Ijtihad Kebangsaan: Titik Temu Nahdlatul Ulama dan Soekarno

Menjadi Nahdlatul Ulama (NU) dan memahami sosok Soekarno, berarti menjadi Indonesia”.

Ungkapan ini kiranya tidak salah untuk diucapkan. Karena keduanya bertemu dalam satu bangunan konsep ketatanegaraan, yaitu Nasionalisme. Meski konsep nasionalismenya berangkat dari perspektif yang berbeda, namun memiliki satu tujuan yang sama; negara kesatuan berdasarkan ideologi Pancasila. Soekarno dengan semangat nasionalismenya ingin membebaskan negara Indonesia dari belenggu kolonialisme-imperialisme melalui jalan perlawanannya. Sementara NU, semangat nasionalismenya dibalut dengan nilai keislaman.

Hubungan keduanya berjalan harmonis dalam mengawal bangsa dan negara. Soekarno mengenal kaum sarungan dan Nahdlatul Ulama lebih dekat ketika dibentuknya BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia). Sebuah badan yang dibentuk oleh pemerintah Jepang dengan tujuan agar mendapatkan empati dan dukungan dari bangsa Indonesia dengan menjanjikan sebuah kemerdekaan.

Soekarno adalah sosok pemimpin besar di abad ke-20 yang sangat berpengaruh juga kontroversial. Ia adalah pemersatu ulung yang mampu menyatukan berbagai macam ideologi yang berbeda ke dalam satu wadah. Salah satu pemikirannya yang kontroversial dalam menyatukan ideologi yang berbeda ialah idenya tentang upaya untuk menyatukan antara nasionalis, Islam dan komunis (NASAKOM).

Meskipun upayanya mendapatkan perlawanan keras tapi NU tetap mendukung pemikiran ini sebagai satu langkah dalam ijithad politik. Sikap NU yang meggunakan politik akomodatif kerap dianggap oportunis oleh organisasi sosial keagamaan yang lainnya. Sehingga tidak jarang NU sering mendapatkan reaksi keras terhadap tindakan politiknya yang membela Soekarno dalam menggoalkan konsep tersebut, yang pada saat itu dianggap sebagai konsepsi yang salah karena menampatkan nasionalisme, agama dan komunis dalam satu bangunan konsep ketatanegaraan (Imam Muhlis, 2013).

Di era pemerintahan presiden Soekarno, hubungan dengan Nahdlatul Ulama semakin erat. Ini bisa dilihat oleh upaya yang dilakukan Soekarno untuk terus merangkul NU agar apa yang direncanakan mendapatkan dukungan kuat dari NU. Watak NU yang akomodatif ini menjadi penyangga kebijakan-kebijakan untuk tetap menjaga pluralisme di ranah sosial, politik dan budaya.

Baca Juga:  77 tahun Indonesia, Penting Konsolidasi SDM Pemuda di level Global
Titik Temu NU dan Soekarno

Titik kesamaan antara NU dan soekarno sebenarnya bisa dilihat bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka. Keduanya sama-sama anti terhadap penjajahan dalam bentuk apapun. Sehingga keduanya berkomitmen untuk melepaskan diri dari cengkraman kolonialisme-imperialisme. Bahkan NU menjadi partner Soekarno dalam melawan penjajahan dalam pergerakan nasional.

Pergerakan nasional lahir sebagai sebuah perjuangan dan juga reaksi terhadap elemen yang menindas rakyat Indonesia. Bagi Soekarno, penjajahan harus ditumpas sampai ke akar-akarnya. Sementara bagi NU, negara Republik Indonesia harus dibela sebagai sebuah kewajiban, sebagaimana kewajiban menjalankan perintah Agama.

Dalam hal urusan yang menyangkut hajat orang banyak, Soekarno tidak segan untuk meminta pendapat dan pertimbangan tokoh Nahdlatul Ulama’. Misalnya ketika dia bertanya kepada Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari tentang hukum membela tanah air, yang kemudian KH. Hasyim Asy’ari merespons pertanyaan tersebut dengan mengumpulkan perwakilan cabang NU se Jawa-Madura untuk bermusyawarah.

Hasil dari musyawarah tersebut memutuskan sebuah seruan jihad yang mengatakan bahwa menumpas Belanda hukumnya adalah wajib, yang dikenal dengan istilah “Revolusi Jihad”. Peristiwa ini bertepatan pada tanggal 22 Oktober 1945. Tanggal ini kemudian dijadikan sebagai peringatan Hari Santri Nasional yang digelar setiap tahun dan hal ini dituangkan dalam Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015.

NU juga secara tegas menerima Pancasila yang diusulkan oleh Soekarno. Bagi NU, Pancasila adalah final, sehinga diskusi tentang relasi Agama vis-a-vis negara, atau Islam vis-a-vis Pancasila sudah dianggap selesai. NU kemudian mengakhiri perdebatan ini dengan menerima Pancasila sebagai asas tunggal negara. Bahkan keputusan ini dikukuhkan oleh NU dalam Muktamar yang ke-27 yang diselenggarakan di Situbondo dan menjadikan NU sebagai organisasi Islam yang pertama kali menerima pancasila sebagai asas tunggal negara.

Baca Juga:  Abul Hasan al-Asy'ari dan Akidah Ahlus Sunnah Waljamaah

Jika dilihat lebih dalam lagi, ada beberapa kesamaan antara NU dan Soekarno. keduanya sama-sama memiliki tendensi dan praktik keseharian yang kental dengan dunia mistik, sama-sama lahir di Jawa Timur, lahir ditengah masyarakat yang kental dengan tradisi mulai dari wayang hingga gamelan, memiliki toleransi yang tinggi terhadap pluralisme agama, tradisi dan budaya masyarkat lokal.

NU dengan tradisionalismenya, sementara Soekarno dengan Nasionalismenya. Bertemu dalam satu bangunan konsep ketatanegaraan, Pancasila. Bahkan pemikiran Soekarno tentang Marhaenisme dianggapnya sama dengan NU, yaitu sama-sama bersifat kerakyatan.

Soekarno melihat Nahdlatul Ulama sebagai nasionalis dan kerakyatan berdasarkan ajaran Islam, yang sudah tentu sangat cocok dengan ideologinya yang Nasionalis dan Marhaenis.

Setidaknya ini menjadi bukti bahwa Soekarno dan NU memiliki hubungan erat dalam menggagas, merintis dan memperjuangkan NKRI sebagai sebuah negara berdaulat yang berasaskan Pancasila. Jangan sampai Api Revolusi Kemerdekaan yang diperjuangkan keduanya hanya berakhir menjadi cerita pengantar tidur. Soekarno dan NU harus tetap hidup dalam struktur bangunan kesadaran dan warisan intelektual dari sejarah pergerakan sehingga menjadi inspirasi pejuang di masa yang akan datang. Wa-Allahu A’lam Bi as-Shawab. []

Miftahul Ulum
Mahasiswa UIN KHAS Jember

    Rekomendasi

    1 Comment

    1. […] tapi yang paling mendasar “kita harus mempunyai ketahan budaya”. Seperti pendapat Ir. Soekarno mengatakan “sejatinya membangun bangsa yang besar ialah di mulai dari membangkitkan setiap […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini