Terkait kisah kesakralan cinta Laila dan Majnun, ternyata ada saja unsur-unsur romantisme dan lika-liku perjalanan cinta yang penuh perjuangan, kaum jaman now menyebutnya “cinta butuh pengorbanan”. Layaknya pemuda-pemudi millennial saat ini ketika patah hati/sedang kasmaran satu sama lain, seketika mendadak menjadi seorang penyair yang ditujukan kepada orang yang ia cintai, bahkan mengungkapkan kesedihannya dalam bentuk tulisan-tulisan syair.
Dalam kisah yang ditulis oleh Jmaluddin Ilyas bin Yusuf bin Zakky, atau yang akrab dijuliki Nizmi Ganjavi, Laila dan Majnun digambarkan sebagai sepasang kekasih yang tengah dimabuk-mabuknya cinta, lalu dipisah dengan begitu kejam. Dari perpisahan itu, muncullah buih-buih kerinduan, dan keinginan untuk kembali bertatap muka memandang paras Laila yang begitu menawan pun tak terbendung.
Atas ketidakberdayaannya untuk bertemu sang kekasihnya, Laila, dimulailah babak pertama kegilaan sang Qais Ibn Mulawwih, yang kemudian dijuluki Majnun. Sebutan Laila pun sebenarnya nama gelar, si gadis cantik jelita itu sebenarnya bernama asli Ibn ‘Amir. Dari sini, lantas keduanya dikenal dengan Laila dan Majnun.
Syair-syair cinta yang berbalut unsur kerinduan, ketidakberdayaan, dan kelemahan Majnun atas tiadanya sang Laila si gadis pujaan hatinya, seakan mewakili betapa hancurnya hati seorang yang kasmaran lalu dipisah dengan paksa oleh keluarga Laila, yang secara kasta menjadi seorang bangsawan di negeri sebelah. Bunyi syair kemabukan cinta dan rindu Majnun sebagai berikut:
Berlalu masa, saat orang-orang padaku memohon pertolongan // Dan kini, adakah penolong yang akan mengabarkan // rahasia jiwa pada Layla? //
Wahai Layla, Cinta telah membuatku lemah tak berdaya // Seperti anak hilang, jauh dari keluarga dan tidak memiliki apa-apa //
Cinta laksana air yang menetes menimpa batuan // Waktu berlalu dan bebatuan itu akan hancur berkepingan // berserak bagai kaca berpecahan //
Begitulah cinta yang engkau bawa padaku // Dan kini telah hancur binasa hatiku // Hingga orang-orang memanggilku si gila yang suka merintih dan menangis pedih //
Mereka mengatakan aku telah tersesat // Wahai, mana mungkin cinta menyesatkan // Jiwa mereka sebenarnya kering, laksana dedaunan // Diterpa panas mentari siang //
Bagiku cinta adalah keindahan // yang membuat mata tak bisa terpejam // Pemuda mana yang bisa selamat dari api cinta? //
Lalu bagaimana dengan Laila yang juga memiliki rasa cinta dan kerinduan yang tak kalah besar dengan Majnun?, akankah ia hanya diam saja dengan meratapi taman istananya?, atau sekadar duduk manis menunggu pelayan masuk untuk menghidangkan teh manis di penjara rumahnya?. Ternyata benar apa yang sempat dikatakan oleh Jalaluddin Rumi, seorang sufi masyhur di zamannya, “cinta bisa merubah segalanya, dan kekuatannya pun melebihi dunia seisinya”. Begitulah kiranya apa yang dirasakan pula oleh Laila, ia pun nyatanya turut menulis sebuah Syair yang ditujukan kepada Majnun sebagai berikut:
“Semua yang tampak dari manusia adalah kebencian. Namun cinta telah memberikan kekuasan. Orang-orang mencemooh hubungan kita. Sesungguhnya mereka tidak tahu, betapa kerinduan yang tersimpan dalam dada”. (Laila).
