Waktu itu engkau, menggunakan pakaian merah, sedang duduk di masjid. Shafwan bin ‘Assal al-Muradi, sahabatmu mendatangimu dengan takzim. Sesungguhnya aku datang dalam rangka menuntut ilmu, wahai Utusan Allah.
Wajahmu menampakkan raut bahagia. Bibirmu tersenyum melihat semangat Shafwan. Engkau menyambutnya dengan kalimat khas yang dan senantiasa engkau ucapkan bagi sahabatmu yang mereguk samudera ilmumu, marhaban bi-thalibil ilmi, selamat datang penuntut ilmu.
Shafwan hanya menanyakan satu soalan. Ya, hanya satu. Apa hanya itukah alasan yang mendorongmu menemuiku? Ya, hanya itu, jawab Shafwan.
Bergembiralah. Karena tidaklah seseorang keluar dalam rangka menuntut ilmu, melainkan para malaikat akan membentangkan sayap-sayap mereka untuknya hingga dia kembali (pulang) karena ridla terhadap apa yang dilakukannya. Demikian sabdamu, wahai Sayyidul Kaunain.
Di lain hari, engkau menerima kunjungan delegasi Bani Abdul Qais. Mereka tidak bisa leluasa sowan kepadamu, lantaran terhalang Kabilah Mudhar yang masih kafir. Hanya bisa berguru pada bulan-bulan Haram saja. Mereka meminta nasehatmu. Ajarkan kepada kami, wahai Nabiyullah, perintah yang jelas agar kami bisa masuk surga karenanya, dan mengajak penduduk kampung kami mengerjakannya. Engkau memberi 4 perintah dan 4 larangan.
Tiada kunjungan dilakukan para sahabatmu, kecuali engkau menyambut mereka dengan wajah berseri dan kalimat marhaban, marhaban, yang kata Imam Ibnu Abi Jamrah, bermakna kalian mendapatkan sambutan yang lapang.
Duhai Laki-laki berwajah purnama, engkau menyambut Ikrimah putra Abu Jahal, dengan kalimat yang indah, selamat datang wahai pengendara yang hijrah. Kepada Fatimah, engkau selalu mengucap selamat datang putriku. Sambutan yang hangat dan membuat bahagia, sebagaimana engkau menyambut delegasi Bani ‘Amir, marhaban bikum, antum minni; selamat datang, kalian termasuk golonganku.
Kepada Abu Sa’id al-Khudri, engkau pernah berpesan: akan datang kepada kalian beberapa orang dalam rangka menuntut ilmu. Jika kalian melihat mereka, maka katakanlah selamat datang, selamat datang bagi orang yang telah diwasiatkan oleh Rasulullah dan ajarilah mereka (waqnūhum).
Wahai Qaidul Ghurril Muhajjalin, sahabat remajamu, Malik bin Huwairits, bersama rekan sebayanya, pernah berguru kepadamu, tinggal bersama engkau selama 20 malam. Mereka terkesan dengan akhlaqmu yang penyayang dan santun (rahīman rafīqan). Ketika melihat mereka sudah mulai kangen denga keluarganya, engkau pun menyudahi pembelajarannya. Pulanglah, temani keluarga kalian, ajarilah mereka dan ajarilah mereka berbuat kebajikan (‘allimūhum wa murūhum), laksanakan lah shalat sebagaimana kalian melihatku shalat, kumandangkan adzan jika tiba waktunya, dan hendaknya yang paling senior menjadi imamnya.
Duhai al-Musthafa, engkau telaten mengajari para sahabat sesuai potensinya. Kepada Abdullah Ibnu Abbas, engkau mengkadernya sebagai ahli tafsir dan faqih; Abdullah Ibnu Umar engkau siapkan sebagai cendekia fiqh; Abdullah bin Zubair, yang engkau tahnik saat baru lahir, engkau siapkan menjadi administrator sekaligus pakar fiqh; untuk Abdullah bin Amr bin Ash, yang karakternya berbeda dengan ayahnya, tidak engkau kader menjadi politisi-diplomat, melainkan pencatat sabdamu dan dipersiapkan menjadi mufti. Abdullah bin Rawahah, yang engkau puji syair-syair buatannya. Abdullah bin Mas’ud, yang engkau didik menjadi ahli al-Qur’an; Abdullah bin Salam, cendekia Yahudi yang menjadi rekan diskusimu, pecinta ilmu dan beriman kepadamu
Engkau adalah mahaguru, sesuai sabdamu, innamā bu’itstu mu’alliman; sesungguhnya aku diutus sebagai seorang pendidik.
Wallahu A’lam Bishshawab. []