Seakan aneh ada terma Demokrasi berketuhanan seperti contoh Republik Indonesia. Memang tidak ada sistem kenegaraan buatan manusia yang sempurna, sementara Al-Quran dan hadis dengan segala hikmahnya tidak memberikan petunjuk yang utuh selain prinsip-prinsip yang terbatas (ijmaali).
Dengan plus minusnya, jumhur ulama kontemporer sedunia menerima sistem demokrasi berke-Tuhan-an karena:
1. Sebagai ibadah ghairu mahdhah, Islam sengaja tidak memberikan petunjuk tentang sistem kenegaraan yang baku, sehingga umat dapat melangkah secara fleksibel dan dinamis.
2. Istilah khilafah, khalifah, daulah, imamah dan sejenisnya tidak merujuk pada sistem kenegaraan, tetapi lebih pada fungsi kepemimpinan dan/manajerial secara umum. Terbukti nabi Adam disebut khalifah padahal ia sebagai pemimpin non formal (QS. 2:30). Nabi Dawud juga disebut khalifah meskipun sistem yang ia jalankan sebagai monarki kerajaan (QS. 38:26). Hadis riwayat Imam Ahmad tentang bakal kembalinya kekhilafahan nubuwah tidak terlepas dari kritik ke-dhaifan-nya oleh para ahli hadis.
3. Fakta dari sunnah fi’liyah era Nabi saw. yang membina negara dengan UUD-nya berupa Shahifah Madaniyah (Piagam Madinah hasil kesepakatan) berpayung Al-Quran dan pernah sekali diamandemen.
4. Fakta sunnah fi’liyah era khulafaur rasyidin yang sistem estafet kepemimpinannya berubah dari satu khalifah ke khalifah lain secara pragmatis, fleksibel dan dinamis meskipun tetap berpayung Al-Quran. Era Muawiyah dan dinasti berikutnya dari Amawiyah, Abasiyah, Fathimiyah, dan Utsmaniyah adalah sistem kerajaan meskipun ada yang menyebut khalifah. Pada era itu fuqaha banyak membahas etika politik dan perlakuan warga dengan kriteria Dar al-Islam dan Dar al-Harbi. Tetapi sistem kenegaraannya tetap kerajaan monarki seperti kerajaan lain kecuali raja dan mayoritas perangkatnya beragama Islam.
5. Dalam demokrasi berketuhanan prinsip-prinsip Al-Quran tentang sawasiyah (kesetaraan), huriyah (kemerdekaan), ‘adalah (keadilan), musyawarah (hak bicara) dan mas’uliyah (akuntabilitas) dapat terwujud lebih mudah dibanding sistem lain.
6. Dalam demokrasi berketuhanan, pembagian kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif dapat lebih mudah terjadinya mizan kehidupan (QS. 55: 7-8) untuk check and balance dan menghindari terpusatnya kekuasaan.
7. Dalam demokrasi berketuhanan, pameo vox populi vox dei tidak berlaku secara mutlak. Karena dibatasi dengan prinsip-prinsip agama.
8. Dalam demokrasi berketuhanan fitrah keinginan menjalin ukhuwah islamiyah dapat tersalur via lembaga semisal OKI (Organisasi Kerjasama Negara- negara Islam) yang oleh sebagian ulama disebut sebagai kekhilafahan modern.
9. Dalam demokrasi berketuhanan negara memberi ruang bagi umat untuk ber-fastabiqul khairaat (QS. 2:148), merawat kesamaan visi bersama atau “Kalimatin Sawaain” (QS. 3:64), dan mengelola perbedaan serta keberagaman (QS. 109: 6).
10. Dalam demokrasi berketuhanan lebih memungkinkan untuk terselenggaranya suksesi kepemimpinan tanpa berdarah-darah.
11. Dalam demokrasi berketuhanan warga lebih dapat memilih pemimpin yang dicintai dan diinginkan meskipun bukan keturunan raja atau orang berharta. Kalau umat terdidik, mereka akan memilih sesuai kriteria agamanya.
12. Dalam demokrasi berketuhanan, rakyat dapat mengawasi dan meluruskan kesalahan pemerintah baik mengenai kebijakan maupun anggaran secara legal dan terlembaga seperti DPR/DPD dan perangkat lain. Lembaga hisbah era dulu sudah bagus tetapi belum merupakan representasi rakyat karena ditunjuk oleh raja/khalifah.
13. Dalam demokrasi berketuhanan semua stake holder negara bertumpu pada hukum yang disepakati (nomokrasi) sebagai jabaran dari hukum Tuhan sebagaimana tersebut di atas. Wallaahu A’lam bis-shawaab. [HW]