Tanpa terasa umat muslim sudah memasuki tahun 1443 H. Ada banyak hal yang perlu kita lakukan menyongsong tahun baru. Dalam Islam, ada empat bulan yang sangat dimuliankan sebagaimana dalam QS. At-taubah: 36. Dalam riwayat lain, empat bulan yang disebutkan adalah bulan dzul qa’da, dzul hijjah, Muharram dan Rajab.
Dalam catatan sejarah, tahun baru ditetapkan oleh salah satu sahabat Umar bin Khattab ra. Pada masa kepemimpinanya, khalifah umar mendapat banyak surat sehingga beliau merasa kesulitan untuk mengetahui kapan surat itu dikirimkan. Sehingga beliau meminta para ahli dari kalangan sahabat untuk menyusun penetapan kalender dalam Islam.
Perumusan kalender Islam dihadiri beberapa sahabat berpengaruh waktu itu. Diantaranya, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, Zubain bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqas hingga Thalhah.
Dalam musyawarahnya, salah satu sahabat mengusulkan kepada khalifah Umar untuk menjadikan bi’tsah Nabi Muhammad SAW sebagai penetapan awal penanggalan. Sementara dalam riwayat lainnya, disebutkan bahwa yang mengusulkan kalender Islam mengacu pada kelahiran atau pengangkatan nabi sebagai Rasulullah.
Dalam perumusan ini, awalnya disepakati untuk menggunakan sistem kalender yang ada. Meski kala itu, terdapat perbedaan pendapat dimana beberapa pendapat mengusulkan milad Nabi Muhammad sebagai awal penetapan bulan. Ada pula yang mengusulkan peristiwa isra’ mi’raj.
Barulah ketika Ali bin Abi Thalib mengusulkan peristiwa hijrah Nabi Muhammad dari mekkah ke Yatsrib. Pengajuan ini dianggap momentum penting yang mana hijrah merupakan simbol perpindahan masa jahiliyah ke masyarakat madani. Pendapat ini kemudian disetujui oleh para sahabat lainnya dan dibuatlah kalender Islam dengan kalender hijriah. Penetapan ini dilakukan pada tahun ke 17 pasca hijrah Nabi atau pada tahun 638 M.
Syekh alamuddin As-sakhawi menyebutan dalam kitabnya bahwa penamaan Muharram tidak lepas dari aturan dan pantangan di dalamnya. Ditambah lagi, penduduk Arab waktu itu sangat labil, kadang satu tahun menghalalkan perang, kadang satu tahun berikutnya mengharamkan. Sehingga diputuskan bahwa pada bulan haram, haram melakukan peperangan secara tekstual dan larangan melakukan kemaksiatan secara metaforis.
Ada banyak kitab yang menyebutkan bahwa dalam buran Muharram ada banyak kejadian-kejadian pada umat terdahulu sehingga menjadikannya sebagai bulan mulia dalam islam. Kisah penciptaan Nabi Adam di surga terjadi pada bulan muharram. Tidak cukup itu saja, ketika Nabi Ibrahim berdosa, maka pada bulan ini pula taubatnya diterima oleh Allah. Bahkan, nabi Musa diselamatkan dari kejaran fir’aun dan tenggelam di laut merah.
Dalam kisah yang lain. Disebutkan bahwa nabi Ibrahim diselamatkan dari api besar raja Namrud pada bulan Muharram. Kita tahu, ketika nabi ibrahim menghancurkan ratusan berhala dan diketahui siapa pelakunya. Maka, raja Namrud melemparkan nabi Ibrahim ke api yang sangat besar. Namun, atas seidzin Allah api itu menjadi dingin, bahkan memberi rasa aman kepada nabi Ibrahim. Sebagaimana dalam QS. Al-anbiya’: 51.
Lain lagi dengan kisah nabi Yunus yang lari dari umatnya. Sesampai ditengah lautan, nabi Yunus dibuang ke lautan dan ditelan ikan paus. Setelah berbulan-bulan, Pada bulan Muharram ini pula nabi Yunus dikeluarkan dari dalam perut ikan dan dikembalikan ke daratan atas seizin Allah.
Mukjizat yang terjadi pada nabi Ayyub juga terjadi pada bulan Muharram. Kita tahu kisah teladan tentang kesabaran nabi Ayyub yang digerogoti penyakit di sekujur tubuhnya. Namun, beliau tetap sabar dan tabah terhadap cobaan yang menimpanya. Pada bulan muharram pula, atas seizin Allah, penyakit yang sudah lama menggorogoti tubuhnya diangkat dan disembuhkan.
Terlepas dari itu semua, sebagai bulan mulia dalam Islam, ada banyak kesunnahan di dalamnya. Pertama adalah puasa ‘asyura. Sebagaimana dalam hadits, Nabi pernah menyebutkan bahwa,” puasa apa yang paling utama setelah puasa ramadan adalah puasa di bulan Allah, Muharram.” Salah satu sahabat, Ibn Abbas ra, menyebutkan “aku tidak pernah melihat Rasulullah berupaya keras untuk puasa pada suatu hari lainnya kecuali pada hari ini, asyura’ dan ramadan.
Bukan hanya itu, ada anjuran bersedekah, menyantuni anak yatim. Bisa dibilang hal ini dalam rangka penebusan dosa. Setidaknya dalam rangka lidaf’il bala’ (tolak balak). Bukannya tidak mau menerima bala’ dari sang pencipta, agar supaya kita terhindar, jika tidak bisa, setidaknya kita tetap kuat iman, bertahan dan sabar layaknya kisah para nabi. Kita selalu berharap berada di jalannya.
Menjadi orang besar itu tidak mudah, pantangannya berat dan besar. Jika kita tabah seperti nabi terdahulu, maka Allah akan memberi jalan dan mempermudah dalam mengurusi segala urusan. Manusia diuji keimanannya, sejauh mana mereka bertahan terhadap ujian yang Tuhan, sejauh itu pulalah beban yang tuhan berikan. Allah tidak memberikan ujian diluar batas kemampuan manusia.
Hikmah yang bisa kita ambil dari sekian banyak kejadian yang dialami oleh para nabi terdahulu, untuk mendapatkan cinta Penciptanya, mereka diuji seberat mungkin. Sabar, tabah dan bertahan terhadap segala apa yang Allah berikan, maka derajat mereka diangkat. Biarlah mereka dianggap hina oleh kalangan sesama, asal nama mereka disanjung di atas langit sana. []