NU adalah singkatan dari Nahdhatul Ulama (dengan transliterasi lain; Nahdhah al-Ulama, Nahdla al-‘Ulama, Nahdlatul Ulama). Nahdhatul Ulama secara bahasa diartikan dengan kebangkitan ulama. Tapi, tahukan kalian bahwa kata “Nahdhah” ini bukan hanya memiliki arti bangkit, tetapi memiliki sejarah tersendiri dalam bahasa Arab.
Mengapa kata “Nahdhah” yang dipilih oleh para pendiri NU? Mengapa tidak menggunakan “Izdihar, Taqaddum, Rif’ah, Majdu, Numuwwu, Nuhudh” atau kata lainnya yang senada (sinonim, mutaradifat) dengan kata Nahdhah.?. Alasan ini dapat dicari dalam tulisan panjang tentang Nahdhatul Ulama, karena penulis hanya akan mengkaji secara singkat tentang kata Nahdhah. Dan “alasan” penggunaan kata ini, pastilah sangat menarik bila ditilik lebih jauh.
Kata Nahdhah (نهضة) adalah kata tunggal (mufrad), dan jamak-nya adalah Nahadhat (نهَضات) dan Nahdat (نهْضات). Dalam Mu’jam Al-Ma’ani kata Nahdhah bermakna; thaqah, طاقة (energi, kekuatan, kapasitas, kemampuan, kapabilitas, kecakapan), quwwah, قوة (kekuatan, kekuasaan, tenaga, potensi, otoritas, kesanggupan). Juga bermakna al-Wastbatu fi sabili taqaddum al-Ijtima’i wa ghairihi (lompatan demi kemajuan sosial dan lainnya, atau melompat dengan cepat).
Selain makna di atas, kata Nahdhah juga bermakna harkah (حركة), yaitu pergerakan, kelincahan, aktifitas. Dan bermakna himmah (همة), yaitu keinginan yang besar, hasrat, semangat, tenaga, kekuatan, vitalitas dan ambisi. Bila menggunakan wazan mufa’alah (مناهضة), maka bermakna haraba wa muqawamah (bangkit melawan penindasan dan tirani).
Dari kata-kata di atas, dengan semua derivasinya menunjukkan makna bergerak, kuat, semangat, bangkit, dan lompatan untuk maju dan menjadi hebat. Mungkin, ini di antara alasan mengapa NU menggunakan kata Nahdhah (Allahu’alam bisshawab).
Kata “Nahdhah” sangat populer di Arab, seperti An-Nahdha Al-Arabiyah (Kebangkitan Arab), dan kata ini juga digunakan dalam politik, akademik, keamanan dan lainnya, seperti Nahdhatul Adab al-Arabi (kebangkitan sastra Arab).
النَّهْضَةُ العَرَبِيَّةُ : الاِنْبِعَاثُ، الاِرْتِفَاعُ، التَّجَدُّدُ، التَّقَدُّمُ بَعْدَ التَّأَخُّرِ وَالاِنْحِطَاطِ عَرَفَتِ البِلاَدُ نَهْضَةً عِلْمِيَّةً
Kebangkitan Arab: kelahiran kembali, kebangkitan, pembaharuan, kemajuan setelah kemunduran, negara mengalami kebangkitan ilmiah. (Al-Ma’ani).
عصر النَّهضة الأوربيّة: عصر التجديد الأدبيّ والفنيّ والعلميّ ابتدأ في إيطاليا وعمَّ أوربا في القرنين الخامس عشر والسادس عشر
Renaisans (kebangkitan) Eropa: Era pembaruan sastra, seni, dan sain yang dimulai di Italia dan menyebar ke seluruh Eropa pada abad ke-15 dan ke-16. (El-Ma’rifah)
Kata Nahdhah dalam NU, bila ditilik dari Asr Nadhah di atas, adalah kebangkitan tidak hanya pada tataran akademik saja, tapi juga sain, teknologi, sastra, seni dan lainnya. Dan ini menjadi harapan An-Nahdiyun (warga NU), bagaimana Indonesia di bawah organisasi yang sudah mencapai 1 Abad ini akan ada kebangkitan dari berbagai aspek. Bimasyiatillah.
Dalam Kamus Al-Ghina, Ar-Raid, dan Al-Wasit kata “Nahdhah” secara etimologi adalah bangkit dari tempat duduk (qiyam), siap-siap (isti’dat), berdiri dengan cepat, bangkit dengan gesit, bergerak dan bersegera. Dalam El-Ma’rifah bila menilik kata Nahdhah, maka akan ditemukan kata Asr Nahdhah (masa kebangkitan, Renaissance), An-Nahdhah (Renaisans) dalam arti spesifiknya adalah gerakan untuk menghidupkan kembali warisan masa lalu (ihya al-turas al-qadim), tetapi dalam arti yang lebih luas, an-Nahdhah adalah ibarat dari kebangkitan masa lalu dari berbagai aspeknya; seni, sastra, ilmu pengetahuan, studi, dan perubahan yang menyertainya dalam kehidupan sosial, ekonomi, agama dan politik.
Mungkin ada yang bertanya, mengapa NU dinamakan Nahdhah (kebangkitan), tetapi tetap mempertahankan yang lama (tradisi, bahkan dikesankan tradisional)?. Lah, inilah keunikan NU, dengan kalimat yang sering disampaikan para kyai dalam pengajiannya, “al-Muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah, Memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik”. Bangkit, tidak menghilangkan sesuatu yang baik, bergerak tidak harus meninggalkan sesuatu di belakang, bergerak dan maju adalah sebuah keniscayaan bagi sebuah kebangkitan.
Sebelum disepakati nama Nahdhatul Ulama, para ulama hampir menyepakati nama “Nuhudh” (bangkit), yang merupakan masdar dari kata nahada-yanhadu-nuhudh wa nahdh. Mengapa tidak dipilih kata “Nuhudh” walau memiliki arti yang sama “bangkit”?. Alasannya, karena kata nuhudh dianggap bangkit tapi secara personal (sendiri-sendiri, secara individu). Berbeda dengan nahdhah yang bermakna bangkit dan bergerak. Dan bergerak tidak sendiri-sendiri, tapi bergerak bersama untuk maju. Dalam kata nahdhah ada harkah (gerak, bergerak) dan juga bersama, demikian kata Kyai Miftah dalam laman Republika. Yang mengusulkan nama Nahdhah, kata Kyai Miftah adalah Sayyid Alwi bin Abdil Aziz.
Kata “Nahdhah” sendiri memiliki sejarah panjang, sepanjang perjalanan dunia, baik di Barat atau di Timur, demikian juga dengan sejarah perjalanan keagamaan, pemerintahan dan perpolitikan di Indonesia. []