Aku

Di zaman big data, big dusta dan big nista ini, masih adakah big cinta dan cita-cita? Mula-mula, yang harus sering-sering disangsikan oleh manusia, wa bil khusus “bocah milenial”, kepada dirinya sendiri tak lain adalah: Apakah aku ini masih manusia? Seberapa setankah aku di jagad maya dan fana? Benarkah aku lebih baik dari bangsa jin, binatang dan bahkan para malaikat? Apa masih layak aku disebut khalifatullah? Apakah aku seorang hamba yang sungguh-sungguh menghamba?

Logika kuno sesekali bisa kita terapkan, jika Nabinda Agung Muhammad adalah Nabi dan Rasul terbaik, apakah otomatis kita ini umat terbaik? Ya, tentu saja, tapi syarat dan ketentuan berlaku. Apa sajakah prasyarat itu, Kisanak?

Untuk menguji seberapa manusiakah kita, harus ada cermin, mesti ada tolak ukur dan acuan. Mula-mula kita kuliti terlebih dahulu kedirian kita. Manusia, dalam Kitab Suci disebut dengan beberpa istilah, yakni: “nas” (manusia secara umum), basyar (manusia secara biologis dan anatomi fisik), serta “insan” (manusia dengan dua kecenderungan).

Nah, manusia dengan dua kecenderungan (baik-buruk) inilah yang kelak bergelar “insan kamil” atau manusia paripurna. Ia tak lain Nabi Muhammad Saw sendiri dan tentu saja orang-orang pilihan yang dimuhammadkan oleh Allah karena terus berusaha memuhammadkan dirinya sepanjang usia. Yakni, manusia yang mampu mengendalikan potensi jahat dengan menajamkan potensi baik yang ada dalam dirinya, mengalahkan nafsu dengan akalnya, membendung arus jahat dengan berupaya menahan diri serta tarus berjuang untuk tidak jatuh menjadi binatang dan apalagi setan.

Pendek kata, perjuangan menjadi manusia adalah perjuangan terberat, memperjuangkan akal sehat adalah pergulatan terhebat. Malaikat oleh Allah SWT tidak diuji dengan nafsu, apa istimewanya? Binatang tak diuji dengan akal, apa hebatnya? Sementara manusia diuji dengan keduanya. Jika lulus dan berhasil memuhammadkan dirinya, manusia menjadi jivan mukti, menjadi insan kamil sebagaimana para Nabi dan Rasul kinasih.

Baca Juga:  Belajar dari Imam Sibaweh Sang Pakar Ilmu Nahwu

Kabar baiknya, Kisanak, kita sebagai umat Muhammad ini juga bisa menjadi “insan kamil” seperti beliau. Caranya? Anda tahu cara klasik untuk membuat magnet? Ya, besi atau lempeng baja yang tadinya tidak memiliki sifat magnet digosokkan secara searah pada ujung magnet permanen agar magnet elementer yang ada pada besi menjadi teratur satu arah. Jika magnet elementer pada besi atau baja telah teratur dan mengarah ke satu titik, karuan saja besi atau baja tersebut telah menjadi magnet. Wow, sesederhana itu!

Begitu pula kepada Nabi, “magnet-magnet” batangan bikinan Nabi adalah para Sahabat beliau sendiri, lalu sahabat mencetak “magnet-magnet” ilmu dan akhlak bernama tabi’in, begitulah seterusnya hingga para Ulama di Nusantara. Secara gampang, amal yang simpel dengan budget murah untuk menjadi orang saleh adalah mendekat dan bergaul dengan para alim-ulama. Jika diri kita masih sulit mencintai Tuhan dan Nabi, berusahalah mencintai orang-orang yang cinta kepada Tuhan dan Nabi.

Semakin sering kita menggosok sifat-sifat “besi” dalam diri dengan magnet-magnet warisan baginda Nabi, semakin cepat kita menjadi magnet yang akan menarik segala kebaikan dan kemanusiaan. Semakin dekat kita dengan pemancar dan Wifi bernama Nur Muhammad, semakin kuat koneksi kita dengan Tuhan.  Secara gampang, mustahil kita meraih ridho Tuhan dengan cara menyakiti sesama manusia, yang notabene sama-sama ciptaan Ilahi, sama-sama tercipta dari cahaya Nabi.

