Belum selesai viral kasus pembullyan yang melibatkan anak artis. Dunia pendidikan kita kembali diselimuti tangis, Bintang Balqis Maulana, santri asal Banyuwangi menjadi korbannya. Tersangka sudah ditetapkan, motif penganiayaan sementara terkonfirmasi karena kesalahpahaman. (Tapi disclaimer dulu, tidak semua pesantren ada kasus se-ngeri ini, memang ini kesalahan insan personalnya bukan sistem pesantrennya).
Kasus ini gempar dan menjadi catatan besar bagi insan pesantren, jangan mengira meskipun setiap pesantren memiliki ‘tradisi/ budaya penyelesaian masalah’ tersendiri, bagaimanapun tidak bisa terlepas dari hukum positif yang berlaku di Indonesia. Apalagi melihat kasus ini ada senioritas/ main hakim sendiri. Nah ketika kakak kelas menghakimi/ menyidang/ membully adik kelas dan menimbulkan pelanggaran hukum tetap bisa diproses di Pengadilan.
Boro-boro sesama santri, bahkan seumpama pengasuh, pengurus, ustadz ataupun petinggi pesantren lainnya menakzir/ menyidang/ menghukum santri, dengan menggunakan hukuman ala pesantren dan meskipun menurut instansi pesantren itu normal, tapi kemudian secara takaran KUHP melanggar hukum pidana, tetap bisa di Polisikan, (kecuali selesai di taraf mediasi).
Lalu bagaimana ketika waktu pendaftaran santri, sudah ada perjanjian tertulis bermaterai bahwa santri dan walinya pasrah dengan segala aturan pesantren? Aturan di Pesantren yang disepakati musti detail dan pasti juga dalam taraf wajar, apabila ada santri yang kena takzir atau pembulian yang melewati batas meskipun dengan dalih memperkuat mental ataupun mentarbiyah, secara Hukum tetap bisa dipolisikan.
Tidak hanya di Pesantren di instansi apapun bila melanggar KUHP tetap bisa di Proses. Karena Sumber Hukum kita adalah, UUD dalam hal ini pasal 28D ayat 1. “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum.” Jadi istansi yang kelihatan tempat suci, tokoh manusia yang dicap mulia, toh itu ulama, umara, kiai, priyayi, siswa maupun santri, semuanya adalah subjek hukum positif di Indonesia.
Maka teman-teman santri yang sekiranya memiliki masalah dengan santri lainnya, minimal bisa diselesaikan baik-baik dengan keluarga pesantren dahulu. Jangan mentang-mentang keberadaan kalian tidak terekspos dunia luar terus seenaknya sendiri, menerapkan hukum rimba, yang kuat yang berkuasa, yang tua memiliki hak melakukan segalanya, yang lemah wajib ngalah, yang muda diperlakukan se-enaknya.
Buang perilaku seperti itu. Hukum kita tidaklah hukum primitif, kita memakai hukum positif yang mengenal pidana dan perdata. Bukan asal pukul membabibuta ‘Meng-gojlok‘ Mentakzir, Persekusi, Mem-bully, ngece, moyo’i yang diluar batas meskipun dengan dalih memperkuat mental, mendidik dan mentarbiyah, (yang merupakan kebiasaan peninggalan santri terdahulu) sudah tidak relevan dengan zaman sekarang, mungkin akan sangat efektif bila diterapkan dizaman dahulu, akan tetapi sekarang apapun yang terjadi dilingkup pesantren, sangat mudah terekspos ke dunia luar dan tentu banyak cara mendidik yang lebih asyik daripada main mental atau fisik apalagi menghilangkan nyawa. Ingatlah kaidah تغير الأحكام بتغير الزمان والمكان “berubahnya hukum sejalan dengan berubahnya waktu dan tempat.”
Kasus diatas, selain merupakan menyalahi Hukum positif pasal 80 ayat 3, UU No 23/2002 Pasal 170 KUHP, atau pasasal 335 KUHP, juga menyalahi Yurisprudensi atau pendapat ulama salaf, diantaranya: Ketika terjadi pelanggaran, tidak boleh main hakim sendiri, musti diserahkan ke pihak berwajib. (Bughyatul mustarsyidin). Bahkan dalam konteks mentakzir pun ada sebagian ulama mensyaratkan izin dulu ke wali santrinya sebelum mentakzir (ianatuttholibin).
Kasus ini semoga menjadi yang terakhir dan sebagai pembelajaran kepada seluruh insan pesantren, supaya benar-benar lebih detail memerhatikan aktivitas sosiologis santri, entah dengan menambahkan jumlah pengurus, lebih intens berkoordinasi, menambah pengawasan maupun memanfaatkan teknologi CCTV. Tentu mengedukasi kepada santri untuk lebih memahami hukum positif di Indonesia.
Dengan begitu tiada lagi pesantren yang menghasilkan ribuan insan berbudi luhur, citranya luntur gegara segelintir oknum santri yang berulah ngawur, Bagi orangtua yang ingin mesantrenkan anak-nya, atau anaknya masih di Pesantren tidak usah khawatir, satu kasus ini tidak menggambarkan kebengisan pesantren secara umum, apabila ditelaah lebih mendalam, banyak banget sisi humanis pesantren, yang bahkan tidak ditemukan dilingkup keluarga. Semoga menjadi pembelajaran kita bersama. sekian Walloohu a’lam.
[…] Tinggalkan Hukum Rimba dan Primitif, Santri Musti Paham Hukum Positif 28 Feb 2024 oleh Ahmad Nahrowi […]