Mendengar kabar sang kekasih terkurung dan terkekang di penjara istananya, Majnun pun dengan kelihaiannya menggubah syair tak henti-henti menggoreskan tinta sucinya pada secarik kertas dan dedaunan untuk sang kekasih. Bahkan ketidak berdayaannya pun menghipnotis pendengarnya seakan turut merasakan apa yang tengah dialami Majnun. Bagitu indah, menyentuh, jelasnya bikin mewek , dan kiranya bagi para jomblo di era kini bisa dipastikan akan iri dengan kelihaian Majnun merangkai kata-kata.
Layla telah dikekang dan orangtuanya mengancam // Dengan niat jahat kejam: tiada lagi harap pertemuan //
Ayahku dan ayahnya, sesak dada dan sakit hati mereka // Bukan karena apa, hanya karena aku mencintai Layla //
Mereka menganggap cinta adalah dosa // Cinta bagi mereka adalah noda yang harus dibasuh musnah // Padahal hatiku telah menjadi tawananya // Dan ia juga merindukanku //
Cinta masuk ke dalam sanubari tanpa kami undang // Bagai ilham dari langit yang datang menerjang // Lalu bersemayam dalam jiwa // Dan kini kami akan mati karenanya // Karena cinta telah melilit seluruh jiwa //
Katakan padaku, siapa orangnya yang bisa bebas dari penyakit cinta?
Tutur Majnun dalam syairnya, ketidakberdayaannya seakan meluap-luap tak terbendung. Begitu besar cinta Majnun kepada Laila, hingga ia sendiri pun lupa akan dirinya. Ketampanan dan kegagahannya pun memudar sejak kegilaannya. Lanjut Majnun dalam syairnya menuliskan sebagaimana berikut:
“Jika cinta telah menyerang, maka engkau tidak akan berdaya. Kamu tidak akan bisa menipu dirimu jika sudah cinta terhadap sesuatu”
Setalah bertahun-tahun Majnun tak kunjung menemukan cara yang tepat untuk kembali bertemu Laila, sedangkan kerinduan semakin memuncak dalam hati dan jiwanya, lalu muncullah syair-syair keinginan untuk bertemu sang Laila kekasihnya:
Duhai betapa besar bahaya ku undang, sekedar untuk bertemu denganmu // kukobarkan segala yang ada padaku // Kuubah diriku, hingga engkau pun tak mengenaliku // Kuayunkan langkah dengan tetes air mata // Dan setelah memasuki perkampunganmu // Kubuah semua tanda yang membuat orang mengenaliku //
Kuikat diriku dengan rantai baja, bagai budak hina // berjalan menengadahkan tangan meminta sedekah // Dan bocah-bocah itu tiada suka melihatku // mereka berkumpul mengelilingiku // menghardik dan melempariku, seperti anjing pengganggu //
Kini Aku hadir di dekatmu. Duhai Layla, tak mampu kutahan air mataku. Kasihanilah kelemahanku. Begitu berat penderitaanku.
Dari syair-syair tersebut, menunjukkan bahwa betapa besar rasa cinta Laila dan Majnun yang dihancurkan oleh keadaan yang tidak mendukung. Dari munculnya syair-syair tersebut, setidaknya memberikan pesan tersirat di dalamnya, bahwa segala ucapan yang keluar dari mulut atau pun tulisan yang lahir dari tangan kita, merupakan wujud kepribadian dan rasa yang tengah dialami oleh si penulis. Sama halnya yang tengah dialami Majnun, syair-syair ketidakbersayaannya menunjukkan begitu besarnya cinta kasihnya terhadap Laila.
Begitu pun Laila, yang kerap menggubah syair untuk Majnun di penjara kamarnya. Ia pun tak kalah hebat mengekspresikan kerinduan dan ketidakberdayaan atas perspisahannya dengan Majnun. Demikian dalam kehidupan yang kita alami, bahwa segala ucapan maupun tulisan kita, mewakili kepribadian dan bahkan kondisi rasa yang tengah kita rasakan. []