Arab

Beberapa kerabat dan sahabat yang baru saja kembali dari perjalanan ibadah, baik ke Tanah Suci (Arab Saudi) maupun Las Vegas, mereka lalu berandai-andai ingin hidup dan mati di sana, supaya fokus ibadah dan berkhidmat atau sekalian tinggal di Kulon (Amrik), konon, agar lebih bebas menyembah HAM.

Memang, Mekah itu kota kelahiran Nabi, tapi jangan lupa, Papi Jahal juga dari sana, juga Papa Lahab. Bahkan, di Indonesia bertebaran replika dan duplikasi dari keduanya dengan nama Abu Ja-hab. Kota dan tempat suci memang diberkat-rahmati, tapi tidak semua penduduknya menyadari dan menginsyafi. Hal ini bisa kita lihat, misalnya, penduduk di sekitar Sungai Ganga dan Yamuna justru yang paling banyak mengotori dan “menista” air suci itu. Amat boleh jadi anda yang di luar gereja lebih kristiani dari pada yang ibadat dalam gereja, mengapa? Karena gereja sejatinya bukan gedung, tapi pribadi tiap penganut Kristus.

Adalah baik menghormati tempat-tempat sakral dan bersejarah, tapi apabila anda merasa bahwa ibadah terbaik adalah ketika Ramadan semata karena bulan suci dan iming-iming ketiak bidadari, maka anda telah menyembah puasa. Ini jelas jebakan setan gundul bagi kaum beragama oplosan.

Jika anda merasa khusuk dan lantas jumawa hanya karena salat di Masjidil Haram dan umroh tiap pekan haji tiap bulan, serta ogah khusuk di tempat lain, maka anda hanya menyembah masjid, anda mempertuhankan tempat dan amal, bukan Allah. Apa bedanya dengan Iblis yang jumawa membanggakan ibadahnya selama 80.000 tahun dan karena nasabnya dari api, ia merasa lebih baik dari Nabi Adam yang berasal dari tanah.

Apabila anda asyiq-masyuq sembahyang di Yerusalem dan Katedral, dan lalu menganggap bahwa Tuhan hanya berada di sana, maka gugurlah iman Anda. Ibadah itu urusan pribadi Anda dengan sang Maha Pribadi, jangan ada seupil pun ganjalan yang merintangi Anda dengan Tuhan. Salatlah di luar salat, puasalah di luar puasa, bersabarlah sewaktu marah, manusiakan diri Anda dengan cara memanusiakan orang lain. Leluhur saya dari Stoa, Seneca, pernah mengingatkan bahwa orang yang marah sedang mmengalami gila sesaat, terutama jika kemarahnya sembari membawa nama-nama Dewa/Tuhan.

Baca Juga:  Ijazah Kerasan Mondok

Nah, yang marak terjadi kemudian, berjibun saudara kita yang mabuk dan ingin menjadi Arab, kesurupan Abu Jahal kesetanan Abu Lahab, sehingga semua atribut gurun dan asesoris Jahiliyah dikenakan secara berlebihan sembari mencaci budaya bangsanya sendiri. Mereka tetiba memuja jenggot, jidat, serban segede parabola, gamis motif polkadot, cadar ala ninja, sok hijrah, anti bunga bank dan BPJS, padahal sebenarnya ogah bayar tapi mau terima, mengutuk demokrasi, mempersetankan UUD 1945, anti Pancasila karena tidak tercantum sila keenam tentang poligami.

Mereka ini, yang kebanyakan kaum cuti nalar dan mogok mikir rata-rata belum bisa membedakan mana Arab mana Islam. Sehingga, dalam pandangan mereka, Arab ya Islam, Islam ya Arab, yang anti Arab otomatis anti Islam. Ganjilnya lagi, mereka membawa cara pandang arab-sentris ini ke gelanggang politik dan ruang publik, terjadilah kegaduhan dan tsunami kebencian. Mengapa? Karena para jidatis, jenggotis, cingkrangis, hijrahis, dan cadaris tidak mau tahu bahwa Islam agama ilmu, agama cinta-kasih, sehingga kesalahpahamanlah yang mereka pamerkan.

Absolutisme ini dipicu oleh kurang matangnya mereka (1) secara intelektual, karena pengetahuannya “itu-itu” saja, maka sikapnya ya “gitu-gitu aja”; juga (2) masih amatir dari sisi emosional dan mental, sehingga menganggap perbedaan sebagai ancaman bagi “kemapanan” yang selama ini disakralkannya; serta (3) rendahnya spiritualitas, sehingga terjebak pada atribut-atribut formal nirfaedah yang belakangan menjadi komoditas politik para gembala kaum monaslimin.

