Indonesia merupakan negara kepulauan dan setiap masyarakat yang mendiaminya tentu memiliki ciri budaya tersendiri sehingga Indonesia sering kali disebut sebagai negara yang multi etnis, multi suku, multi agama dan multi budaya.dalam dunia pendidikan tidak sedikit sekolah yang melakukan dikotomi terhadap siswanya, bahkan sekolah-sekolah elitpun tanpa disadari telah melakukan dikotomi, seperti halnya memberikan fasilitas lebih terhadap siswa yang berasal dari kalangan elit dan memisahkan siswa yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah.
Pondok Pesantren harus mampu bertahan dan berkembang di tengah arus globalisasi. Tentu saja memiliki karakteristik mendasar yang tidak dapat dipisahkan dari karakteristik pesantren, yaitu karakteristik lembaga pendidikan Islam yang berupaya menekankan pentingnya pendidikan karakter Islami sebagai pedoman. Adapun cara hidup, masih ada pondok pesantren yang tidak hanya mengajarkan ilmu agama tetapi juga ilmu alam dan teknik.
Pondok pesantren sebagai alternatif pendidikan multikulturalisme. Dimana pendidikan multikulturalisme secara formal diwujudkan dalam bentuk pengajaran materi keindonesiaan yang telah dikurikulumkan. Sistem pengajaran di pondok modern yang didominasi Bahasa asing yaitu Bahasa Arab dan Bahasa Inggris sebagai pengantar, tidak melunturkan semangat pendidikan multikulturalisme anak didik (santri). Materi ini disusun sebagai materi utama dan perlu diajarkan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Di bidang nonformal, pondok pesantren dengan keunggulan pelatihan intensif 24 jam memiliki banyak waktu untuk memperkenalkan berbagai kursus pelatihan. Salah satunya adalah multikulturalisme itu sendiri. Pola umum yang banyak diterapkan di berbagai pesantren adalah sistem pendidikan multikultural yang dibangun dalam aturan dan disiplin pesantren. Salah satunya tentang alokasi asrama (Dacholfany, 2015).
Pondok Pesantren tidak memiliki tempat tinggal permanen untuk santri di sebuah asrama. Sampai batas tertentu, semua siswa harus mengalami perpindahan sistematis ke asrama lain. Selain itu, santri tidak boleh boros dalam bidang pakaian dan perabotan. Tidak ada dikotomi yang sempurna dalam bidang makanan dan minuman, namun beberapa mahasiswa berada di daerah yang berbeda atau di daerahnya masing-masing. Disadari atau tidak, hal ini dilakukan sebagai awal dari pendidikan multikultural untuk menumbuhkan semangat sosial untuk kebhinekaan.
Pondok Pesantren dapat dilihat dalam berbagai aspek sistem pendidikan pesantren secara keseluruhan. Ini termasuk isi dan metode pengajaran, prinsip-prinsip pendidikan, sarana dan tujuan pendidikan di Pesantren, kehidupan di Kiai dan Santri serta hubungan di antara mereka (Khusnurdilo, 2005). Masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut:
Materi pelajaran dan metode pengajaran
Pada dasarnya pesantren mengajarkan ilmu pengetahuan hanya pada sumber-sumber penelitian atau mata pelajaran kitab yang ditulis atau berbahasa Arab. Sumber-sumber tersebut antara lain Al-Qur’an beserta Tajwid dan Tafsirnya, Ilmu Aqa’id dan Kalam, Ilmu Fiqih dan Ushul fiqih, Al hadits dan Musthalahah Al hadits dan berbagai perangkat ilmiah dalam bahasa Arab. Sumber kajian ini kadang disebut sebagai Kitab Kuning. Metode umum dalam pendidikan Pesantren adalah wetonan, sorogan, dan hafalan.
Jejang pendidikan
Tingkat pendidikan di Pesantren tidak sebatas lembaga yang menggunakan sistem klasikal. Pada umumnya kenaikan tingkat santri didasarkan pada isi mata pelajaran tertentu, yang ditandai dengan penambahan dan penggantian buku yang dipelajari. Ketika seorang murid mempelajari satu kitab dan beberapa kitab dan lulus ujian yang diperiksa Kiainya, ia pindah ke kitab lain yang lebih tinggi. Jelaslah, selang waktu pembentukan pesantren tidak didasarkan pada usia, tetapi pada perolehan kitab suci yang ditentukan dari yang terendah hingga yang tertinggi.
Prinsip-prinsip pendidikan di pesantren
Nurcholish Majid dan Shulthon menjelaskan setidaknya ada duabelas prinsip yang melekat pada pendidikan di pesantren yaitu: teosentrik, ikhlas dalam pengabdian, kearifan, kesederhanaan, kolektifitas, mengatur kegiatan bersama, kemandirian, kebebasan terpemimpin, tempat menuntut ilmu dan mengabdi, mengamalkan ajaran agama, belajar di pesantren untuk mencari ijazah dan kepatuhan terhadap kiai.
Pesantren yang mempertahankan bentuk murni (tradisional) merupakan ciri khas lembaga pendidikan agama Islam yang ditetapkan sebagai pondok pesantren. Munculnya pesantren yang kini semakin beragam merupakan akibat dari dinamika perkembangan zaman yang juga mendorong terjadinya perubahan. Munculnya pesantren yang semakin terdiversifikasi saat ini merupakan akibat dari dinamika perkembangan zaman, yang juga mendukung perubahan aktual yang terus menerus, sehingga lembaga memiliki berbagai adaptasi untuk tidak bersaing dengan perkembangan waktu. Ia dapat diterima dalam masyarakat yang semakin heterogen. Oleh karena itu, walaupun terlihat jelas bahwa pesantren sedang mengalami perubahan, namun tidak mengurangi kehadirannya sebagai lembaga multikultural dalam berbagai disiplin ilmu.
