Pesantren.id–Kementerian Agama melalui Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan Madrasah terus mengkampanyekan pemahaman Moderasi Beragama kepada para pendidik dan tenaga kependidikan madrasah yang merupakan agen moderasi, salah satunya dengan cara memberikan materi tentang “Washatiyah dalam Perspektif Fikih dan Ushul Fikih”. Materi tersebut disampaikan dalam kegiatan Workshop Pengembangan Kompetensi Guru Fikih Madrasah Aliyah/Madrasah Aliyah Kegamaan yang dilaksanakan pada 18-20 Februari di Tangerang.
Mengawali perbincangan, Ahmad Ishomuddin menjelaskan tentang makna washatiyah yang tebagi menjadi 2, pertama wasathiyyat al-ummah (moderasi bagi umat) yang mengandung arti keadilan, kebaikan dan integritas adalah hal yang pantas bagi umat Islam yang menjadikannya layak menjadi saksi bagi alam semesta.
Kedua, wasathiyyat al-fardi (moderasi bagi individu) yang mengandung makna bersikap sedang dalam setiap urusan adalah dengan cara memilih yang paling utama, terbaik dan yang lebih adil. Dari kedua pengertian ini menurut narasumber yang akrab dipanggil Kyai Ishom dapat disimpulkan bahwa al-wasathiyah berarti sifat baik dan sifat utama, setiap sifat “tengah-tengah” selalu dibersamai oleh kebaikan sehingga menjadi sesuatu yang utama.
Selanjutnya Kyai Ishom menjelaskan bahwa wasathiyah dalam tafsir Al-Quran terdapat pada firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah ayat 143, sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Tafsir al-Mawardi jilid I yang disusun oleh al-Imam Abu al-Hasan al-Mawardi (364 H-450 H) menerangkan bahwa ayat tersebut menjelaskan makna tentang ummatan wasathan. Di dalamnya ada tiga penafsiran. Pertama, yakni (umat) pilihan; kedua, dari al-tawassuth (bersikap sedang) dalam semua urusan, karena kaum Muslim bersikap menengah dalam agama sehingga mereka tidak berlebihan dalam beragama dan tidak pula kurang; ketiga, yang dimaksud dengan al-tawassuth adalah bersikap adil, karena adil berada di tengah antara lebih dan kurang.
Selanjutnya Kyai yang merupakan Rois Syuriah PBNU ini menjelaskan bahwa wasathiyah dalam ushul fikih dengan mengutip pendapat ulama kontemporer yakni Abdullah Bin Bayyah dalam kitab Khithab al-Amni fi al-Islam wa Tsaqafah al-Tasamuh wa al-Wi-am yang menerangkan bahwa beragama berarti berada dalam posisi moderat (tengah), tidak ekstrim kanan (radikal) atau kiri (liberal), seperti yang pernah disampaikan oleh al-Tabi’i al-Jalil al-Hasan al-Bashri. Demikian halnya Ibnu ‘Ibad al-Nafzi berkata “berada di jalan syariat adalah hal terberat untuk dilakukan, karena berarti harus selalu bersikap adil dan berada di tengah-tengah (moderat) dalam segala hal, padahal secara naluri, nafsu seseorang condong kepada salah satu sisi“.
Islam sebagai agama yang memiliki misi untuk menegakkan keadilan, juga membawa misi untuk mewujudkan keselamatan. Tidak diragukan, bahwa Islam menjadikan relasi seluruh manusia ditegakkan atas dasar cinta dan kasih sayang, baik hubungan antar individu, kerabat, keluarga, antar komunitas, maupun antar bangsa dan negara. Relasi demikian ini menjadi fondasi bagi persaudaraan yang bersifat kemanusiaan (al-ukhuwwah al-insaniyyah) yang menjadi sifat utama dari orang-orang yang beriman. Rasulullah SAW bersabda “tidak sempurna iman salah seorang di antara kamu semua hingga kamu mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri” (HR. al-Bukhari)”. Demikian penjelasan dosen UIN Raden Intan tersebut.
Berkaitan dengan persoalan radikalisme dan terorisme yang menjadi lawan dari sikap moderat dalam beragama, sebagai umat Islam yang wasatha adalah menjadi keharusan melawan radikalisme dan terorisme yang dilakukan oleh sebagian kaum Muslim. Pencegahan terhadap segala sebab yang mengarah kepada keduanya adalah merupakan sikap moderat (tawassut) dalam beragama dan bernegara karena dua hal tersebut sangat merusak citra Islam dan merendahkan kehormatan umat Islam di mata non Muslim. Bahkan intoleransi, radikalisme dan terorisme bertentangan secara diametral dengan tujuan syariat.
Citra Islam dan kaum Muslim—dengan demikian—harus dijaga dan diperindah. Oleh sebab itu, agama tidak boleh memprovokasi peperangan, pertumpahan darah, saling memusuhi, sikap kebencian dan ekstremisme, juga tidak boleh memancing kekerasan. Realitas tragis ini merupakan penyimpangan dari ajaran agama. Hal-hal tersebut adalah hasil dari manipulasi politik agama-agama dan dari penafsiran yang dibuat oleh kelompok-kelompok agama yang dalam perjalanan sejarah telah mengambil keuntungan dari kekuatan sentimen keagamaan di hati para perempuan dan lelaki agar membuat mereka bertindak dengan cara yang tidak berkaitan dengan kebenaran agama. Hal ini dilakukan untuk mencapai tujuan yang bersifat politis, ekonomi, duniawi dan kepicikan.
Agama tidak menghasut orang kepada kebencian, kekerasan, ekstremisme dan fanatisme buta, dan setiap kaum Muslim wajib menahan diri dari menggunakan nama Allah, atau atas nama agama untuk membenarkan tindakan pembunuhan, pengasingan, diskriminasi, intoleransi, radikalisme, terorisme, dan penindasan. Sebab semua itu bertentangan dengan wasathiyat al-Islam (moderasi dalam Islam). (HNZ)