Di abad ke-20-an wabah covid-19 menjadi permasalahan yang tidak kunjung terselesaikan. Wabah yang dengan ciri khasnya bisa mematikan membuat seluruh manusia bumi hidup dengan keresahan bahkan ketakutan. Wabah yang pertama kali muncul di kota Wuhan menjadi asal muasal semua kegiatan serentak harus diberhentikan.
Tidak hanya di kota Wuhan bahkan, di bumi pertiwi pun hal ini menjadi alasan mengapa semua kegiatan harus segera diberhentikan. Hal ini berlangsung sekian bulan. Namun, akhirnya pada awal juni 2020 pemerintah membuat gerakan baru yaitu New Normal. New Normal merupakan gerakan pemerintah untuk memulihkan kembali kegiatan yang sempat terhentikan.
Sebenarnya pemerintah juga dilanda kebingungan terhadap wabah yang mematikan ini. Jika kegiatan semua harus diberhentikan maka pemerintah khawatir terhadap ekonomi Indonesia yang akan terjadi ketimpangan. Namun, disisi lain pemerintah juga khawatir jika New Normal ini di lakukan akan banyak menambah korban yang tidak akan terselamatkan.
Sebenarnya keadaan belum juga maksimal karena masih banyak kegiatan yang juga belum diperbolehkan. Salah satunya adalah kegiatan belajar mengajar ditingkat dasar sampai tingkat perkuliahan.
Namun pemerintah memperbolehkan pelajar yang menimba ilmu di pesantren untuk kembali dilaksanakan meski dengan syarat ketat yang harus dilakukan. Karena bagi santri sedikit merasa aneh ketika di dalam pesantren harus melakukan prosedur yang diwajibkan oleh kesehatan misalnya keharusan jaga jarak atau disebut Social Dictancing.
Pada prinsipnya, pesantren mendukung pemerintah dalam mengambil kebijakan terkait wabah virus Corona atau Covid-19 yang melanda berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Pembatasan pengumpulan massa penting untuk dilakukan karena penyebaran virus ini sangatlah cepat.
Kita sebagai warga negara harus patuh terhadap kebijakan pemerintah. Ikhtiar sangat penting dibanding berdebat dan saling menyalahkan, terlebih hanya adu argumentasi yang tidak berarti.
Media sosial yang seharusnya dijadikan sebagai sarana edukasi bagi masyarakat dan dunia pesantren justru sebaliknya, media sosial dijadikan sarana pelatihan menjadi seorang pakar dalam bidang keilmuan melalui komentar yang tak bersumber secara profesional dan proporsional.
Banyak yang menjadi praktisi kesehatan dadakan hanya karena sebuah sensasi dan ketenaran ini semua sangat menyesatkan. Akhirnya bukan hanya tidak menjadi edukasi malah menjadi kepanikan bagi sebagian orang, termasuk warga pesantren.
Sebagai pengelola dan orang pesantren, saya sangat merasa prihatin dengan kondisi masyarakat yang selalu menerima informasi yang tidak jelas. Terlebih di media sosial yang selalu mengaitkan dan menjadikan bencana sebagai komoditi perselisihan. Bencana sering dikaitkan oleh warganet dengan beradu dalil-dalil agama dan politik sehingga lupa terhadap inti permasalahan.
Apalagi sebagian kelompok memanfaatkannya untuk mencari panggung ataupun popularitas. Masyarakat pun banyak yang gagal paham terkait kebijakan pemerintah atau pun berbagai lembaga untuk menghadapi bencana khususnya corona ini.
Sebenarnya kembalinya santri ke tempat pertapaan bukan berarti tidak memiliki peran bagi keadaan negara yang sedang ketakutan. Mungkin jika pemerintah mencegah wabah ini dengan berbagai macam aturan protokol kesehatan yang sangat ketat atau mencegah wabah ini dibagian dhohir kehidupan.
