Pancasila dan Moderasi Beragama

Rise and shine, sobat pesantren! It’s the new day again and I hope you’re ready to start the day with positivity. Today, we’ll talk about Pancasila dan Moderasi Beragama.

Kita sebagai generasi bangsa tahu bahwa Indonesia itu sangat beragam, tidak hanya kebudayaan, adat istiadat, bahasa, tetapi agama juga sampai terdapat enam agama. Keanekaragaman sebagai suatu rahmat sendiri, keunikan dan kekuatan apabila dikelola dengan baik, tetapi pluralitas juga dapat menjadi rintangan bila tidak direspon dengan bijak dan arif, dapat menjadi ancaman perpecahan dan perseteruan yang dapat mengganggu keamanan sosial. Namun, di dalam agama saja khususnya Islam masih ada keragaman golongan di mana terdapat pemahaman yang berbeda, seperti pemahaman terhadap Pancasila sebagai dasar negara. Kita ketahui keadaan menguatnya paham radikal yang secara frontal menolak Pancasila menjadi salah satu hal serius perhatian kita semua. Mereka beranggapan, Pancasila sebagai sebuah sistem tata negara adalah kafir dan tidak sah menurut Islam.

Dalam perkembangannya, golongan model di atas selalu mengampanyekan keinginan perubahan terhadap dasar negara. Pada setiap aksi yang dilakukan tidak jarang mereka mengorbankan nilai-nilai kemanusian dengan melakukan pengeboman, penembakan, pengrusakan fasilitas negara, penindasan, dan sebagainya. Tujuan utama dari aksi mereka adalah bagaimana caranya mereka dapat mengubah ideologi Pancasila dengan ideologi keislaman sesuai tafsir keagamaan yang diyakini mereka. Bagi mereka yang terpenting ialah tegaknya syariat Islam atau pemahaman Islam dalam versi mereka tentunya dalam kehidupan Indonesia. Walaupun hal tersebut memecahkan persatuan dan kesatuan yang telah dibangun susah payah oleh para pahlawan kita. Sementara itu, Pancasila sebagai dasar negara adalah sebuah sistem yang final dan tidak bisa diganggu gugat. Hal ini sesuai dengan pembukaan UUD 1945 alinea IV.

Baca Juga:  Khilafah, Negara Islam dan Pancasila

Pada tulisan ini, menghadapi permasalahan ideologi Pancasila yang ingin diubah oleh para golongan radikal, saya mencoba mengkaji tentang Pancasila dalam pandangan Islam Moderat. Maksud dari tulisan ini, tidak lain kecuali untuk memberi pemahaman bahwa “ijtihad” para foundhing father dan para ulama yang menerima Pancasila memiliki argumen keagamaan yang kuat. Pancasila sebagai dasar negara sudah dikategorikan islami sebab di dalamnya memuat nilai-nilai dalam agama Islam seperti keadilan (al-Adalah), permusyawartan (al-Syura), kebebasan (al-Hurriyah) dan kesetaraan (al-Musawah). Di samping itu, penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal adalah wujud pemahaman moderasi Islam di Indonesia.

Salah satu kiai dari kalangan NU mengemukakan Pancasila serta Islam bagaikan dua kesatuan yang saling terpisah namun tidak saling bertentangan: Islam adalah agama sedangkan Pancasila adalah ideologi, pendapat dari Kiai Achmad. Beliau juga berpendapat bahwa NU menerima Pancasila karena NU benar-benar percaya dengan nilai-nilai Universal prinsip-prinsip ideologi ini. Bagi masyarakat Indonesia, arti Pancasila yang paling inti terdapat pada sila pertama tentang “ketuhanan yang maha Esa” sebagai simbol menyatukan keragaman agama yang terdapat di Indonesia. Dan bagi umat Islam itu justru akidah Islam. Penerimaan Pancasila, dengan demikian merupakan pelaksanaan secara nyata ajaran-ajaran syariat sesuai dengan cita-cita umat Islam.