Padahal, Nabi Muhammad Saw berkhotbah di tengah-tengah hari tasyriq: “Wahai sekalian manusia, Tuhan kalian satu, dan ayah kalian (nabi Adam) satu. Ingatlah, tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas non-Arab, pun sebaliknya. Tidak ada kelebihan bagi yang berkulit merah atas orang berkulit hitam, demikian sebaliknya, kecuali dengan ketakwaan. Apa aku sudah menyampaikan?” mereka menjawab: ya, benar Rasulullah, engkau telah menyampaikan.” (HR. Ahmad/22.391). Hal ini paralel dengan pesan al-Qur’an QS al-Hujirat: 13 dan QS. Al-Isra: 70

Baca Juga:  Habib

Kalau kita lapang dada dan bersabar membuka buku-buku sejarah, kita akan segera menginsyafi bahwa salah satu misi kenabian adalah menghapus kesukuan juga budaya Arab Jahiliyah yang cenderung tribalistik dan etnosentris. Mana buktinya? Abu Bakar dari suku Taimi oleh kanjeng Nabi diganti as-Shiddiq (yang jujur), Umar bin Khattab dari klan ‘Adi menanggalkan kesukuannya dan oleh Nabi Saw diganti al-Faruq (pembeda benar-salah), Utsman bin Affan al-Umawi berganti dzun-nurain (pemilik dua cahaya), dan Ali bin Abi Thalib al-Hasyimi oleh Nabi Muhammad diganti al-Murtadha (yang diridhoi Tuhan).

Sementara itu khilafah pasca mereka justru menghidupkan kembali dan membanggakan kesukuan: dinasti bani Umayyah, suku Abbasyiyah, klan Ayyubiyah, bani Saljuk, dan bahkan imperium Ottoman. Ini jelas kemunduran. Jadi, khilafah ala bani-bani itu plus yang diusung Hizbut Tahrir jelas satu kemunduran dan menghancurkan spirit egalitarianisme yang digagas Nabi. Ini jelas ingkar Sunnah.

Bahkan, Nabi Muhammad sendiri bukan Arab asli, lo kok? Leluhur beliau adalah Nabi Ismail bin Ibrahim as, berasal dari distrik Orkelda atau Ur Kaldan, negeri Babilonia (sekarang Irak) sebelum akhirnya keluarga ini hijrah ke Bakkah atau Mekah dan Nabi Ibrahim sendiri kembali ke Palestina.

Nama Ismail sebenarnya arabisasi dari bahasa Ibrani: Yishma artinya mendengar dan El atau Elohim maknanya Tuhan. Jadi Yishmael atau Ismail artinya orang yang senantiasa mendengarkan Tuhan dan Tuhan mendengarnya. Jika demikian, Nabi Muhammad bukan Arab asli, beliau musta’ribah atau mu’arrab alias Arab pendatang, maka kepribadian beliau sangat berbeda dengan Arab asli atau suku Badui (QS. at-Taubah: 97) yang sangat ingkar, kafir, paling munafik, sangat primitif, tidak mengerti hukum dan memang ingin mencelakai Nabi Saw. Namun demikian, beliau mengingatkan kita bahwa tidak ada bedanya Arab dengan yang lain, karena beliau memang diutus untuk semua bangsa, seluruh dunia.

Baca Juga:  Kenapa Harus Bershalawat?

Lagi pula, apa pentingnya membanggakan suku, toh leluhur umat manusia secara biologis itu satu, suci dan mulia, yakni Nabi Adam as yang berasal dari surga. Hanya karena misi kemanusiaan untuk memakmurkan bumi, beliau dimutasi ke dunia. Jadi, semua manusia adalah imigran di bumi, tidak ada yang asli. Kabar baiknya kita semua akan dikembalikan ke surga, ke negeri asal-usul kita. Sementara itu, muasal seluruh makhluk secara spiritual, nous dan logos kita adalah Nur Muhammad. Jadi, Nabi Muhammad adalah akar semesta, yang jika tak ada beliau, alam raya oleh Tuhan takkan pernah dicipta.

Well, inilah pertanyaan pentingnya: Mengapa kita harus tetap tinggal di Indonesia? Tempat terbaik untuk memulai hidup baru yang berkualitas adalah tempat di mana Anda tinggal sekarang. Jika demikian, setiap kali Anda berandai-andai untuk tinggal atau berada di tempat lain demi menghindari keadaan saat ini, pada saat yang sama Anda telah menjauhkan diri dengan kebahagiaan Anda.

Indonesia adalah tempat kita lahir dan berpijak, bernafas, makan-minum, bertani dan berniaga, menanam harapan-harapan, bahkan nanti bumi Indonesia juga yang akan mendekap memeluk kita yang mati. Tidak harus menjadi Arab dan Eropa, sebab Indonesia adalah identitas kita. Tidak perlu malu mengakui dan membanggakan hal itu! Dan, kabar baiknya, Nabi Muhammad Saw sudah mencontohkan betapa pentingnya cinta tanah air, patriotisme dan nasionalisme dengan sabdanya yang populer, “Aku mencintai Arab karena aku orang Arab.” padahal, kita tahu, beliau Arab naturalisasi.

So, kita tetap bisa berislam dengan berindonesia, beragama sembari bernegara, menjalankan bilai-nilai moral sembari menjaga tradisi leluhur. Karena kebinekaan ini adalah bagian dari rencana besar Tuhan, maka kita harus riang gembira mengambil bagian dan merayakan perbedaan. Kecuali, kita memang merasa hidup 15 abad silam di gurun pasir, lantas dengan pongah memilih menjadi Arab Badui yang defisit ilmu dan cuti akhlak.

Ach Dhofir Zuhry
Alumni PP Nurul Jadid Paiton, Penulis Buku Peradaban Sarung, Kondom Gergaji dan Mari Menjadi Gila, Pengasuh Pesantren Luhur Baitul Hikmah Penasehat Dunia Santri Community dan pengampu kajian Tafsir Tematik NUonline tiap ahad sore 16.30 WIB

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Hikmah