Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah. Ketika Ramadhan tiba maka umat Islam akan berlomba-lomba untuk memperbanyak ibadah. Salah satu cara memotivasi agar rajin beribadah adalah dengan janji pahala yang besar. Hadits yang akan dibahas jika ditilik dari materinya tentu sangat bagus apabila digunakan untuk memotivasi agar rajin beribadah kepada Allah swt. Namun, akan menjadi suatu kesalahan besar jika suatu ibadah disandarkan pada sesuatu yang tidak jelas sumbernya.
Al-Qur’an dalam surah al-Hujurat ayat 6 pun menganjurkan agar menyelidiki terlebih dahulu berita yang dibawa oleh orang fasik.
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Q.S. al-Hujurat: 6)
Ayat di atas merupakan salah satu dasar yang ditetapkan agama dalam kehidupan sosial sekaligus merupakan tuntunan yang sangat logis bagi penerimaan dan pengamalan suatu berita. Kehidupan manusia dan interaksinya haruslah didasarkan hal-hal yang diketahui dengan jelas. Karena itu jika ada suatu berita maka harus disaring agar tidak ada seseorang atau masyarakat yang melangkah tidak dengan jelas.
Penekanan pada kata fasiq bukan pada semua penyampai berita karena ayat ini turun di tengah masyarakat muslim yang cukup bersih, sehingga apabila semua penyampai berita harus diselidiki kebenaran informasinya, maka hal ini akan menimbulkan keraguan di tengah masyarakat.
Namun demikian, perlu dicatat bahwa bila dalam suatu masyarakat telah sedemikian banyak orang-orang fasik, maka ketika itu berita apa pun yang penting tidak boleh begitu saja diterima. Keadaan inilah yang terjadi pada umat Islam setelah terjadinya peristiwa pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan.
Dahulu ketika ulama menyeleksi informasi para perawi hadits-hadits Nabi, salah satu yang diperbincangkan adalah penerimaan riwayat yang disampaikan oleh sejumlah orang yang dinilai mustahil menurut kebiasaan mereka sepakat berbohong, atau yang lebih populer dengan istilah mutawatir.
Yang kemudian diperbincangkan lebih lanjut adalah jumlah yang banyak itu juga harus memenuhi syarat-syarat. Mungkin saja terjadi orang banyak itu tidak memahami persoalan yang terjadi atau dimungkinkan mereka telah memiliki asumsi dasar yang keliru. Pada titik ini, sebanyak apa pun yang menyampaikan suatu berita tidak bisa menjadi jaminan kebenaran berita tersebut.
Mencermati fenomena yang terjadi di masyarakat belakangan ini sepertinya sesuai dengan analisa di atas. Banyak orang yang berbicara tentang suatu hadits tetapi mereka tidak memahami secara mendalam tentang apa yang mereka bicarakan. Hal ini lah yang kemudian berusaha diluruskan oleh Ali Mustafa Yaqub. Dengan kapasitas keilmuan yang memang mumpuni di bidangnya, beliau berusaha untuk meluruskan pemahaman keliru yang terlanjur populer di tengah masyarakat.
Hadits Tentang Ramadhan Diawali Dengan Rahmat
Hadits yang disorot oleh Ali Mustafa Yaqub adalah hadits tentang Ramadhan yang diawali dengan rahmat. Hadits ini sangat sering terdengar ketika bulan Ramadhan tiba.
Diriwayatkan dari Ahmad bin Dawud, dari Hisyam bin Ammar, Sallam bin Sawwar, dari Maslamah bin al-Shalt, dari al-Zuhri, dari Abi Salamah, dari Abi Hurairah, dari Rasulullah, beliau bersabda: “Permulaan bulan Ramadhan itu rahmat, pertengahannya maghfirah, dan penghabisannya merupakan pembebasan dari neraka.”
Menurut Ali Mustafa Yaqub hadits tersebut tidak dapat dijadikan dalil untuk masalah apapun. Penilaian ini didasarkan pada komentar Imam al-Suyuti yang menyatakan hadits ini nilainya dhaif (lemah). Selain itu, Syekh Muhammad Nashir alDin al-Albani mengatakan bahwa hadits ini tergolong hadits munkar. Penilaian dua ulama di atas tidaklah bertentangan, karena hadits munkar adalah bagian dari hadits dhaif.
Hadits munkar adalah hadits yang dalam sanadnya ada rawi yang pernah melakukan kesalahan yang parah, pelupa, atau rawi tersebut telah jelas melakukan maksiat (fasiq). Hadits munkar tidak dapat dipakai sebagai dalil apa pun. Sebagai bagian dari hadits dhaif, hadits munkar menempati urutan ketiga sesudah matruk (semi palsu) dan maudhu (palsu).
Sumber kelemahan hadits ini adalah terdapat dua rawi yang bernama Sallam bin Sawwar dan Maslamah bin al-Shalt. Menurut ulama kritikus hadits, seperti Ibn Adiy dan Imam ibn Hibban, Sallam bin Sawwar adalah munkar al-hadits dan haditsnya tidak boleh dijadikan hujjah, kecuali jika ada perawi lain sebagai penguat.
Sementara itu, Maslamah bin Shalt setali tiga uang dengan Sallam bin Sawwar. Menurut Abu Hatim, Maslamah bin Shalt tergolong matruk, yaitu dimana dalam sanadnya ada rawi yang dituduh sebagai pendusta. Hadits maudhu (palsu) dan matruk (semi-palsu) sama-sama lahir dari rawi pendusta.
Keadaan ini tentu telah memenuhi salah satu kriteria tentang cara mendeteksi hadits palsu, yaitu adanya rawi yang pendusta. Apabila dalam sanad hadits terdapat rawi, maka para ahli hadits menetapkan hadits itu palsu. Sementara apabila rawinya didugasebagai pendusta, maka haditsnya hanya dinilai matruk (tidak dipakai), suatu klasifikasi terburuk dari hadits-hadits lemah.
Memang ada riwayat lain yang terkait dengan hadits yang sedang dibahas, yaitu hadits yang terdapat dalam kitab Shahih Ibn Khuzaimah. Teks hadits ini cukup panjang, penggalan hadits tersebut sebagai berikut yang artinya:
“Allah akan memberikan pahala kepada orang yang memberikan buka puasa meskipun hanya sebiji kurma, seteguk air, atau setetes susu masam. Bulan itu diawali dengan rahmat, pertengahannya adalah maghfirah, dan diakhiri dengan pembebasan dari neraka.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ali bin Hujr al-Sa’di, dari Yusuf bin Ziyad, dari Hammam bin Yahya, dari Ali bin Zayd bin Judan, dari Said bin al-Musayyib, dari Salman, dari Rasulullah, Riwayat ini ternyata juga dha’if.
Penilaian ini didasarkan dengan adanya rawi yang bernama Ali bin Zaid bin Judan. Menurut kritikus hadits Imam Yahya bin Main, Ali bin Zaid bin Judan adalah laisa bi hujjah (tidak dapat dijadikan hujjah). Sementara menurut kritikus hadits yang lain, yaitu Imam Abu Zurah, perawi ini laisa bi qawiy (tidak kuat), begitu pula pendapat kritikus-kritikus hadits yang lain.
Hadits riwayat Ibn Khuzaimah ini tidak dapat memperkuat hadits riwayat al-Uqaili. Dan begitu pula sebaliknya. Ini dikarenakan faktor kedhaifan rawi-rawi yang telah disebutkan. []