Menurut Beckenbauer, sepak bola itu adalah eine Schule der Toleranz (sekolah toleransi). Bagi Rummenigge, bola telah mendidiknya untuk menjadi toleran. Makin hari ia makin berkembang menjadi seorang profesional yang penuh toleransi.
Dan tampaknya tidak sulit bagi Rummenigge untuk mengembangkan toleransi itu. Sebab pada dasarnya, ia adalah seorang pribadi yang sederhana, suka akan harmoni, dan sangat tenang. (Sindhunata, Bola di Balik Bulan)
Pengantar
Apa yang bisa diberikan sepak bola dalam kehidupan kita? Jawabannya sudah barang tentu: apa saja bisa. Coba simak: Gus Dur, di tengah kesibukannya sebagai konsolidator demokrasi, memilih sepak bola sebagai pelarian ‘sebentar’. Bahkan seperti yang diceritakan oleh sahabatnya dari Rembang sewaktu kuliah di Mesir, Gus Dur justru lebih banyak berada di pinggir lapangan daripada termangu di perpustakaan Al-Azhar.
Bergeser ke ahli tafsir, Quraish Shihab, juga tidak kalah cintanya pada sepak bola. Mufassir yang memiliki karya berupa 15 Jilid Tafsir Al-Misbah tersebut bahkan rela menyisihkan tabungannya yang tidaklah seberapa demi menyaksikan kesebelasan Real Madrid. Klub yang diperkuat oleh Alfredo de Stefano, peraih Ballon d’Or tahun 1957 dan 1959, ternyata menjadi obat penenang bagi pakar tafsir terkemuka ini di tengah tugas-tugas perkuliahan yang menggunung.
Makanya tidak heran, kalau Albert Camus yang terkenal ‘filsuf ngeyel’ itu berujar, “Setelah bertahun-tahun lamanya sejak berkecimpung dalam dunia yang telah memberikan banyak pengalaman kepada saya, di mana saya banyak belajar tentang moralitas dan kewajiban, sungguh semua itu berkat sepak bola.”
Sistem Keyakinan
Sepak bola dimainkan tidak hanya di lapangan profesional yang disebarluaskan lewat media televisi. Giringan dan lesakan bola dapat dimainkan oleh semua kalangan; di lapangan mana saja.
Sebagai gambaran: Dulu di rumah saya, Sarang, setiap ba’da Ashar, mulai dari nelayan sampai anak kecil ingusan, berkumpul menuju dua tempat: pesisir laut dan lapangan di selatan jalan besar Pantura. Entah sekadar menjadi penonton atau penjual dadakan yang menjajakkan sajian klasik berupa es cao dan pentol, masyarakat sangat antusias sekali di waktu sore hari. Namun, untuk anak-anak yang Diniyah, tempat mengasyikkan untuk bermain sepak bola bertambah, yakni pelataran halaman Madrasah Diniyah as-Samaniyah – samping danau Sarang (gawan).
Semua berjalan normal. Kondisi sepak bola yang alamiah ini masih murni permainan melepas penat dan mencari keriang-gembiraan. Hingga mulailah saya meninggalkan kampung halaman, merantau dari satu pondok dan sekolah ke pondok dan sekolah yang lain. Mulai Lasem, Kudus, Yogya, dan sekarang Surabaya.
Semua pengembaraan saya yang masih sedikit namun berharga tersebut membuat cara memandang saya (edge) terhadap sepak bola pun berubah. Sebagai contoh, dulu di Kudus, menjelang Rajabiyah, satu kamar sibuk mempersiapkan tim yang akan didelegasikan untuk mewakili kamar. Jika dulu saat masih di Sarang saya memandang sepak bola “ya main saja”, di Kudus ini semua tidak sesimpel itu ternyata.
Anak-anak yang dipilih harus yang memiliki solidaritas dan sudah terbiasa main bareng. Mereka yang masih individual, tidak diperkenankan bermain, kecuali mampu bermain seperti Brasil: individu yang terintegrasi dengan sistem kerja sama tim. Kalau masih individual yang egois, ya mohon maaf jika tidak diberikan tempat.
Nah…dari situlah saya membaca sepak bola merupakan arena yang bisa memainkan tugas transformasi nilai-nilai kepesantrenan. Lantas apa nilai pesantren itu? Mengutip dari pendapat KH. Salahuddin Wahid, ada lima nilai kepesantrenan, yakni:
Pertama, ikhlas, tanpa pamer, riya’, atau mengharap pujian dari siapapun. Kedua, jujur yang merupakan kartu AS segala bentuk perilaku manusia. Ketiga, kerja keras yang berarti berusaha dan berjuang dengan sungguh-sungguh (ijtihad). Keempat, tanggung jawab, yakni perilaku yang dapat memandu manusia supaya tidak mengalami kegagalan dan kerugian, sebab dengannya hak dan kewajiban bisa berjalan secara harmonis. Kelima, tasamuh atau dalam ranah implementatif bersikap lapang hati, peduli, toleran, anti kekerasan, menghargai perbedaan, dan menghargai hak orang lain.
