redaksi demikian, setidaknya Allah ingin mengatakan “kalian kok tidak berpikir? Ayolah berpikir, toh sudah diberi akal untuk berpikir”.

Lebih anjut Syekh Yusuf Qardhawi berpendapat ekspresi “tidakkah kamu berpikir, berintelektual,berakal” merupakan bentuk istifham inkari (pernyataan negatif) yang bertujuan untuk memberi dorongan atau membangkitkan semangat yang nyata. (Lihat Yusuf Qaradhowi, Al-Qur’an Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, hlm. 19)

Sangat relevan sekali, jika al-Qur’an menganalogikan manusia yang yang tidak menggunakan pengetahuan dengan baik, kemampuan intelektual dengan cakap seperti halnya binatang ternak, bahkan lebih bodoh lagi dari pada itu (al-A’raf: 179). Dalam tafsir jalalain ayat ini ditafsirkan manusia yang seperti hewan ternak adalah golongan yang mengetahui tetapi tidak mau memikirkan apa yang telah diketahui, melihat tetapi tidak mau memikirkan apa yang telah ia lihat, mendengar tetapi tidak mau memikirkan apa yang telah didengar, (Imam Jalalain, Tafsir Jalalain, Juz 1, hlm. 146)

Dari sini kita dapat memahami bahwa berintelektual merupakan fitrah yang telah Allah tanamkan pada setiap diri manusia, menangkap informasi secara nyata kemudian mengelolanya dengan cermat, lalu memikirkanya secara matang sehingga menghasilkan ilmu pengetahuan merupakan esensi dari perwujudan manusia, sebagaimana yang diuraikan diawal pembahasan. []

Mohammad Fauzan Ni'ami
Mohammad Fauzan Ni'ami biasa di panggil Amik. Seorang santri abadi pegiat gender dan Hukum Keluarga Islam.

Rekomendasi

1 Comment

Tinggalkan Komentar

More in Opini