Namun demikian, Tuan dan Puan, sifat kemagnetan bisa hilang jika magnet tersebut dipanaskan, dipukul-pukul dan dialiri listrik berarus bolak-balik (AC). Pemanasan dan pemukulan magnet dapat membuat magnet elementer mengalami perubahan susunan dan tidak satu arah. Penggunakan arus AC membuat arus listrik berubah-ubah, pada gilirannya akan mempengaruhi letak dan arah magnet elementer. Lambat-laun, perubahan tersebut akan membuat sifat magnet lenyap sama sekali.

Baca Juga:  Pentingnya Kemurnian Niat

Yup, saatnya melihat ke dalam diri. Kebiasaan baik yang telah kita bentuk dari para guru dan orang tua, yang kita canangkan demi reputasi dan harga diri, apabila terus dipanaskan dengan maksiat dan dosa, cepat atau sangat cepat akan luntur juga segala kebajikan magnetis yang telah kita bangun dengan susah-payah itu. Apa sebab?

Kebaikan secara magnetis akan menarik kebaikan yang lain, demikian halnya keburukan, ia kerap kali menjadi pintu masuk bagi kejahatan yang lain. Contoh: jika kita berbohong sekali, lazimnya kita akan terus berbohong untuk menutupi kebohongan pertama, kebohongan ketiga akan kita lakukan untuk menyamarkan dusta yang kedua, tipu-tipu yang kelima akan kita update untuk melenyapkan jejak tipu-tipu yang keempat, dan begitulah seterusnya, kita terjebak pada lingkaran setan yang kita buat sendiri. Sehingga, lahirlah wabah tipu-tipu dan kamuflase nasional berbasis Medsos.

Oleh karena itu, penting untuk melatih diri agar tak bosan-bosan menjumpai manusia, melihat, menyapa, mendengar, merasa dan tentu saja hidup bersama sebagai manusia yang memanusiakan sesama, memuhammadkan yang berbeda. Ada ujar-ujar lama berbunyi “urip iku urup” (hidup itu nyala, hidup itu saling berbagi dan tukar-menukar kesalehan). Jadi, tak hanya “bertemu” secara jasmani, tapi juga “berjumpa” secara rohani dengan sesama, dengan semesta, sebab Nur Muhammad telah mewujud pada setiap benda dan termanifestasi dalam segala apa.

Pun juga dalam salat, setiap kita duduk tahiyat, kita sedang bertemu Allah, berjumpa dengan Nabi dan tentu saja para Malaikat. O ya, mana buktinya?

Tahiyat adalah “replika” peristiwa Mikraj. Yakni, ketika di puncak tertinggi, Nabi Muhammad memberi hormat kepada Allah SWT dengan ucapan “At-tahiyyâtul mubârakâtus shalawâtut thayyibâtu liLlâh”, kemudian Allah SWT berkenan menjawab dengan mengucap salam kepada Nabi Muhammad Saw, “As-salâmu ‘alaika ayyuhan-Nabiyyu wa rahmatuLlâhi wa barakâtuh”, untuk kemudian para malaikat menyambut, “As-salâmu ‘alainâ wa ‘alâ ‘ibadiLlâhis shalihîn” dan lantas sembahyang kita tutup dengan ucapan salam kepada manusia di kanan-kiri kita, di kehidupan sosial kita. Itu maknanya, kita harus memantulkan nilai-nilai salat di luar salat, sebagaimana sang Nabi yang turun ke bumi setelah peristiwa Mikraj.

Baca Juga:  Hikmah Ketika Majnun Dimabuk Rindu Bertemu Laila

Demikianlah syahadat kita, syahadat ketuhanan dan sekaligus kemanusiaan, begitu pula salat, puasa, zakat, haji, dan bahkan semua ibadah dan perintah agama memiliki dua dimensi itu, sehingga hanya menegakkan dimensi ketuhanan dengan mencederai kemanusiaan adalah keliru, pun sebaliknya.

Nah, saatnya mengakhiri tulisan ini dengan sebilah tanya yang menikam ke jantung kesadaran: “Oh diri, manusiakah aku, muhammadkah aku? Tuhan, muhammadkan aku! Amin.”

 

Ach Dhofir Zuhry
Alumni PP Nurul Jadid Paiton, Penulis Buku Peradaban Sarung, Kondom Gergaji dan Mari Menjadi Gila, Pengasuh Pesantren Luhur Baitul Hikmah Penasehat Dunia Santri Community dan pengampu kajian Tafsir Tematik NUonline tiap ahad sore 16.30 WIB

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Hikmah