Selain itu, penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal negara Indonesia adalah wujud sikap moderasi Islam, yaitu al-waqi’iyah. Maksudnya Islam adalah agama yang realistis, tidak selalu idealistis. Mengaplikasikan ketentuan dan aturan hukumnya salah satu cita-cita dan semangat mengembara dalam diri Islam, tetapi Islam tidak menutup mata dari realitas kehidupan yang justru lebih banyak diwarnai hal-hal yang sangat tidak ideal. Ini tidak berarti bahwa Islam menyerah pada realitas yang terjadi, melainkan justru memperhatikan realitas sambil tetap berusaha untuk tercapainya idealitas. Di satu sisi, umat Islam memiliki mimpi yang sangat ideal bagaimana format dan bentuk negara yang sesuai dengan Islam. Di sisi lain, Indonesia sebagai rumah bersama tidak hanya diisi oleh umat Islam saja. Di samping umat Islam, di Indonesia dihuni beragam umat seperti Kristen, Budha, Hindu dan Konghucu. Tentu penerapan Islam dan menjadikannya sebagai “bungkus” negara menemukan kendala yang sangat besar dan tidak mudah menemukan jalan keluar, akhirnya, dengan sangat cerdas, ulama Nahdlatul Ulama menerima Pancasila sebagai dasar negara. Meskpiun harus diakui bersama bahwa Pancasila sebagai asar negara tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Baca Juga:  Abdul Mukti Sekum PP. Muhammadiyah: Tasamuh sebagai Wujud Moderasi Beragama dalam Kemajemukan

Sebenarnya hal yang serupa pernah dialami Nabi Muhammad. Tepatnya ketika peristiwa suluh Hudaibiyah (perjanjian damai) antara Kaum Muslimin yang diwakili oleh Nabi Muhammad dan Kafir Quraish diwakili Suhail Ibn Amr. Ketika menulis perjanjian perdamaian ini, Nabi memerintah Sayyidina Ali untuk menulis perjanjian diawali dengan kata “Ini adalah surat damai yang ditandatangi oleh Muhammad utusan Allah kepada Suhail Ibn Amr”. Belum sempat menulis, Suhail Ibn Amr segera mencegah dan tidak akan menerima jika tetap menggunakan kata tersebut. Suhail berujar, “Tulislah dengan menyebut namamu dan nama ayahmu!”. Seketika, Nabi memerintahkan Sayyidina Aly untuk menuruti keinginan Suhail dan Nabi merelakan “gelar” kenabianya demi kelancaran perundingan damai dengan kaum Kafir Quraish. Kisah di atas bisa dijadikan pijakan dalam merespon penerimaan Pancasila sebagai dasar negara, terutama oleh Ulama-ulama NU dan Pesantren. Andai para pendiri bangsa tetap ngotot dengan usulan masing-masing, mungkin bangsa Indonesia sampai saat ini belum ada, yang ada hanyalah daerah yang sedang perang saudara saling bunuh hanya karena tidak mau mengalah.

Pancasila bukanlah syariat, tetapi sila demi sila tidak bertentangan dengan syariat itu sendiri. Sila pertama menjiwai sila-sila yang lain mencerminkan nilai-nilai tauhid yang mengacu di surat al-Ikhlas. Terkait dengan cap bukan negara Islam, sebenarnya tidak perlu dirisaukan. Karena bukan negara Islam berarti tidak bermakna tidak sah menurut Islam. Bukan berarti kita beragama Islam harus membuat tempat kelahiran kita sesuai dengan kita, yaitu Islam. Namun, kita tunjukkan dan jadikan contoh untuk negara lain bahwa Indonesia yang beragam bisa menjaga kesatuan dan persatuan, agar negara lain damai tidak terpecah belah. Kita sebagai generasi selanjutnya yang akan memimpin negara ini, sudah patut untuk harus melindungi negara dari golongan-golongan yang hendak memecah negara kita Indonesia. Seperti kata pepatah “ditangamu (pemuda) urusan umat”. []

Achla Fauziyah
Alumni RA-MA NU Banat Kudus Mahasiswa Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang

    Rekomendasi

    Hikmah

    Menjadi Mulia

    Beberapa hari terakhir ini banyak berseliweran komentar pedas atas dikuasainya siaran televisi umum ...
    Ujian Cinta Putri Sulung Rasulullah SAW
    Opini

    Tiga Rukun Hati

    Dalam mengarungi kehidupan dalam penghambaan kita kepada Allah, ada tiga rasa yang semestinya ...

    2 Comments

    1. […] keharmonisan, ketentraman, dan keselarasan dalam kehidupan sosial. Ketika masuk ke wilayah agama, Pancasila dalam sila pertamanya menegaskan bahwa masyarakat Indonesia bisa dipahami secara seksama, yaitu […]

    2. […] keharmonisan, ketentraman, dan keselarasan dalam kehidupan sosial. Ketika masuk ke wilayah agama, Pancasila dalam sila pertamanya menegaskan bahwa masyarakat Indonesia bisa dipahami secara seksama, yaitu […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini