Nilai-Nilai Pancasila yang Luhur Tumbuh Subur Dalam Bingkai Kebhinekaan Generasi Santri Masa Kini

Pesantren merupakan bagian dari sosio budaya bangsa Indonesia, dimana sosio budaya merupakan titik awal dari adanya Pancasila. Sebagai ideologi negara, Pancasila memiliki peran sangat penting dalam perjalanan Bangsa Indonesia.

Cerminan sifat dan perilaku manusia Indonesia yang sesungguhnya termaktub dalam lima sila tersebut. Karena pancasila diciptakan untuk semua rakyat Indonesia. Termasuk bagi generasi santri yang tersebar di pesantren-pesantren pelosok negeri

Sehingga dalam kehidupan pesantren mencerminkan nilai-nilai luhur Pancasila. Nilai luhur Pancasila mencakup nilai sebagai makhluk religius, makhluk sosial, makhluk individu, makhluk jasmani dan makhluk berfikir.

Sebagai makhluk berfikir yang berbudi, manusia Indonesia mengembangkan nilai-nilai kecerdasan, kebijaksanaan dan nilai demokrasi.

Sehingga umat Islam tidak hanya menjadi muslim yang baik, tetapi menjadi warga negara yang baik pula. Dengan demikian, jika demokrasi kita berlandaskan pada kelima prinsip tersebut, maka demokrasi bukan hanya berkorelasi dengan nilai-nilai Islam saja, melainkan juga menjadi wujud implementasi nila-nilai Islam itu sendiri.

Sebagai generasi muda jebolan pesantren (santri) saya merasakan bahwa kaum santri itu dapat dikatakan juga sebagai agen demokrasi, bila mengutip kata Gus Dur ; Kalau ingin melakukan perubahan, jangan tunduk pada kenyataan, asal yakin di jalan yang benar, KH. Abdurrahman Wahid.

Tak berhenti di sana saja, kutipan ini bagi kalangan santri mampu membangkitkan potensi untuk dapat menempati posisi strategis dalam kemasyarakatan, pendidikan, pemerintahan, bahkan sebagai pelaku seni dan sastrawan. Santri secara keilmuan tidak hanya berbekal pengetahuan dunia melainkan diimbangi dengan pengetahuan agamanya. Dengan dua pengetahuan yang dimiliki itulah, seorang santri dapat menunjukkan perilaku-perilaku yang demokratis.

Nilai-nilai pancasila sudah tertanam dalam diri santri dan dipraktikan dalam kehidupan di asrama, Pondok Pesantren. Mulai dari praktik-praktik bermusyawarah mufakat, pun tidak membeda-bedakan satu sama lain, semua kedudukan santri menjadi setara, ketika berada di dalam pesantren meskipun berasal dari suku dan ras yang berbeda. Sebagaimana yang tercermin di Sila Kelima, di dalam lingkungan pondok pesantren, seluruh santri bisa merasakan keadilan yang sama, karena bukan hanya satu santri saja yang diutamakan atau diistimewakan. Semua santri dianggap sama (setara) dan diperlakukan secara bijaksana. Ini bagian dari bunyi sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Baca Juga:  Ilmu Nahwu menuju Pembaruan?

Penulis sendiri mengalami situasi dari praktik nyata penerapan nilai-nilai pancasila di lingkungan pesantren semasa penulis masih nyantri di Pesantren Al-Hamidiyah, Depok, Jawa Barat yang didirikan oleh KH. Achmad Sjaichu.

Adanya keseimbangan dan pemenuhan hak-hak yang sama terhadap seluruh santri di pondok saya itu merupakan salah satu implementasi dari upaya menjaga kebhinekaan di dunia kepesantrenan.

Peran seorang santri dan kaum muda hari ini tak hanya sebagai penggerak kebudayaan, atau agen demokrasi yang berpaham moderat dengan memiliki keterbukaan wawasan dalam membangun peradaban bangsa serta menjadikan upaya dan keunggulan lebih dalam menyongsong masa depan yang lebih berkemajuan dengan memiliki jiwa nasionalisme.

Generasi bangsa, termasuk didalamnya (santri) hari ini harus mampu mengimplementasikan nilai- nilai Pancasila sebagai pandangan hidup, hal tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara dan lembaga, salah satunya yaitu di pesantren. Pergulatan aktivitas pesantren dalam menanamkan nilai- nilai Pancasila pada kehidupan santri telah ditanamkan melalui ajaran-ajaran yang dicontohkan secara langsung baik melalui pembelajaran maupun perilaku para guru, atau kiai di pesantren.

Kaum santri merupakan bagian dari anak-anak bangsa, penggerak kebudayaan serta memiliki keyakinan diri dari para kiai yang mengaungkan slogan “Hubbul Wathon Minal Iman artinya adalah ‘cinta tanah air atau nasionalisme bagian dari iman.” Oleh karenanya santri memiliki tanggung jawab penuh untuk terus turut menyemai nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan nyata, maksudnya di dalam keseharian kehidupan santri.

