Mengosongkan ego, mendekatkan pada Ilahi

Dalam setiap perayaan Idul Adha, kisah nabi Ibrahim yang diperintahkan menyembelih putra kesayangannya selalu diangkat menjadi sebuat kerangka pesan. Kisah adalah salah satu bentuk cara menyampaikan pesan, yang maknanya tidak dapat ditangkap bila diambil sepotong -sepotong bagiannya.
Secara rasional, tidak mudah dipahami, bagaimana mungkin Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang memerintahkan ‘menyembelih’ anak sendiri? Bukankan ini bertentangan dengan ajaran dasar untuk mengasihi dan menyayangi?

Dalam studi antropologi ada istilah myth, sebagai cara penyampaian pengetahuan (mohon kata ini tidak disalah pahami dengan istilah mitos yang biasa digunakan masyarakat). Bila kita berhenti pada kerangka kisah, bisa jadi makna atau oesan dalam kisah akan lepas. Lalu bagaimana makna atau inti pesan dalam kisah ini?

Dalam Kitab Suci, (dalam al Quran pada surat As Shafat 102 Ibrahim diperintahkan menyembelih Ismail, dalam Kitab Perjanjian Lama Kitab Kejadian pasal 22a Abraham diperintahkan menyembelih putranya Ishak), namun yang tersembelih adalah seekor domba, simbol harta kepemilikan paling umum pada jaman itu.

Perintah ‘menyembelih’ jasad wadag dua hal di atas , ternyata juga mengandung makna simbolik. Ayat 28 dari surat al Anfal membantu mengantarkan kita pada makna simbolik tadi:

وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ

(Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar)

‘Seorang anak yang dikasihi, yang kemudian seekor domba yang mewakili harta berharga, merupakan hal yang umumnya dikasihi, sangat dicintai, sangat diperjuangkan dan oleh sebagian orang dianggap mewakili harga diri, dalam kisah ini perintahnya disembelih. Dengan paham bahwa anak dan harta benda adalah ujian, kita dapat menyetarakan makna penyelihan dengan menghancurkan rasa kepemilikan, yang dalam hal ini bukan merusak melainkan mendistribusikan.

Baca Juga:  Mengapa Tuhan Tidak Menjauhkan Keburukan dari Kita?

Rasa kepemilikan yang tak terkendali sering jadi perusak integritas dan rasa tanggung jawab yang mencerminkan martabat kemanusiaan.
Kita sering menyaksikan dalam kehidupan sehari-hari, rasa kepemilikan seperti ini sering jadi sumber masalah, dari pertengkaran antar kerabat, menimbulkan kesenjangan kaya miskin hingga kerusakan lingkungan hidup.

Dalam konteks kemanusiaan orang beriman, rasa kepemilikan yang tak terkendali merusak hubungan dengan Yang Ilahi. Surat Ali Imran 92 membantu memahami ini:

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

(Kamu sekali-kali tidak sampai kepada bakti (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya).

Memberikan apa yang paling dicintai sebagai bagian integral menyempurnakan bakti pada Allah, tergambar juga dalam surat al-baqarah: 177:

لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا ۖ وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ ۗ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ

(Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian yang sempurna, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.)

Bila kisah ini kita tuntas membaca, akan sampai pada inti pesan kisah nabi Ibrahim, leluhur umat bertauhid, Bapa bagi orang beriman.
Ibadah Kurban, tradisi dari Nabi Ibrahim As, bagian dari laku; membebaskan diri dari kemelekatan atas kepemilikan. Kemelekatan pada kepemilikan menunjukkan ego yang sering jadi penghalang sikap lahir batin yang berserah diri.

Baca Juga:  Qodim dan Khawadits

Jadi bukan soal apakah Ismail atau Ishak yang disembelih karena (kisah) itu adalah wadah dari sebuah pesan. Kisah yang selalu relevan bagi semua orang beriman adalah bahwa untuk sungguh-sungguh beriman, dapat berserah diri pada Tuhan, perlu kesadaran untuk membebaskan, melepas dari kemelekatan pada apa yang dimiliki, agar mampu berintegritas (membawa rahmat dan cahaya bagi semesta). Wallahu a’lam. []

Selamat merayakan Idul Adha 1443 H.
Semoga mengasah keihlasan dan kerendahan hati untuk kebaikan semua.

Listia Suprobo
Pendidik, Alumnus UGM & UIN Suka Yogyakarta Pegiat Pendidikan, Perkumpulan Pappirus

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Hikmah