Sebagai manusia tentunya kita sudah yakin benar bahwa umur hidup kita tidak akan berlangsung lama. Kita bisa saja menghabiskannya dengan berfoya-foya, setidaknya sebelum ajal tiba. Dalam hal ini para santri menggunakan kesempatannya dengan rajin belajar, memperbanyak ibadah dan melaksanakan banyak hal yang bernilai baik lainnya. Habib Abdullah Al-Haddad dalam sebuah syairnya:
وَمَا هَذِهِ الدُّنْيَا بِدَارِ إِقَامَةٍ # وَمَا هِيَ إِلَّا كَالطَّرِيْقِ إِلَى الْوَطَنِ
“Tidaklah dunia ini merupakan tempat menetap selamanya, melainkan seperti halnya jalan menuju ke sebuah negara (yang luas dan panjang terbentang)”
Dalam perjalanan menuju ke tempat yang di sana akan menghabiskan waktu yang tidak sebentar, maka mempersiapkan bekal yang banyak adalah sebuah keharusan. Bekal yang dipersiapkan dalam hal ini adalah dengan beramal baik. Memberikan kontribusi kepada lebih banyak orang. Dalam sebuah redaksi hadits disebutkan:
خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberikan kemanfaatan kepada manusia yang lainnya”
Selain kedisiplinan, di antara yang menjadi ciri khas pesantren adalah menghormati terhadap orang lain, terutama kepada guru yang telah mendidiknya. Dalam hal ini dikenal jargon “Wa bil khidmati intafa’uu wa bil hurmati irtafa’uu”. Dengan memberikan pelayanan maka hidup akan bermanfaat, dengan takzim dan hormat maka derajat akan terangkat.
Selain kepada gurunya, adab dan tata krama juga dipraktikkan santri kepada sesama, serta manusia pada umumnya. Hal ini selaras dengan apa yang telah diungkapan oleh para ulama ahli hakikat (al-muḥaqqiqūn) bahwa esensi adab adalah:
اَلْأَصْلُ فِيْ الْأَدَبِ شُهُوْدُ النَّقْصِ عَلَى النَّفْسِ وَ الْكَمَالِ عَلَى الْغَيْرِ
“Pokok dan adab adalah memandang diri sendiri hina dan menyakiskan diri orang lain lebih mulia”.
Jika menyaksikan orang yang lebih tua secara usia, maka santri akan memuliakan dan menghormatinya, dengan beranggapan bahwa ketaatan dan keikutsertaannya dalam melaksanakan sunah Rasul Saw. adalah lebih banyak, sedang jika menyaksikan orang yang lebih muda, ia akan mengasihi dan menyayanginya, dengan beranggapan bahwa kelalaian dan kesalahan yang diperbuatnya lebih sedikit dari yang telah diperbuat.
Lantas jika berjumpa dengan dengan orang yang berbeda agama dengan kita, maka bersikap lemah dan lembut kepadanya, dengan mengakui bahwa keimanan yang dimiliki hari ini adalah atas kehendak Allah Swt. dan itu masih samar adanya, apakah kita akan meninggal dengan akhir yang baik (ḥusn al-khātimah) ataukah buruk (sū’ al-khātimah). Dengan perilaku yang semacam ini, maka santri membuktikan bahwa dirinya pantas menjadi pelita bagi masyarakat sekitarnya.
Adanya santri mampu menjadi pelita dengan akhlaknya yang terpuji serta kerendahan hati dan sikapnya yang mau memberikan pelayanan menunjukkan bahwa sistem pendidikan yang dianut di pesantren adalah sejalan dengan tujuan pendidikan nasional, yakni membentuk anak didik yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, mandiri, kreatif, aktif dan bertanggung jawab. Hal ini tidak lepas dari didikan ‘keras’ dari para pengurusnya. Lebih tepatnya, dengan ketegasan dan kedisiplinan yang tinggi.
Alhasil, kiranya tepat istilah yang dipakai teman-teman waktu sekolah di Madrasah Aliyah dulu, ‘Al-Sanatiru waratsat al-Ulama’, bahwa para santri adalah pewaris para ulama, sebagaimana sering disampaikan oleh Ust. Taufik sebagai motivasi para santrinya dalam menuntut ilmu. Hal ini sebagai kelanjutan atas sabda Rasulullah Saw. ‘al-Ulama waratsat al-Anbiya’. Maka, para santri memiliki misi untuk melanjutkan tongkat estafet menyampaikan nilai Islam yang penuh kasih sayang.
Pendidikan kemandirian di pesantren juga membentuk jiwa santri yang tidak hanya berbangga diri dan berpangku tangan pada kedua orang tuanya. Dalam sebuah moto hidup yang sering diulang-ulang para santri anggota Bahasa Arab di Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah, bahwa:
إِنَّ الْفَتَى مَنْ يَقُوْلُ هَا أَنَا ذَا # لَيْسَ الْفَتَى مَنْ يَقُوْلُ كَانَ أَبِيْ
“Sesungguhnya pemuda sejati adalah dia yang berkata ‘inilah aku’, bukanlah pemuda sejati dia yang mengatakan ‘inilah ayahku’”. []
Sumber:
Ahmad Asrori Al-Ishaqi, Al-Wadhaif, (Surabaya: Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah, 2020), 12.
Muhammad bin Salamah bin Jakfar Abu Abdillah Al-Qadla’i, Musnad Al-Syihab (Beirut: Muasasah Al-Risalah, 1986), juz. 2, hal. 223.
Ahmad Asrori Al-Ishaqi, Al-Muntakhabat (Surabaya: Al-Khidmah, 2009), juz. 4, hal. 15.