Jika hari-hari ini masyarakat Malang raya disibukkan dengan awal pelaksanaan PSBB dalam rangka mencegah wabah covid-19, kami di Leiden mulai sedikit demi sedikit diperbolehkan untuk melakukan aktivitas di ruang publik. Setelah lebih dari 2 bulan pemerintah Belanda menerapkan intelegence lockdown (semacam PSBB) untuk semua daerah yang membatasi pergerakan masyarakat di ruang publik, pola persebaran virus corona mulai dapat dikendalikan. Jika bulan lalu hampir tiap hari terdapat 1000 orang yang positif terkena virus, hari-hari ini penularan virus dapat ditekan hingga di bawah 200 orang per harinya. Ini membuat pemerintah Belanda memutuskan untuk membuka kembali sekolah dasar mulai minggu ini secara terbatas, hanya dua kali seminggu dengan tetap memperhatikan protokol pencegahan corona. Rencananya jika penyebaran dapat ditekan, maka bulan Juni beberapa tempat akan mulai dibuka kembali. Hal yang menarik yang mungkin bisa ditiru di Malang oleh pemerintah Kota dan mungkin Universitas Brawijaya, Universitas Leiden dengan dukungan Pemerintah setempat membuka donasi untuk kepentingan pembuatan vaksin virus corona karena dana yang dibutuhkan memang cukup besar. Saat ini para dosen dan peneliti di Fakultas Kedokteran Leiden memang sedang giat mengembangkan vaksin corona dan beberapa sudah dilakukan uji coba

Namun demikian, dapat dipastikan tempat ibadah baik gereja ataupun masjid tetap ditutup sampai akhir mei ini. Ini berarti tahun ini komunitas muslim di Belanda tidak dapat melaksanakan ibadah salat idul fitri bersama seperti tahun lalu. Kami sekeluarga pun terpaksa masih harus melaksanakan salat di rumah. Hikmah di balik pembatasan sosial ini menjadikan saya menghabiskan Sebagian besar waktu puasa di rumah. Hikmahnya salah satu wejangan wejangan guru saya Almarhum KH Basori Alwi bisa saya laksanakan. Likulli syayin zakaatun, wa zakatul ilmi at ta’lim (segala sesuatu ada zakatnya, dan zakatnya Ilmu adalah mengajar). Pesan ini selalu terngiang di kepala saya, pilihan menjadi dosen di Universitas Brawijaya juga di latar belakangi pesan ini. Namun wejangan untuk mengajar Al-Quran secara intensif baru bisa saya lakukan selama 2 bulan masa lockdown ini, setidaknya dalam lingkup terkecil dengan intensif mengajar ngaji kedua anak saya setiap harinya. Ini hanya mungkin karena tidak ada lagi kewajiban saya untuk bekerja di kampus

Baca Juga:  Gelang Janur, Ikhtiar Covid-19 Kabur

Tidak seperti masa kecil saya yang saya habiskan di daerah yang sarat dengan suasana santri, kedua anak saya, Danis dan Shafwa menghabiskan empat tahun masa kecil mereka menjadi minoritas muslim di Belanda. Waktu kecil saya tinggal bersama Abah saya H. Abdul Syukur di Jalan Muharto, Jodipan Wetan. Abah kebetulan ada pengurus langgar Salafiyah yang terletak persisi di depan rumah selain juga menjadi takmir Masjid Roisiyah. Jika  saat puasa dulu, saya sering digandeng abah pergi ke langgar untuk salat dengan abah sebagai imamnya, saat ini saya hanya bisa mengajak kedua anak saya salat bersama di rumah.

Beruntung selama masa lockdown ini, pengajian dapat dengan mudah dinikmati secara online. Setidaknya setiap sore menjelang berbuka, saya sekeluarga dapat mendengarkan pengajian kitab dari NU Belanda, Fiqhul Islami wa Adillatuhu dan Al Mar’ah baina al Syari’ah wa al hayah. Beberapa hari lalu bahkan digelar peringatan Nuzulul Quran melalui zoom yang didahului dengan khotmil Quran bersama.

Jika dulu saya terbiasa pergi ke makam Sunan Ampel saat maleman di 10 hari terakhir bulan ramadan, di Belanda, tradisi maleman paling banter dilakukan di Masjid terdekat. Karena jarak waktu antara salat tarawih dan salat subuh yang dekat (tarawih jam setengah 12 malam dan subuh jam 3 lebih), sebelum adanya wabah corona ini, masyarakat muslim biasanya menggelar sekaligus tarawih dan sahur bersama di Masjid. Namun tradisi itu terpaksa terhenti tahun ini karena wabah. Saat ini, karena Masjid ditutup, beberapa komunitas muslim tetap menggelar pengajian setelah salat tarawih secara online.

Namun tidak seperti di negara Eropa lain, bahan masakan Indonesia untuk keperluan buka dan sahur dapat dengan mudah dijumpai di Belanda. Bahan makanan halal gampang dijumpai di toko milik orang maroko, selain toko asia  yang juga menjual bumbu masakan Indonesia. Hampir di semua supermarket di Belanda pun kita dengan mudah menemui bumbu masakan Indonesia seperti soto, rawon krengsengan dan lain sebagainya. Tempe, tahu, saos sate dan nasi goreng adalah beberapa makanan yang digemari dikenal luas dan digemari orang belanda hingga saat ini. Di leiden sendiri ada sekitar 5 restaurant Indonesia yang menjual masakan Indonesia dan tidak pernah sepi pembeli.

Baca Juga:  RMI NU Jateng Persiapan Ramadan 2020

Saya sendiri karena beasiswa pas-pasan lebih memilih masak sendiri. Untuk mengobati rasa kangen, saya  beberapa kali mencoba membuat mendol, meski harus diakui rasa dan teksturnya jauh dari mendol yang biasa saya santap di malang. Mungkin selain karena tangannya belum terbiasa, bahan dan bumbunya juga membuat tempe yang dibuat di Belanda susah memiliki rasa seperti Mendol Malangan.

Fachrizal Afandi
Dosen Departemen Hukum Pidana Universitas Brawijaya, Ph.D Researcher di Leiden University. Salah satu pendiri NU Belanda dan Ketua Tanfidziyah PCI NU Belanda 2014-2017. Saat ini tercatat sebagai anggota ISNU Komisariat Universitas Brawijaya Malang.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini