KH A Wahid Hasyim pernah menulis artikel Mengapa Saya Memilih NU? Pertanyaan ini menarik karena muncul dari anak pendiri NU. Sepulang dari pengembaraan intelektualnya pada pertengahan 1930-an, Wahid belia menimbang-nimbang, organisasi mana yang layak ia pilih. Sebagai kaum muda yang haus dengan kemajuan, ia lihat mana yang radikal dan revolusioner. Ia cermati juga mana yang dipenuhi kaum terpelajar dan intelektual.
Pada 1938 pilihannya jatuh pada Nahdlatul Ulama. Pilihan ini bukan semata karena NU didirikan oleh ayahandanya. Bahkan ia sadar bahwa NU merupakan perhimpunan dari orang-orang tua yang geraknya lambat, tidak terasa dan tidak revolusioner. Tetapi dari amatannya, yang penting itu bukanlah kegagahan di dalam berjuang, melainkan hasil yang dicapai dalam perjuangan itu sendiri. NU berhasil membentuk cabang di 60 % wilayah Indonesia hanya dalam waktu satu dasawarsa. Di mata Wahid, kekuatan jejaring ini tak bisa ditandingi oleh organisasi lain. Sebuah pilihan dengan kesadaran yang penuh. Sekalipun NU, waktu itu, tidak dipenuhi oleh kaum intelektual lulusan sekolahan Hindia Belanda, tetapi pijakan perjuangannya dalam pergerakan nasional sangat kokoh.
Bagi Wahid, pada akhirnya bukan hanya otak yang menyebabkan majunya organisasi, melainkan juga mentalitas. Di sinilah fokus para kiai NU, menggembleng santri agar bermental baja, bergelora dalam semangat, mengabdi dalam khidmat. Menjunjung hormat para ulama, selalu menanti restu para kiai. Wahid melihat para ulama yang dikiranya sebagai rintangan bagi kemajuan, malah sebaliknya, justru menjadi faktor yang mempercepat kemajuan. Pada dasarnya para ulama itu terbuka pada perubahan asalkan agen perubahan itu mampu menyampaikan argumentasi yang masuk akal.
Wahid membuktikan soal ini dalam pemakaian dasi yang menurutnya akan membuat kiai NU lebih berwibawa dan dihormati. Sebelumnya memakai dasi diharamkan karena meniru cara berpakaian orang kafir. Setelah Indonesia merdeka, memakai jas, pantalon, dan dasi adalah kebutuhan. Para kiai pesantren bukan hanya menerima argumen Wahid bahkan menirunya. Seperti yang dilakukan Ajengan Ruhiat Cipasung, berjas dan berdasi sekalipun ke bawah tetap bersarung. Menurut mereka, memakai dasi adalah “sunnahnya” Wahid Hasyim.
Perubahan di dalam NU memang tidaklah radikal, tetapi ketika ide tersebut diterima, maka perubahan akan berlangsung secara masif. Diperlukan keteladanan yang kuat dari seorang pembawa perubahan itu, dan tidak semua tokoh NU yang menawarkan perubahan memiliki kekuatan personal yang layak diteladani.
Memahami bahasa kiai dan kode budaya pesantren, bukan hal yang mudah bagi pembawa perubahan yang tergesa-gesa, apalagi tidak dibekali adab yang memadai.
Kisah menarik dituturkan oleh aktivis perempuan Neng Dara Affiah. Ketika isu kesetaraan gender menguat dan hendak dibawa ke tengah pesantren, KH Abdurrahman Wahid mengingatkan para aktivis itu agar menggunakan istilah yang lebih mudah diterima para kiai dan nyai. Gus Dur meminta agar istilah Pelatihan Gender diganti Halaqah Kepemimpinan Perempuan. Kemasan luar harus diterima terlebih dahulu, selanjutnya terkait materi yang disampaikan, bisa diatur lebih lanjut dan biasanya tidak dipersoalkan lagi. Kiai-kiai itu pada dasarnya tidak mempersoalkan ide pembaharuan tetapi mempermasalahkan caranya disampaikan. Ide-ide segar pun singgah ke pesantren-pesantren NU dan diadaptasi sesuai kebutuhan masing-masing.
Pesantren salaf tetap bertahan hingga diakui oleh negara melalui Ma’had Aly Mu’adalah yang setara S1. Perguruan tinggi berdiri di berbagai pesantren. Para gus dan ning tidak hanya lulus dari universitas Timur Tengah tetapi juga dari universitas di Eropa, Amerika, dan Australia. Pelan tapi pasti Universitas NU berdiri di berbagai Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. Dengan kombinasi al-muhafazhah dan al-akhdzu, tidak mengherankan jika di era digital sekarang portal nu.or.id muncul sebagai website terbesar dan terbaik di lingkungan ormas Islam, bahkan dibandingkan dengan ormas agama non-Islam.
Ide kader NU boleh “liar” kemana saja, tetapi akhlak dan adab tetaplah dinomorsatukan, karena itulah inti risalah kenabian, menyempurnakan kemuliaan budi pekerti. Pertanyaan Kiai Wahid Mengapa saya memilih NU? itu diajukan sebelum Indonesia merdeka. Kini setelah kemerdekaan diraih, masa revolusi dilalui, dan berjalan di era reformasi, mengapa NU tetap penting?
NU yang disangka jumud dan kolot oleh kaum intelektual zaman old, ternyata tampil sebagai organisasi zaman now dengan jumlah cendekiawan yang kian hari semakin banyak dalam beragam keahlian. Kajian keislaman NU lebih hidup dan kontekstual. NU yang dulu dinilai tidak radikal/revolusioner justru berdiri paling depan ketika ada rongrongan terhadap ideologi negara NKRI. Banser jauh lebih sigap mengawal Pancasila dibandingkan organisasi pemuda yang memakai nama dasar negara itu.
Walhasil, dengan penuh kesadaran kita akui bahwa hari ini, NU tetap penting dan relevan. Pentingnya NU itu bukan hanya bagi Nahdliyyin, tetapi dirasakan pula oleh warga non-NU dan non-Muslim. Lagu Syubbanul Wathon bergema tidak hanya di acara-acara NU, tapi kini kalangan gereja pun menyanyikannya dengan heroik, “Cintamu dalam imanku … Siapa datang mengancammu kan binasa di bawah dulimu.”
Menjelang seabad NU, rasanya tuturan Hadratussyeikh semakin relevan, “Siapa yang mengurus NU, aku anggap santriku. Siapa yang menjadi santriku, aku doakan husnul khotimah beserta keluarganya.”
Sambil berdoa untuk para ulama NU yang sudah kembali ke haribaan Sang Pencipta, wabilkhushus Almagfurlahum KH. Sholahudin Wahid dan KH. Ahmad Bagdja. Alfatihah …
Pernah dimuat nu.or.id, 6 Februari 2018.