Membahas tentang Annikahu Sunnati. Secara bahasa, “sunnah” maknanya adalah jalan, kadang ia juga diartikan gaya hidup. Namun demikian, ada kategori-kategori tertentu dalam memaknai sunnah, tergantung dari disiplin ilmu mana kita memandang. Lanskap ilmu fikih sudah barang tentu berbeda dengan ilmu musthalah al-hadits dalam memaknai sunnah. Dalam ranah ilmu hadits, definisi sunnah adalah perkataan, perbuatan dan persetujuan Nabi terhadap prilaku sahabat-sahabat beliau ra.
Misalnya, acapkali kita mendengar sebagian saudara kita yang menggunakan jenggot impor, sebut saja jenggotis, jidatis dan cingkrangis, berkoar-koar tentang sunnah, sok membela sunnah dan ikut sunnah Rasul. Tentu saja, hadits andalan mereka adalah, “nikah itu bagian dari sunnahku”. Karuan saja, ramai di kota-kota besar diklat, kelas dan dauroh poligami berbiaya tinggi, dan anehnya diikuti oleh para jenggotis-cadaris kebanyakan. Anda salah satunya?
Padahal, kata “sunnah” dalam hadits di atas bukan bermakna fikih atau hukum, yang kalau dikerjakan berpahala dan sekiranya diabaikan boleh-boleh saja, bukan! Jadi, hadits riwayat (Al-Baihaqi/13.833, Ibnu Majah/1.846, Ad-Daylami/6.940) tidak bercorak yurisprudensial atau fiqhiyyah.
Sunnah dalam hadits ini bermakna “gaya hidup” atau cara Nabi Muhammad Saw dalam menyalurkan hasrat seksual yang benar adalah dengan menikah, tidak sebagaimana masyarakat jahiliyyah pra-Islam yang memiliki gubdik sampai ratusan perempuan. Ini jelas melecehkan perempuan, Kisanak! Sementara itu hukum dasar menikah adalah boleh (mubah), ia bisa menjadi haram, jika kita belum siap (umur, pengetahuan, mental dan ekonomi), bisa makruh, bisa sunnah, dan tentu saja hukum nikah bisa menjadi wajib.
Jadi, salah satu fungsi nikah—selain untuk ibadah, memperoleh keturunan yang baik, membangun rumah tangga dan hubungan sosial adalah untuk “melembagakan” kebutuhan seksual manusia dengan benar dan mulia. Jika belum mampu, agama member solusi, silakan puasa, berusaha untuk menundukkan pandangan, bukan memaksa lawan jenis untuk bercadar dan kawin muda dengan dalih menghidari pacaran dan zina. Sangat boleh jadi, dengan nikah usia dini akan banyak pertengkaran, kekerasan dalam rumah tangga dan bahkan perceraian. Ngapain nikah kalau tujuannya cerai?
Nah, jika menikah itu adalah sunnah Rasul, perlu diketahui bahwa tidak semua sunnah Nabi harus kita ikuti, bahkan haram, apa sebab? Ada sunnah-sunnah tertentu yang spesial (takhshish) untuk Baginda Nabi Saw saja, misalnya: dalam kapasitasnya sebagai Rasul, beliau diperintahkan oleh Allah SWT menikah lebih dari empat demi menolong dan mengangkat harkat perempuan, beliau jika tidur tak batal wudhu, hatinya tak pernah tidur, apabila beliau buang hajat, seketika tanah langsung membuka atau terbelah, begitu selesai, tanah tertutup lagi dan keluar aroma wangi, beliau gondrong, beliau haram menerima zakat, dll. Anda bisa meniru dengan dalih sunnah Rasul? Plis deh!
Jadi, apabila ada saudara kita yang berkoar-koar, “saya mau nikahi bocah 9 tahun, sunnah Rasul, saya mau poligami sampai 9 dan 12 isteri, sunnah Rasul.” Dalam hemat saya yang paling hemat, itu pernyataan yang congkak dan jumawa. Memangnya dia Nabi? Ada banyak hal yang kita tak bisa tiru dari Nabi, Bro!
Fenomena yang lain adalah kerap berseliweran ujar-ujar dan meme, “jodoh itu di tangan Tuhan, Sob, tapi kalau sudah lewat 25 belum nikah, Tuhan lepas tangan!” ini juga sesat pikir, mengapa? Mari kita melek sejarah. Kanjeng Nabi Saw umur 9 tahun sudah berdagang lintas Negara ke Syam (Syiria). Di sana ada persilangan dan perjumpaan 4-5 peradaban besar dalam perdagangan intrernasional, yakni: Persia, Babilonia, Mesir, India dan Arab sendiri. Nah, Anda 9 tahun ngapain? Kultur Arab kala itu, usia menikah laki-laki 15 tahun dan perempuan 9 tahun, jadi Nabi Muhammad Saw sudah sangat terlambat menikah di usia 25 itu. So, nikah itu bukan soal umur, tapi siap atau tidak untuk memuliakan pasangan hidup. Serta yang terpenting adalah niat, ibadah atau semata ikut trend. Anda tidak perlu cemas meski sudah lewat 25 dan belum nikah, karena hukum nikah menyesuaikan kondisi dan kesanggupan Anda.
Oleh karena itu, penting bagi milenial untuk mengaji (kalau bisa mondok, belajar di pesantren) kepada guru yang jelas geneologi atau sanad keilmuannya, jangan belajar kepada mereka yang hanya teriak-teriak kembali ke Qur’an dan Hadits, bela Qur’an bela Sunnah, sementara tidak mengerti ilmu-ilmu penunjang untuk memahami keduanya. WaLlahu a’lam
saya telat membacanya, tulisannya bagus-bGUS