Wacana multikultural dalam Islam diperkenalkan dengan konsep rahmatan lil alamin (Nurrahmawati, 2018). Dalam konsep ini, Islam menunjukkan bahwa manusia secara fisik menempati posisi yang sama. Oleh karena itu, tidak ada konsep diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, suku, ras atau perbedaan budaya. Dengan kata lain, setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang sama, termasuk pendidikan, dalam segala bidang kehidupan. Dalam dunia pendidikan, paradigma multikultural disambut baik sebagai salah satu upaya untuk membangun hubungan yang erat, kuat dan mendalam antara keragaman suku, ras, agama, budaya, dan status masyarakat. Ini merupakan langkah awal dalam membangun pendidikan yang setara untuk semua dan menghilangkan anggapan bahwa pendidikan hanya ditujukan pada kalangan tertentu. Lembaga pendidikan agama khususnya pondok pesantren merupakan lembaga yang tepat untuk penguatan pendidikan multikultural. Tidak dapat dipungkiri bahwa pesantren tidak hanya fokus pada pendidikan agama. Namun juga memberikan nilai tambah bagi pendidikan akhlak dan pengembangan potensi anak di semua pergaulan, berdasarkan sifat kekeluargaan dan gotong royong.
Pola umum yang banyak diterapkan pada berbagai pondok modern adalah sistem pendidikan multikultural yang dimasukkan ke dalam aturan dan disiplin pondok sebagai berikut:
- Di pesantren modern, tidak ada akomodasi permanen untuk siswa asrama. Hal ini memungkinkan santri untuk menjalani kehidupan yang beragam, memperluas komunitasnya dan memperluas wawasannya ke berbagai tradisi dan budaya santri-santri lainnya.
- Diberlakunya aturan yang mengikat yang melarang santri berbicara bahasa daerah. Selain bahasa utama Arab dan Inggris, memasuki lingkungan pesantren memungkinkan santri untuk berbicara bahasa Indonesia hanya pada beberapa kesempatan dan minat.
- Keberagaman berpikir dan ijtihad diajarkan kepada siswa tanpa dipaksa, atau diajarkan untuk memaksakan ide. Sistem pesantren sangat mendukung sikap toleransi terhadap perbedaan pendapat.
- Karena kuatnya sistem pendidikan 24 jam, maka waktu pendidikan ekstrakurikuler di pondok pesantren cenderung lebih lama dibandingkan dengan waktu belajar formal di dalam kelas.
- Tidak hanya untuk memberikan wawasan kepada santri tentang keragaman keyakinan, tetapi juga untuk menerapkan wawasan santri mereka ke dalam budaya dan budaya yang berbeda. Hal ini menciptakan kesadaran toleransi terhadap berbagai keyakinan yang akan dihadapi santri dalam kehidupan masyarakat di masa depan dan wawasan tentang keragaman budaya lingkungan tempat mereka tinggal.
Pendidikan multikultural merupakan suatu disiplin ilmu yang sedang menjadi pembicaraan yang cukup hangat dalam kalangan akademis. Pendidikan multikultural pada lembaga pendidikan Islam atau biasa disebut pondok pesantren tradisional menerapkan sistem pendidikan dengan konsep multikultural baik ditinjau dari subjek penelitian, sistem lingkungan, maupun status sosial individu santri. Dalam pelaksanaannya, semua siswa diperlakukan tanpa pembedaan menurut kelompok seperti jenis kelamin, suku, ras, budaya, kelas sosial, bahkan agama. Pendidikan multikultural menekankan bahwa siswa dapat memaksimalkan potensi dan keterampilan mereka tanpa menciptakan ruang ekstra di dalam dan di sekitar diri mereka sendiri.
Keberagaman sangat diperlukan bagi masyarakat yang majemuk, khususnya bagi kehidupan sosial Indonesia. Sebagai pendidikan yang ideal, Pesantren harus melahirkan nilai kebhinekaan dan tidak boleh monoton atau tertutup. Sistem pendidikan multikultural yang disatukan dengan aturan dan disiplin pesantren, yaitu lingkungan terlarang bagi santri yang tidak dapat menampung santri secara permanen di asrama dan berbicara dalam bahasa selain bahasa utama di pondok, berfikir bagi santri Memberikan keragaman untuk mengajar tanpa memaksa santri, mentolerir perbedaan pendapat dan keyakinan, dan memperoleh wawasan tentang budaya dan budaya yang berbeda. []
Daftar Pustaka
Dacholfany, M. I. (2015). Pendidikan Tasawuf Di Pondok Modern Darussalam Gontor. Jurnal NIZHAM, Vol. 4 No. 2 h. 227.
Khusnurdilo, S. M. (2005). Managemen Pondok Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka.
Nurrahmawati, S. d. (2018). Model Pendidikan Multikultural Di Pondok Pesantren. Jurnal Pedagogik, Vol. 05 No. 01.
[…] biasa, bapak memberi ijazah tidak dengan teks doa, namun dengan laku ringan: hanya mengelilingi pondok sebanyak tiga kali. Bila dalam ijazah sebelumnya saja sudah agak ganjil karena menggunakan bahasa […]