Hampir di seluruh pondok pesantren yang ada di wilayah Indonesia, para santri sudah diajarkan tentang ketauhidan bahwa hanya ada satu Tuhan yang Maha Esa, yaitu Allah swt. Hal ini pun juga diterangkan di dalam salah satu surat di Al-Qur’an yakni terdapat pada Surat Al-Ikhlas ayat pertama. Ini adalah pengamalan dari bunyi Sila Pertama, Ketuhanan yang Maha Esa.

Baca Juga:  Post-Tradisionalisme Pesantren vis a vis Covid-19

Sila-sila lain yang termaktub dalam sila ke-2 hingga sila ke-5 juga sudah sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip ajaran Islam. Karena ajaran Islam juga mencakup kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial.

Santri dan akhlak. Di dalam akhlak ini terkandung nilai-nilai kesantunan, rendah hati, dan penerimaan atau keterbukaan. Hanya dengan nilai-nilai tersebut kita akan mencapai cita-cita kesatuan, kesamaan, dan persaudaraan. Sebagaimana pada sila Ketiga, Persatuan Indonesia. Makna sila ketiga Pancasila menjadi pemahaman yang wajib bagi seluruh rakyat Indonesia.

Selain itu, diperlukan juga peran aktif dari pemerintah di negeri ini untuk lebih serius lagi dalam menyelenggarakan program-program penguatan dan pengamalan Pancasila di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bagi generasi penerus bangsa.

Peran kiai dalam mengembangkan nilai-nilai pancasila dalam pendidikan bagi santri-santrinya di pesantren telah memberi kemaslahatan yang nyata di masyarakat sampai hari ini. Peran besar pesantren dalam mempertahankan ideologi negara, Pancasila tidak terbantahkan oleh catatan sejarah.

Andilnya para kiai dan santri sangat besar dalam memperjuangkan negara dan dapat dikatakan, tanpa adanya fatwa dari Kiai Hasyim Asy’ari, (Resolusi Jihad) belum tentu masyarakat Indonesia saat itu bisa mempertahankan bulan kemerdekaan 17 Agustus sebagai hari kemerdekaan. Pancasila sebagai ideologi negara kita ini sejak Indonesia merdeka, sudah final. Sebagai ideologi negara, Pancasila juga sejalan dengan seluruh agama yang hidup dan berkembang di Indonesia ini.

Tak dapat terpungkiri, berkat perjuangan gigih seluruh elemen bangsa, terutama gerakan santri dan ulama pesantren, Pancasila sebagai konsensus kebangsaan tetap ampuh di tengah deraan gelombang ideologi-ideologi yang tidak ramah dan tidak cocok dengan kemajemukan bangsa Indonesia.

Pondok pesantren di Indonesia merupakan suatu tempat atau sarana pendidikan bagi para santri untuk menimba ilmu agama Islam, di mana para santri bermukim (mondok) dan belajar bersama di bawah bimbingan dan arahan seorang guru yang lebih dikenal dengan sebutan kiai.

Baca Juga:  Inilah Rekomendasi Hasil Silatnas Bunyai Nusantara 2

Kehidupan di dalam pondok pesantren itu sendiri memiliki andil yang sangat besar dalam mempertahankan nilai-nilai Pancasila. Hal ini ditunjukkan oleh para kiai yang bertekad kuat serta giat menanamkan nilai-nilai Pancasila kepada para santri sedari masih zaman penjajahan hingga pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Hal itu dapat terlihat dari resolusi jihad yang dikeluarkan oleh Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari.

Pancasila sebagai dasar negara Indonesia telah mengajarkan para santri untuk mengimbangi antara hak dan kewajibannya di dalam berbangsa dan bernegara. Pancasila adalah asas landasan pertama dalam setiap diri santri menaungi kehidupan bermasyarakat di negara kita Indonesia. Penerapan nilai-nilai Pancasila harus selalu ada dalam setiap gerak-gerik, lelaku kehidupan sosial dan individunya santri yang sudah berdaulat sejak kemerdekaan. Sebab, penetapan kelima Pancasila tidak mampu dilepaskan dari andil kaum santri yang sangat berpengaruh terhadap proses perjuangan.

Nilai-nilai pancasila yang luhur kian tumbuh subur dalam keseharian santri yang tersebar hingga ke pelosok negeri, dengan begitu nilai dan etika kepesantrenan tetap terpelihara. Pancasila inilah penemuan identitas sekaligus pergumulan bangsa Indonesia yang menakjubkan di mata dunia. []

Abdul Majid Ramdhani
Penulis merupakan lulusan Pondok Pesantren Al-Hamidiyah, Depok dan melanjutkan mondoknya di Pesantren Al-qur'an Syihabudin Bin Ma'mun, Caringin Banten. Bagi diri penulis, "Menulis bisa menjadikanmu optimis, romantis & humanis". Penulis juga lulusan KPI (Komunikasi dan Penyiaran Islam) di kampus STAI INDONESIA JAKARTA dan Penulis buku "Jurnal: Jurus Nulis Anak Milenial".

    Rekomendasi

    Hikmah

    Peradaban Teks

    Lazim kita tahu bahwa perubahan dan peradanan dunia dimulai dari teks, dari karya ...
    menjadi dirimu sendiri
    Opini

    Memaafkan Diri

    Sekitar tahun 2006, tahun ajaran madrasah berjalan setengah. Instruksi untuk memulai mengerjakan tugas ...

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini