Pesantren.id-Beberapa waktu yang lalu viral di media sosial dan platform pemberitaan terkait dengan mural yang menyinggung presiden. Ya, pada mural yang viral tersebut terpampang gambar Joko Widodo (Presiden RI saat ini) yang di kedua matanya tertulis: “404: not found.” Mural tersebut berada di Batuceper, Kota Tangerang, Banten, Jawa Barat. Mural itu diketahui dibuat oleh seseorang di terowongan inspeksi Tol Kunciran-Bandara Soekarno Hatta. Hal itu dipandang sebagai bentuk pelecehan dan penghinaan terhadap presiden. Maka bagi pembuatnya diancam(?) dengan pasal penghinaan.
Sementara bagi kelompok oposisi, mereka yang berseberangan dengan pemerintah beranggapan bahwa itu bagian dari kritik yang harus disikapi secara bijak. Tidak perlu dihadapi secara emosional, dan apalagi beranggapan bahwa mural tersebut sebagai tindakan kriminal. Debat seperti ini tidak berujung dan tidak berpangkal. Tersebar dan meluas tanpa akhir. Mereka memiliki alibi tersendiri untuk melegalkan pendapatnya. Tentu saja diperlukan kedewasaan menghadapi realitas kehidupan di negeri tercinta ini.
Mural adalah cara menggambar atau melukis di atas media dinding, tembok atau permukaan luas yang bersifat permanen lainnya (wikipedia). Beragam maksud dan tujuan dari pembuatan mural tersebut. Dari hanya sebagai iseng belaka hingga menjadi profesi yang dipandang sebagai mata pencaharian. Pada dasarnya mural merupakan perbuatan yang mubah (boleh) karena merupakan bagian dari aspek dunia kehidupan dan ekspresi diri.
Mural berasal dari bahasa Latin, murus, yang berarti dinding. Secara luas mural adalah gambar atau lukisan di media permanen, semacam dinding, tembok, atau media permanen lainnya. Seni mural sudah ada sejak zeman dahulu kala. Dilansir dari tribunjateng.com, bahwa seni mural sudah ada sejak 31.500 tahun yang lalu, tepatnya sejak zaman prasejarah.
Mural Islami
Selanjutnya adalah bagaimana menjadikan sebuah kebolehan (mubah) menjadi bermanfaat. Sehingga dari kemanfaatan ini akan berimplikasi terhadap nilai moral yang terdapat pada mural. Ungkapan-ungkapan yang terdapat dalam mural dapat bernilai aistetik (keindahan) hingga memuat ajakan terhadap kebaikan dan kebajikan. Jika ini yang termuat dalam sebuah mural, maka kemanfaatan itu akan membuahkan kebaikan. Sedangkan kebaikan itu sendiri akan menghasilkan pahala atau ganjaran.
Umumnya, mural islami dapat berbentuk kaligrafi, gambar masjid, dan model lukisan syari lainnya. Namun, sebagaimana dikatakan oleh Saiful Bahri, pemilik “Kilau Art Studio”, bahwa mural islami tidak harus kaku dan stagnan dalam satu bentuk atau model tertentu. Dengan beragam ekspresi, lukisan-lukisan lainnya dapat dimaknai sebagai mural islami. “Innallaha jamil, yuhibbul jamal, (Allah itu indah dan mencintai keindahan).” Ketika mural membawa misi kebaikan, keindahan, dan ajakan kebajikan, maka mural itu bernilai surga (kebaikan dalam keindahan).
Tidak sedikit mural islami yang dapat kita nikmati. Di masjid-masjid, di madrasah-madrasah, bahkan di tempat-tempat umum sekalipun, dapat kita lihat mural-mural indah yang mencerminkan keislaman. Karena indah itu bagian dari Islam. Sedangkan Islam itu sendiri mencintai keindahan termasuk dalam aspek moralitas sosial kemasyarakatan. Ketika mural itu memuat nilai positif, maka estetika Islam itu sendiri terpantul dari formulasi damai.
Kritik Mural
Kritik adalah proses analisis dan evaluasi terhadap sesuatu dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi, atau membantu memperbaiki pekerjaan. Kritik berasal dari bahasa Yunani kritikos yang berarti “dapat didiskusikan”. Mural dapat dijadikan sebagai media kritik. Namun perlu diperhatikan, jangan sampai mural itu menjadi penghinaan, cacian, dan makian. Jika hal ini tidak diperhatikan, bukan kebaikan yang kita dapatkan, akan tetapi menimbulkan permusuhan dan perseteruan di antara saudara kita sendiri.
Jadi dengan demikian, mural yang dimaksudkan sebagai kritik juga harus bermoral. Yaitu, mural yang dibuat dengan niat untuk kemaslahatan. Tidak boleh mural itu menyinggung orang lain. Atau jika kemudian terjadi persinggungan, maka mural itu harus segera di-remake over atau bahkan di-delete sama sekali. Sehingga tidak terjadi persinggungan yang berlarut-larut, serta kedamaian dalam persaudaraan terjalin dalam berkehidupan.
Mengkritik dengan media mural boleh-boleh saja. Hanya saja perlu dipahami bahwa kritik itu sendiri rentan terhadap permusuhan. Oleh karena itu menghindari permusuhan jauh lebih baik daripada kritik itu sendiri. Dalam sebuah kaidah fikih dijelaskan, “Alkhuruju minal mustakhlifati wajibun, (menghindari perselisihan adalah suatu keharusan).” Sehingga, sebagai masyarakat yang bermartabat mengkritik harus dibarengi dengan tindakan yang berakhlak dan bermoral.
Mural dalam ragam persoalan meliputi segala bentuk lukisan atau gambar pada media permanen. Jika dilakukan demi sebuah keindahan dan atau ajakan kebaikan, maka mural dapat menjadi ladang dakwah. Pada akhirnya, media mural tergantung kepada personal yang membuatnya. Bagaikan sebilah pisau, akan bermanfaat jika digunakan sewajarnya, dan menimbulkan problem saat digunakan untuk tindakan anarkhis. Yang pertama akan melahirkan kebaikan, sedangkan yang kedua akan menyebabkan kekejian.
Dan yang terpenting lagi terkait seni mural adalah memperhatikan dimensi sosial kemasyarakatan. Harus ada kesadaran untuk menjadikan media mural yang tidak mengganggu privasi seseorang, serta amanah terhadap ruang publik agar tidak terjadi keakuan dalam memanfaatkan ruang bagi rakyat banyak. Di dalam seni mural terdapat dimensi sosial yang harus diperhatikan agar tidak terjadi mural yang tidak bermoral. Wallahu A’lam bis Shawab! (IZ)