Bagaimana Ketua Umum PBNU Dipilih?

Sebentar lagi, Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama (NU) akan dihelat di Lampung, 22-23 Desember 2021. Jauh sebelumnya, perhelatan tertinggi di NU itu telah membetot perhatian publik. Tidak hanya dari para anggotanya, namun juga dari pihak luas. Terutama tentang suksesi kepemimpinan tertinggi di ormas Islam terbesar di Indonesia itu. Khususnya posisi Ketua Umum PBNU.

Sembari menunggu hasil muktamar menetapkan siapa nanti sebagai Ketua Umum PBNU, menarik kiranya untuk mencermati bagaimana proses terpilihnya Ketua Umum PBNU dari masa ke masa.

Pada masa awal berdirinya NU, istilahnya dikenal sebagai Presiden Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO). Sebagaimana diketahui, mula-mula yang menjabat posisi ini adalah Haji Hasan Gipo dari Surabaya. Pada saat itu, pemilihan pengurus baru HBNO dilakukan setiap tiga tahun sekali. Meski, muktamar yang digelar setiap tahun sekali. Jadi, duet Hadratusysyekh KH Hasyim Asy’ari dengan Hasan Gipo ini ditetapkan sebagai pimpinan NU sejak muktamar pertama (1926). Lalu, Muktamar Ketiga (1928), Muktamar keenam (1931) dan Muktamar kesembilan (1933).

Setiap siklus tiga tahun itu, nama-nama calon pengurus HBNO – atas usulan Cabang – akan dimuat dalam panduan muktamar (voorstel) yang dibagikan ke berbagai cabang. Dari nama-nama itu, kemudian dipilih oleh para Muktamirin. Tidak hanya posisi Ketua Umum yang dipilih, tapi juga posisi Wakil Ketua (Ketua Muda/ Vice President), Sekretaris dan lain-lainnya.

Namun, pada Muktamar ke-12 NU di Malang (1937), para Muktamirin boleh mengusulkan nama di luar para kandidat yang telah diumumkan sebelumnya oleh HBNO. Hal ini terekam dalam Berita Nahdlatoel Oelama No. 20 Th. 6, 7 Jumadil Akhir 1356 H/ 15 Agustus 1937 yang merupakan edisi khusus laporan muktamar.

Majalah tersebut melaporkan bahwa pada saat Majelis Kombinasi Syuriyah dan Tanfidiziyah pada 23 Juni 1937 dengan agenda pemilihan Rais dan Ketua Tanfidziyah ada usulan dari Cabang Surabaya. Saat itu, yang mewakilinya adalah Haji Thohir. Usulan tersebut, menyebutkan dua nama yang diluar Voorstel Muktamar. Ia adalah KH. Machfudz Siddiq dan Abdullah Ubaid. Dua tokoh yang sebelumnya dikenal sebagai penggerak Ansoru Nahdlatoel Oelama (ANO), nama awal GP Ansor.

Baca Juga:  Bersama Kemnaker RI, LPBI NU Gelar Padat Karya di Tujuh Provinsi

Usulan dari Cabang Surabaya itu, ternyata mendapat sambutan antusias dari para Muktamirin. Dalam proses pemilihan yang dulu dikenal dengan istilah stem, didapat keputusan KH. Machfudz Siddiq terpilih sebagai Ketua Umum PBNU kala itu. Sementara itu, KH. Noer yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua Umum menggantikan Haji Hasan Gipo yang mangkat (1934), terpilih sebagai Wakil Ketua PBNU.

Selain dengan proses pemilihan langsung pada muktamar, dalam sejarahnya, pernah pula posisi ketua umum ditentukan melalui musyawarah khusus karena adanya hal mendesak. Seperti halnya saat KH. Machfud Siddiq berhalangan aktif di NU karena sakit (1943), digantikan oleh KH. Nachrowi Thohir. Begitu pula saat KH. Mochamad Dahlan digantikan oleh KH. A. Wahid Hasyim pada medio 1948.

KH. Saifudin Zuhri dalam obituarinya pada wafatnya KH. M. Dachlan, mengungkapkan fakta menarik atas proses pergantian Ketua Umum PBNU. Hal ini sebagaimana dapat kita baca di bukunya yang berjudul Secercah Da’wah (1983). Pada masa revolusi fisik, memaksa NU berada di garis depan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Bahkan, kantor PBNU sempat beralih beberapa kali mengikuti perkembangan situasi keamanan kala itu.

Kiai Dachlan yang ditunjuk sebagai Ketua Umum PBNU menggantikan Kiai Nachrowi yang sibuk bergerak di Sabilillah dan Hizbullah di Malang, memindahkan kantor PBNU dari Surabaya ke Pasuruan saat meletus Agresi Militer I. Namun, tentara sekutu terus merangsek hingga ke Pasuruan. Akhirnya, pada 1947, kantor NU kembali berpindah. Kali ini, di Madiun.

Akan tetapi, setahun di Madiun, situasi kembali mencekam di sana. Selain terjadi pemberontakan PKI Madiun, juga agresi militer kedua oleh Belanda berhasil memasuki kota lereng Lawu itu. Di tengah situasi chaos kedua ini, kantor NU non-aktif. Bahkan, Kiai Dachlan menghilang.

Baca Juga:  MWC NU Glenmore Helat Harlah NU ke-99 dan Haul Muassis NU dalam Wujud Merawat Jagad dan Membangun Peradaban

Menghadapi situasi demikian, KH. Wahab Chasbullah mengambil keputusan untuk memindahkan kantor ke Surabaya kembali. Selai itu, beliau juga menggelar – meminjam istilah Kiai Saifudin Zuhri – Konbes Cabang-Cabang NU di Tulungagung untuk mengambil keputusan di tengah situasi genting itu. Karena Kiai Dachlan tak kunjung terdengar kabarnya, akhirnya Ketua Umum PBNU dipasrahkan kepada KH. Abdul Wahid Hasyim atas restu dari forum tersebut. Meski kemudian Kiai Dachlan kembali, keputusan tersebut tetap mengikat. Kiai Wahid tetap memimpin, sementara Kiai Dachlan menjadi wakilnya. Hal tersebut bertahan hingga 1950, saat KH. Masykur terpilih pada Muktamar di Jakarta pada 1950.

Intrik seputar pemilihan ketua umum PBNU pertama kali terjadi tampaknya pada Muktamar ke-21 di Medan (1956). Saat itu, Kiai Dachlan kalah voting dari Kiai Idham Chalid. Saat itu, kepemimpinan Kiai Dachlan di NU yang kala itu menjadi partai politik, kurang memuaskan sejumlah pihak. Terutama para kiai sepuh. Hal ini yang kemudian membuat para kiai sepuh bermanuver dan berupaya menjadikan Kiai Idham Chalid sebagai ketua.

Upaya tersebut berhasil. Kiai Idham yang kala itu justru sibuk mengurusi pemberontakan Dewan Gajah di Sumatera Utara, secara mengejutkan terpilih sebagai Ketua Umum. Namun, sebagaimana dicatat dalam memoarnya, Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid (2008), Kiai Dachlan sempat ngambek pasca muktamar itu. Ia sempat tak mau menjadi wakil ketua kala itu sebagaimana amanat muktamar.

Eskalasi intrik dalam pemilihan Ketua Umum PBNU itu, kembali terjadi pada Muktamar ke-25 NU di Surabaya (1971). Sebagaimana diberitakan Kompas, 27 Desember 1971, sejak hari pertama telah terjadi ketegangan. Hal ini dipicu oleh polemik tata cara pemilihan ketua. Ada pihak yang menginginkan pemilihan langsung sebagaimana biasanya. Ada juga pihak yang menginginkan ketua cukup dipilih oleh formatur. Bahkan, Kiai Dachlan mengakui jika muktamar tersebut menjadi yang paling berat diikutinya selama hadir di forum tertinggi NU itu.

Baca Juga:  Kesadaran Pers Kiai NU Menolak Perkumpulan Buta Tuli

Tata cara pemilihan Ketua Umum PBNU melalui formatur sendiri baru dapat terlaksana setelah beberapa muktamar berikutnya. Tepatnya pada Muktamar ke-27 NU di Situbondo (1984). Saat itu, Ketua Umum dan Rais Aam dipilih melalui formatur yang dikenal dengan istilah Ahlul Halli wal Aqdi (AHWA) yang terdiri dari sejumlah kiai khos NU.

Namun, pasca muktamar di Situbondo itu, proses pemilihan Rais Aam maupun Ketua Umum kembali ke sistem pemilihan langsung. Selama itu, intrik-intrik pemilihan ketua selalu hadir dalam tiap muktamar. Baru pada Muktamar ke-33 NU di Jombang (2015), sistem AHWA diterapkan kembali. Meski hanya sebatas untuk memilih Rais Aam.

Nah, pada Muktamar ke-34 NU di Lampung besok ini, menarik untuk diikuti. Bagaimanakah proses pemilihan ketua akan dilangsungkan; apakah akan tetap melalui pemilihan langsung ataukah juga ditentukan melalui sistem AHWA sebagaimana yang sempat diwacanakan oleh PWNU Jawa Timur? Kita tunggu saja!. []

Rekomendasi

Hikmah

Islam Agama Ilmu

Salah satu kesibukan generasi-generasi milenial adalah memboroskan umur dengan menyoal yang remeh-temeh sampai ...

Tinggalkan Komentar

More in Opini