Hikmah

Menghutangi Allah?

(Ilustrasi: Islami.co)

“Aku sedang bertransaksi dengan Allah, melalui perantaraan kamu”, itu jawabanku ketika seorang teman yang mengaku sedang sangat terpuruk secara ekonomi bertanya kenapa aku mau meminjaminya uang 2 juta, sementara ia sudah bercerita bahwa ia sedang tidak punya apa-apa. Uang yang ia pinjampun mau dipakai membayar hutang pada rentenir yang awalnya sejuta jadi dua juta karena tiga tahun belum dibayar, alias gali lubang tutup lubang.

Aku hanya punya sepeda motor butut untuk aktivitas sehari-hari, seperangkat alat dapur untuk membuat pesanan kue dan HP lawas untuk promosi dan transaksi, semua harta lain seperti tanah, perhiasan emas, komputer dan sepeda motor yang lebih baru sudah terjual untuk mengobati almarhum suamiku”, katanya ketika memberi pendahuluan sebelum menyampaikan maksudnya.

Mendasarkan pada ceritanya, sebenarnya bisa saja aku menolak, karena perhitungan secara rasional akan membenarkannya. Hutang pada orang lain satu juta saja tidak sanggup dilunasi, padahal sudah bertahun-tahun, bagaimana bisa mau membayar hutang dua juta yang nota bene lebih banyak, sedangkan pendapatannya sangat tergantung pesanan kue orang lain. Tapi begitulah, seperti yang kukatakan di awal, aku mengiyakan permintaannya dengan niat bertransaksi dengan Allah.

Iya, aku menghutangi Allah.

Loh, masa sih… Memangnya bisa?

Sangat bisa… Allah sendiri yang memberi kesempatan kita untuk menghutangi-Nya, dan menjamin akan mengembalikannya. Pernyataan itu bisa ditemukan di Al Quran Surat Al hadid ayat 11 dan At Taghabun ayat 17.

“Barang siapa menghutangi Allah dengan hutang yang baik, maka Allah akan mengembalikannya dengan berlipat ganda, dan baginya pahala yang mulia”.

Hutang yang baik dalam fiqh diistilahkan dengan qordh al hasan, yaitu pinjaman tanpa mengharapkan balasan, murni menolong. Artinya, jika kita pinjam satu juta dengan akad qordh maka hanya wajib mengembalikan satu juta, tidak lebih. Qordh al hasan ini sangat tepat dilakukan dengan orang-orang yang mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan pokoknya, atau sifatnya konsumtif, misalnya makan, minum, pengobatan, biaya sekolah, memperbaiki rumah yang sudah tidak layak huni. Maka, anak-anak yatim, orang miskin, orang yang terlilit hutang, adalah orang-orang yang sangat berhak menerimanya.

Baca Juga:  Hakikat Rezeki Yang Kita Nikmati

Dalam kisah di atas, temanku yang merupakan orang yang sedang terlilit hutang, miskin, dengan posisi sebagai janda yang tidak lagi memiliki penjamin nafkah, malah harus menafkahi anak-anaknya sangatlah berhak mendapat qordh al hasan.

Mengapa harus hutang? Mengapa tidak disedekahkan saja?
Ya, mereka juga berhak mendapat sedekah, bahkan zakat yang tidak perlu mengembalikan. Tetapi, mereka juga berhak memperjuangkan nasibnya sekaligus menegakkan harga dirinya dengan berusaha mengembalikan. Secara psikis, terlalu sering diberi juga dapat mengganggu perasaan, misalnya merasa rendah diri di hadapan pemberinya, malu dan merasa membebani orang lain. Maka, jika permintaannya berbunyi hutang atau pinjam, ya harus dihormati, karena berarti punya harapan untuk mengembalikan. Jika permintaanya berbunyi minta alias tidak akan mengembalikan, sekiranya kita mampu ya beri saja sedekah, mungkin ia tidak yakin akan bisa mengembalikan.

Bagaimana jika bunyinya hutang tapi ternyata tidak mampu mengembalikan? Apa sikap yang yang dianjurkan bagi pemberi hutang?

Jika tidak mampunya benar-benar sudah melampau batas maksimal usahanya, adalah hal yang sangat mulia bagi pemberi hutang untuk membebaskan hutang itu.

“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui” (Al Baqarah: 280).

“Barang siapa yang senang diselamatkan Allah dari kesulitan pada hari kiamat maka hendaklah ia memudahkan orang yang kesulitan (bayar utang) atau membebaskan hutangnya”. (Hadis Riwayat Imam Muslim)

Pembebasan hutang ini adalah risalah Islam yang dimaksudkan untuk menghapuskan tradisi masa lalu di mana orang yang gagal bayar hutang harus menyerahkan dirinya untuk menjadi budak bagi yang menghutangi.

Tapi jika akan tetap menagih, itu adalah haknya, boleh saja, mungkin piutang itu sangat berharga buatnya.
Bagaimana caranya mengajak agar hati tidak berat untuk melakukan qordh al hasan? Dan tidak cemas akan hilang harta yang kita pinjamkan?

Baca Juga:  Keutamaan Sedekah, Menambah Rezeki dan Tolak Bahaya

Tidak terlalu sulit. Yang dihutangi adalah Allah, Dzat yang Maha Kaya, Dzat Pemilik Segalanya. Lewat orang itu atau lewat orang lain, pasti akan kembali. Bahkan, selama ini, tanpa dihutangipun Sanga Maha Kaya itu sudah menggratiskan banyak hal berharga buat kita, sangat tidak perlu cemas akan hilang. Tidak ada salahnya, sebagai ungkapan syukur atas banyak gratisan itu kita ambil kesempatan emas untuk menghutangi-Nya lewat hamba-Nya yang sedang mengalami kesulitan, di mana kesulitan itu juga atas takdir-Nya.

Waktu kuliah S1, aku pernah nyaris gagal ikut KKN, karena tidak bisa bayar 600.000. Tapi, Allah mengulurkan tangan-Nya lewat seseorang yang aku baru saja kenal kurang dari sejam. Orang itu, adik dari temanku, tiba-tiba melepaskan kalung yang sedang dipakainya, menyerahkan padaku, dan memintaku mengembalikan jika aku sudah mampu. Aku sangat terharu, pulang dari rumahnya langsung pergi ke toko emas dan menukarkan kalung itu dengan uang. Esok harinya, di hari terakhir pendaftaran, aku membayar, lalu ikut KKN, dan dengan jalan itu lancarlah kuliahku.

Allah memberiku kesulitan, aku mencari jalan dengan berhutang pada temanku, dia tidak punya, tapi Allah ajukan adiknya untuk menolongku. Kesulitanku menjadi ladang amal baik bagi adik temanku. Aku yakin ia bahagia dimampukan menolong, begitupun aku, sangat bahagia ditolongnya. Dan bukanlah tolong menolong dalam kebaikan adalah perintah-Nya? Dua minggu kemudian aku kembalikan dengan kalung lain yang sama beratnya.

Qordh al hasan, sungguh sebuah solusi Ilahiyah yang sangat indah.

Jika qordh al hasan artinya hutang yang baik, berarti ada hutang yang tidak baik donk… ?

Ada, semoga ada kesempatan lain untuk aku menulisnya.

Zulfa Nh
Dosen IAIN Tulungagung, Jawa Timur.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Hikmah