Sekarang mari terlebih dahulu kita gunakan kelima nilai itu dalam sepak bola. Mudah saja, bagi kita yang pernah hidup di pesantren, di mana sepak bola merupakan bahasan segar yang mampu menjadi obat penenang di tengah tugas hafalah, lalaran, atau lamanya kiriman datang, kelima nilai pesantren tersebut sungguh terasa dalam permainan sepak bola.
Dalam sepak bola, jika Anda tidak ikhlas bermain demi lambang di dada dan hanya berorientasi pada uang semata, Anda sudah gagal menjadi manusia yang memiliki harga diri. Pendapat tersebut bersambut mesra dengan bukti yang kita lihat selama ini dalam kehidupan sepak bola nasional.
Kasus mafia sepak bola adalah bukti nyata yang tiada keraguan di dalamnya. Kejujuran sudah diganti dengan pengaturan skor dan sogokan. Itu fakta. Dari sini, nilai pesantren memberi nasihat kepada publik pencinta sepak bola agar mempertebal kembali nilai keikhlasan dan kejujuran.
Selain itu, saat bola menggelinding kick off, pemain dituntut untuk secara sungguh-sungguh menerapkan strategi dan determinasi tinggi selama pertandingan. Kesungguhan itu menuntut pula adanya sikap tanggung jawab yang nyata.
Apabila saat menggiring bola ternyata lepas dari kontrol, maka pemain tersebut harus tanggung jawab untuk mengejar dan mendapatkan bola itu kembali dari kaki lawan. Itulah keindahan persaingan, persis seperti persaingan Ulama Basrah dan Kuffah yang saling menunjukkan kesungguhan dan kebertanggungjawaban dalam lapangan Nahwu.
Meski begitu, agar persaingan ini tidak kebablasan sampai melanggar batas-batas fair play, maka nilai kelima yakni tasammuh perlu diinsyafi oleh para pemain dan semua kalangan yang terlibat. Tanpa tasammuh atau toleransi, mustahil keberadaban sepak bola tercipta. Justru saat toleransi dinegasikan, maka permainan barbar yang terejawentah.
Dengan mengikuti perkembangan tersebut, lantas apa sebenarnya penyakit sepak bola kita sehingga selalu berlari di tempat? Menurut hemat penulis, rasisme adalah jawaban yang paling nyata. Rasisme tidak hanya penghinaan terhadap warna kulit dan sebagainya yang berbentuk formal, tetapi juga bisa beroperasi dalam bentuk ketidakprofesionalan dalam mengurus fenomena plural.
Misal, orang rasis yang ada di federasi di mana ia membenci salah satu klub, maka ia akan berusaha untuk menjatuhkan klub tersebut. Sangat tidak beradab. Belum lagi di kalangan grassroots, penonton yang rasis kerap kali membuat kacau pertandingan sepak bola. celakanya, kadang kala ujaran pelecehan yang terngiang di stadion itu didengan dan ditonton oleh anak kecil yang kelak juga menjadi suporter dewasa.
Biang Kerok Rasisme
Motif rasisme tidak pernah sama antar fenomena. Ia memiliki karakter multivalensi. Dalam dokumen yang dibuat oleh UEFA, meski basis kemunculan rasisme dapat diidentifikasi ke dalam satu kecenderungan, yakni penyerangan langsung terhadap pemain berkulit hitam, namun rasisme dapat mewabah ke banyak sisi, terutama asal usul negara dan agama.
UEFA menulis, “minorities subjected to racism will be those from neighbouring countries or regions”.
David Bryan Oxendine dalam The Relationship between Political Orientation and Race on Modern Racism (2016) membuat penjelasan yang sangat membantu terhadap kajian tentang rasisme ini. Oxendine menjelaskan, bahwa kemunculan praktik rasisme tidak bisa dipisahkan dari orientasi politik (political orientation) yang dipengaruhi oleh banyak hal, termasuk kultur.
Dengan demikian, rasisme mengalami perubahan dari masa ke masa, sebab kultur yang juga memiliki kecenderungan berubah. Oxendine selanjutnya membagi rasisme menjadi dua, yakni rasisme klasik dan rasisme modern. Rasisme klasik sering kali dilakukan secara terang-terangan (blatant overt racial prejudice) sedangkan rasisme modern lebih terselubung (racial prejudice that is covert).
Ciri rasisme klasik adalah ketidakberlakuannya isu human rights dan aktivitas ekonomi politik yang menjurus kepada jual-beli manusia untuk dijadikan budak –biasanya dialami oleh bangsa kulit hitam. Modern racism lebih eufemis atau terselubung. Bahkan, para pelaku rasis tidak menyadari kalau apa yang dilakukannya merupakan rasisme, sebab mereka menganggap hanya menggambarkan fakta yang ada.
Aktivitas rasisme modern pun lebih lunak, yakni dengan menjadikan kecenderungan di era rasisme klasik menjadi hal yang dipraktikkan secara “tidak langsung” dan insidentil. Contoh yang paling sering ditemukan banyak sekali, seperti penggunaan ekspresi kebencian atau sinisme terhadap suatu kelompok.
Jika disepakati, bahwa praktik rasisme mulai klasik sampai modern muncul seiring dengan dominasi suatu ras tertentu untuk mengakses sumber daya, maka sudah pasti analisis terhadap rasisme musti dimulai dari pemahaman terhadap orientasi ekonomi dan politik.
Di era modern, aktivitas ekonomi sudah berbicara ke ranah yang lebih luas dan tidak persoalan pasar saja, melainkan turut menghubungkan antara pasar, institusi sosial, sejarah, kultur, dan kebijakan pemerintahan dalam suatu sistem.
Jalan Keluar
Reza AA. Wattimena dalam bukunya berjudul Tentang Manusia (2016) menjelaskan, bahwa ada banyak racun yang melekat dalam pikiran manusia. Salah satu yang paling bahaya adalah pikiran dualistik-dikotomik.
Artinya, pikiran mencoba melihat dunia secara abu-abu; tidak jelas menangkap realita dan fenomena. Ia selalu menempatkan pieces of phenomena sekitarnya dalam hubungan yang tumpang tindih. Ada pihak yang menguasai, dan ada pihak yang dikuasai.
Semuanya saling mengalahkan dan menegasikan. Pikiran demikian sangat picik dan irasional serta warisan buruk stigma kolonial. Tentu saja bagi bangsa yang melawan kolonialisme, pikiran rasis menjadi musuh paling esensial.
Di sinilah peran ide pesantren menemukan tugas dan fungsinya. Menurut KH. Abdul Wahid Hasyim dalam tulisannya berjudul Perbaikan Ibadah Haji, membahas mengenai terdapatnya politik kolonial untuk mempertentangkan secara biner dua hal, yakni mayoritas dan minoritas.
Ia menegaskan:
“Sebenarnya di setiap negeri jajahan, pihak penjajah mesti mengadakan politik melemahkan golongan terbanyak (mayotitas) dan menghidupkan (bukan menguatkan) golongan kecil (minoritas). Maksudnya supaya kedua belah pihak berselisih terus-menerus. Golongan terbesar didesak dan golongan kecil disokong sekedar dapat menghadapi golongan terbesar. Akhirnya kedua golongan itu perlu pada pemerintah penjajah.”
Oleh karenanya, dalam dunia pesantren, ada ucapan dari Hadhratussyaikh Hasyim Asyari yang selalu disampaikan oleh para kiai guna mengingatkan para santri agar selalu ingat keberagaman, yakni innal haqqa yadh’ufu bil ikhtilaf wal iftiraq, wa innal bathil qad yaqwa bil ittihad wal ittifaq.
Dengan demikian, persoalannya bukanlah tentang keterwujudan ragam perbedaan, melainkan sebab pikiran picik, ketakutan, dan ketidakdewasaan. Singkatnya, yakni kebebalan pelaku rasis. Kalau kita mau mengutip teks agama, misal Qur’an, perbedaan antar manusia hadir untuk lita’arafu (saling mengenal).
Nah, kata lita’arafu yang berakar pada kata ‘arafa dalam bahasa Arab memiliki arti mengenal. Dengan demikian, orang yang ‘arif merupakan pribadi yang sudah mengenal dirinya, lingkungannya, dan Tuhannya. Prinsipnya, kita sepakat, bahwa tidak ada Tuhan yang diskriminatif. Jadi, apabila ada orang yang berperilaku diskriminatif apalagi lewat rasisme, bisa dikatakan ia tidak ‘arif –atau konkritnya– bijaksana.
Proses pengenalan ini berada di ranah kesadaran (consciousness). Oleh sebab itu, maka kebijaksanaan tidak harus menunggu berumur, pun tidak teragregasi di tubuh para intelektual. Bahkan, orang yang paling intelektuil sekalipun juga bisa rasis, seperti Samuel Morton yang sangat pintar sekali men-sains-kan kerasisan yang mendapat dukungan dari pemilik budak.
Artikel ini juga tayang di tirto.id, 2018.