Namun, santri dengan segala kegiatannya tidak henti-henti mengadakan hal-hal yang bersifat bathiniyah dengan cara berdo’a bersama untuk keselamatan negara karena sesuai dengan firman Allah dalam Qs. Al-Baqarah; 156:
{الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ} [البقرة: 156]
“Apabila kalian ditimpa musibah maka hendaklah mengatakan: sesungguhnya kami milik Allah dan sesungguhnya kami akan kembali padanya”
Ayat tersebut sebenarnya menjelaskan bahwasanya Allah mengingatkan kepada kita bahwasanya tidak cukup hanya selalu mengandalkan badan kita untuk mengatasi musibah yang menimpa. Namun harus diselingi juga dengan Riyadlah agar kita tidak hanya berikhtiyar dengan perbuatan namun juga dengan do’a-do’a yang dibacakan.
Karena semua hal yang terjadi itu sudah sesuai dengan kehendak Allah. Bagi santri bukan hal yang aneh lagi ketika ada musibah yang menimpa. Berbagai kegiatan dilakukan sebagai bentuk peduli atas apa yang terjadi disekitarnya. Lebih-lebih yang menimpa negaranya.
Misalnya dengan mengadakan istighosah bersama atau kegiatan burdah sambil mengelilingi Pesantrennya. Hal ini dilakukan sebagai bentuk ikhtiyar yang terbungkus kegiatan batiniyyah sebagaimana yang disabdakan Nabi Muhammad SAW :
”Allah akan memberikan pertolongan kepada hambanhya seukuran dia memintanya dan dan allah akan memberikan kesabaran atas hambanya seukuran dengan musibah yang menimpanya”.
Hadist tersebut memberi peringatan kepada kita yang sedang ditimpa musibah ini yakni dengan cara tetap berikhtiyar dengan segala hal. Karena Allah pasti akan membalas perbuatan baik yang kita lakukan. Dan hadist di atas juga menganjurkan untuk tetap selalu bersabar karena Allah pasti akan memberi kesabaran seukuran musibah yang diberikan.
Oleh karena itulah tidak salah bagi pemerintah membuat peraturan demi menjaga rakyat dengan berbagai macam ikhtiyar yang dilakukan santri dalam bentuk do’a ataupun kegiatan lain yang dilaksanakan di masing-masing pesantrennya. Sebagai bentuk upaya kepedulian santri terhadap Negara tercinta. Imam Nawawi dalam kitabnya mengatakan bahwa ketika ada musibah setidaknya membaca “inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”.
Maka sangat keliru bagi mereka yang mengatakan bahwa santri tidak punya rasa peduli terhadap keadaan negara. Karena sebenarnya mereka juga sedang berusaha bagaimana agar Allah mencabut musibah yang sedang diujikan untuk hamba-hamba-Nya. Selain mematuhi protap pemerintah, riyadloh inilah bukti jihad seorang santri melawan pandemi.
Sudah selakyaknya sebagai seorang santri yang cinta terhadap NKRI ikut serta berkonstribusi terhadap negara baik dalam bidang apapun lebih-lebih pada saat sekarang ini. Sudah hampir satu tahun berlalu pandemi melanda negeri kita tecinta. Segala macam pencegahan sudah dilakukan mulai dari cuci tangan, pakai masker, social dictancing, PSBB, dan yang terakhir adalah New Normal.
Namun semua ini masih memungkinkan adanya pasien yang terjangkit akan virus corona ini. Sebagai bentuk peduli seorang santri atas apa yang terjadi disekitarnya, lebih-lebih yang menimpa negaranya. Misalnya dengan mengadakan istighosah bersama atau kegiatan burdah sambil mengelilingi Pesantrennya. Hal ini dilakukan sebagai bentuk ikhtiyar yang terbungkus kegiatan batiniyyah. [HW]
[…] Tempo terakhir berhenti pada tanggal 31 Desember 2020 mengakhiri tahun 2020 yang dipenuhi pandemi. Peristiwa ini mengingatkan saya akan sebuah film, The Secret Life of Walter Mitty […]
[…] pondok Assalam sendiri, kebanyakan santri yang boyong karena kurang cocok dengan sistem […]