Salah satu yang terbesit di benak ketika terngiang sosok Abdurrahman Wahid ialah pemikirannya mengenai keramahtamahan Islam sebagai simplifikasi rahmat al-‘alamiin. Citra yang terpotret pada Islam ini, sebagai pengerucutan bahwa secara visi universal keagamaan dan kemanusiaan, Islam merupakan agama yang toleran. Spektrum toleran yang dimaksud ialah secara sederhana merujuk pada penjamahan perbedaan atas kemajemukan atau multikulturalisme dalam konteks ke-Indonesia-an.
Muatan toleransi yang digemakan Gus Dur sangat sarat dengan komitmen kemanusiaan untuk menjadikan persatuan dan kesatuan sebagai pondasi membangun kerukunan dan kesantunan antar umat beragama, tanpa menilik sekat perbedaan yang terbentuk secara vertikal dan horizontal. Perbedaan semacam ini jika ditelisik lebih dalam, idealnya sangat menampakkan citra bahwa perbedaan merupakaan “blessing in disguise”. Oleh karena itu, diperlukan adanya kesadaran bahwa keberhasilan menjadi ‘satu’ untuk hidup damai, rukun, nyaman, dan tentram, ketika kesemuanya bersinergi memformulasikan kalimatun sawa’ sebagai platform.
Mengingat pula Indonesia merupakan negara dengan masyarakat plural- multikultural (pluralistic society) yang terdiri dari banyak agama, suku, budaya, ras, bahasa, dan lainnya. Menandai bahwa memproyeksikan kalimatun sawa’ mutlak dibutuhkan. Pengejawantahannya, selain mengamini bahwa semua ajaran agama mengajarkan kebaikan, pun menegaskan utilitas toleransi dalam beragama, terlebih merangsang moderasi antar umat beragama (Islam washatiyah). Pasalnya, mengutip Gus Dur, bahwa “tugas kita saat ini bukan meng-Islam-kan Indonesia, tetapi meng-Indonesia-kan Islam”.
Pernyataan tersebut secara implisit mengilhami pemahaman bahwa Islam sangat toleran, fleksibel, ramah, dan sarat nilai kemanusiaan. Bahkan dalam konteks demokratisasi, Gus Dur menyerukan perlunya menghayati hakikat toleransi secara komprehensif dan holistik, bukan parsial dan fragmantaris. Hal ini yang kemudian mendorong Gus Dur melakukan internalisasi nilai keislaman dengan nilai tradisi/kearifan lokal (local wisdom) sehingga muncul wacana “Islam Nusantara”. Atau dalam langkah yang relatif jauh, eksternalisasi nilai serta kaidah-kaidah keislaman, yang disebut dengan ‘Pribumisasi Islam’.
Gagasan universal Gus Dur ini idealnya bertitik tekan pada penghormatan atas perbedaan, baik perihal keyakinan atau kebudayaan. Bahkan jika tidak berlebihan kiranya bahwa secara hierarki, pemenuhan nilai kemanusiaan lebih diprioritaskan dibanding nilai keagamaan. Memahami hal sensitif dengan cara inklusif akan mengantarkan pada citra Islam yang ramah, begitupun sebaliknya.
Gus Dur yang dikenal sebagai Bapak Pluralisme dengan menyabet penghargaan Ramon Magsaysay Award dan Mebal Valor, ajarannya perlu menjadi agenda perjuangan lanjutan dalam menghilangkan diskriminasi rasial, meniadakan penindasan, dan meminimalisasi pelanggaran HAM. Hal ini mengindikasikan bahwa beliau sangat memandang manusia dan kemanusian secara utuh dan patut mendapat perhatian lebih. Oleh karena itu, komitmen kemanusiaan, kebangsaan, dan keagamaan harus disinergikan secara posivifistik dan futuristik. Keseimbangan antara ketiganya, diharapkan merefleksikan pada semangat perbaikan atas masalah keumatan.
Dalam mengatasi masalah keumatan di Indonesia, hal yang perlu didengungkan selain toleransi sebagaimana Islam mengajarkan, ialah sikap egalitarian. Sikap yang memandang setiap orang memiliki hak (derajat) yang sama. Dengan sikap ini, paling tidak, naluri untuk menganggap orang berbeda baik secara natural (warna kulit) maupun kultural (agama dan budaya) akan terminimalisasi. Sehingga antargolongan atau antarumat beragama pun tidak berpotensi memecah belah.
Selain itu, pandangan dan sikap yang inklusif juga dibutuhkan. Keterbukaan dan kelapangan dalam menerima perbedaan sebagai sebuah kesengajaan oleh Tuhan, akan mengantarkan pada kesimpulan bahwa perbedaan ialah rahmat Tuhan yang didukung semesta. Sikap ini mengajarkan kita untuk meramu segala sesuatu tidak dengan penuh sentiment, kekerasan, terlebih mudah menghakimi (pengkafiran) seseorang.
Senada dengan itu, pluralisme pun menjadi bagian sentral yang patut diupayakan. Sebagaimana perjuangan Gus Dur dalam melepas pasung kaum minoritas pada masa orde baru, penindasan dan perenggutan hak asasi manusia ini menjadi bukti kurangnya kesadaraan atas negara Indonesia yang multikultural. Pluralisme dapat menjadi pijakan untuk menghargai segala perbedaan untuk merawat dan melestarikan kemajemukan atau kebhinekaan, yang hadirnya pun pada satu sisi merupakan kekayaan yang dimiliki Indonesia, sedangkan pada sisi lain merupakan hal yang patut diwaspadai. Sebab, kemajemukan dapat dengan mudah menyulut konflik jika dihadapi dengan tidak arif, bijak, dan baik.
Selain itu, demokratisasi sebagai target pokok dalam mengkontekstualisasikan ideologi pancasila dan nilai keislaman, yang secara nafas tidak dapat terpisahkan atau dipisahkan. Di dalamnya sarat dengan nilai kebebasan, keadilan, dan musyawarah. Pengejawantahan nilai luhur di dalamnya tidak lain merupakan visi dan cita Islam dan Indonesia, keagamaan dan kebangsaan yang harus dijalankan secara seimbang.
Berdasarkan hal itu, menyadari citra Islam yang toleran dan cita komitmen kemanusiaan yang tidak bisa secara taken for granted, maka kesadaran berjamaah oleh segenap bangsa untuk melanjutkan estafet perjuangan yang digemakan oleh Abdurrahman Wahid harus dilakukan secara sistemis dan tetencana. Wallahu a’lam bish-shawab. []