Menjaga Akidah di Tengah Wabah

Kapan pandemi ini berakhir? Pertanyaan itu terus melilit pikiran orang-orang. Pejabat, dokter, guru, pedagang, pemilik sound system. Semua tentu berharap akan berakhir secepat mungkin. Tapi tak ada yang bisa memastikan, sebab keadaan serba tak menentu. Yang ada hanya perkiraan-perkiraan berdasarkan teori tertentu. Tapi tetap tidak bisa menjadi jaminan.

Sejak kedatangannya, pandemi ini telah menguji banyak hal dari kita. Dari perkara sosial, seperti ekonomi, kesehatan dan kemanusiaan, sampai perkara peribadatan, seperti sholat jamaah dan ujian akidah. Permasalahan penyakit yang berkaitan akidah inilah yang sepertinya kerap diabaikan orang. Padahal tak kalah penting juga untuk diperhatikan

Virus ini, kita tahu, dikenal sebagai virus yang sangat cepat penyebarannya, meskipun, konon, tidak lebih berbahaya dan ganas dibandingkan dengan virus sebelum-sebelumnya. Hanya dengan saling bersentuhan tangan saja, konon, virus ini sudah menularkan dari satu orang ke orang lainnya. Dalam titik inilah mengapa, kata para pakar, Physical Distancing atau jaga jarak aman sangat penting keberadaannya untuk dilaksanakan.

Di sisi lain, keberadaan virus yang menular ini justru tampak bertolak belakang dengan satu riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Muslim. Riwayat itu menyebutkan bahwa Nabi Muhammad pernah menafikan penyakit menular. Sabda beliau :

لا عدوي ولا طيرة

“Tidak ada penyakit menular, tidak ada anggapan kesialan terhadap burung…”

Dalam hadits tersebut, Nabi menggunakan huruf Laa Linafyi al-Jinsi, yaitu huruf laa yang berfungsi meniadakan jenis yang disebut setelahnya. Maksudnya, nabi di situ memang meniadakan keberadaan penyakit menular. Lalu bagaimana dengan keberadaan virus Covid-19 yang katanya merupakan penyakit menular? Bukankah bertentangan dengan sabda Nabi?

Tenang. Dahulu, di zaman nabi juga pernah ada orang yang menyangkal. Dia menganalogikan dengan unta. Di depan Nabi, dia bercerita bahwa pada kenyataannya ada juga unta-unta sehat yang menjadi berpenyakit sebab diantara mereka ada unta kudisan yang turut berbaur. Unta-unta yang sehat menjadi tertular oleh unta yang kudisan itu. Mendengar demikian, Nabi justru bertanya ulang, “jika memang begitu, lalu siapa yang menularkan kudis pada unta yang pertama?”

Baca Juga:  Gus Ulil: Al-Iqtishad Fi Al-I’tiqad (Sebuah Jalan Tengah dalam Beraqidah)

Tentu pertanyaan Nabi ini tak dapat terjawab. Tapi ada pesan yang tersirat di dalamnya. Bahwa penyakit sebab tertular itu memang sebenarnya tak wujud. Sehingga, dalam objek cerita tadi, baik bagi unta yang terkena kudis pertama, kedua, maupun yang ketiga, semuanya berangkat dari hal yang sama. Tak ada tular-menular. Yang ada hanya: Allah-lah yang menjadikan kudis menimpa tubuh mereka semua, Allah-lah yang menjadikan penyakit. Tidak ada yang namanya tertular.

Namun ternyata di hadits lain, Nabi pernah memerintahkan sahabat untuk menjauhi penderita kusta atau lepra. Hadits yang diriwayatkan Imam Bukhori tersebut kurang lebih berbunyi :

فر من المجذوم فرارك من الأسد

“Larilah kamu menjauh dari penderita lepra, seperti halnya kamu berlari dari macan”.

Kita tahu, lepra adalah sebuah penyakit yang secara medis disebut penyakit menular. Untuk itu, Nabi memerintahkan sahabat untuk menghindari penderita lepra agar tidak tertular penyakit tersebut. Di sinilah permasalahannya, jika hadits pertama tadi menafikan adanya penyakit menular, hadits ini malah menetapkan adanya menular. Bukankah keduanya malah bertentangan?

Memang secara sekilas, keduanya tampak bertentangan. Sehingga dalam kajian Ilmu Hadits, kedua hadits ini dimasukkan ke bab Mukhtalif al-Hadits. Yakni hadits yang secara zahir bertentangan. Namun sebenarnya hadits-hadits tersebut masih bisa dikompromikan. Dalam kajian ilmu hadits, jalan tengah untuk mengompromikan disebut Jam’u al-Hadits. Lalu bagaimana kompromi dalam masalah ini?

Dr. Mahmud Thahan dalam kitabnya, Taisir Mushtolah Al-hadits, menjelaskan bahwa hukum dasar terkait permasalahan ini adalah sebagaimana hukum awal, yaitu tidak adanya penyakit sebab menular. Jadi penularan penyakit itu memang Allah yang menjadikannya menular, bukan penyakit itu sendiri. Nah, adapun perintah untuk menjauhi penderita penyakit menular itu untuk menjaga akidah kita. Dr. Mahmud menyebut perintah itu sebagai bagian dari Sadd adz-Dzari’ah, yaitu mencegah perbuatan yang menjadi wasilah tercapainya sesuatu yang dilarang.

Dalam artian, daripada kita terjerumus dalam keyakinan yang salah, dengan meyakini bahwa penyakit itulah yang menularkan, lebih baik kita menghindari penderita, seperti yang diperintahkan Nabi. Sehingga kalaupun terkena penyakit tersebut, kita tidak bisa menyalahkan penularan penyakit. Kan kita sudah menghindar darinya. Sehingga kita mudah mengatakan kalau penyakit tersebut murni dari Allah. Akhirnya akidah kita pun terselamatkan.

Baca Juga:  Tipu Daya Setan dalam Merusak Akidah: Sebuah Pengantar tentang Rencana Setan dan Fitrah Manusia

Wal hasil, kesadaraan kita untuk isolasi diri atau menjaga jarak adalah hal yang penting. Karena hal itu juga diperintahkan Nabi sendiri. Sebagaimana pentingnya juga meyakini ini bahwa semua penyakit berasal dari Allah, yang tentu mengandung hikmah. []

Ahmad Zamzama N
Mahasiswa S1 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam Program Studi Sejarah dan Kebudayaan Islam.

    Rekomendasi

    Refleksi satu abad NU
    Opini

    Refleksi Satu Abad NU

    Kita menyadari bahwa sejarah merupakan hal penting, apalagi bagi sebuah organisasi keagamaan sebesar ...

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini