Memahami Istilah Islam Nusantara, Bukan Islam di Nusantara

Tidak asing lagi mengenai apa itu Islam Nusantara bagi masyarakat Indonesia, dalam memahami makna Islam Nusantara tidak semerta menafsirkan sebagai Islam yang sesat, tidak mengikuti sunnah Nabi dan hal lainnya. Dari sini harus paham betul bagaimana Islam Nusantara muncul dan mengapa menjadi identitas keislaman khas Indonesia. Mengenai bagaimana Islam dan budaya  bisa saling berkompromi yang nantinya melahirkan Islam lokal atau Islam ala Nusantara.

Menurut beberapa tokoh kali ini setidaknya dapat memahamkan tentang budaya dan agama yang saling berhubungan dalam membentuk identitas keagamaan suatu wilayah. Pendapat  Akhmad Sahal, yaitu seharusnya meyakini adanya dimensi budaya dan keagamaan yang saling berjalin kelindan satu sama lain.

Maksud dari dimensi tersebut merupakan suatu cara Islam berkompromi dengan wilayah kebudayaan tertentu. Nantinya akan berdampak pada sikap Islam yang tidak lagi tertutup dan juga kaku, akan tetapi menghargai adanya perbedaan. Islam semacam ini nantinya akan mengakomodir nilai-nilai yang terkandung dalam suatu wilayah masyarakat tertentu. Hal ini sejalan dengan pendapat Gus Dur, beliau berkata, “Tumpang tindih antara Agama dan Budaya akan terjadi terus menerus sebagai suatu proses yang akan memperkaya kehidupan dan membuatnya tidak gersang”.

Pernyataan tersebut nantinya akan meluas pada domain tentang pemaknaan apa sebenarnya Islam Nusantara itu. Apakah islam yang ada di nusantara, atau Islam yang bersifat nusantara?. Nah di sini masih terdapat ambiguitas terhadap pemaknaan Islam Nusantara. Dari dua pernyataan di atas tentang Islam Nusantara memiliki makna yang berbeda.

Pertama merujuk pada Islam yang ada di bumi nusantara, sedangkan pernyataan yang ke dua merujuk pada corak atau nilai-nilai keislaman khas dari nusantara. Jika Islam Nusantara ini dimaknai sebagai Islam yang ada di nusantara atau nusantara sendiri disebutkan sebagai wilayah, maka sebutan Islam nusantara ini mendefinisikan berbagai ormas maupun aliran Islam yang terdapat di bumi Indonesia ini.

Baca Juga:  Kisah Kecerdasan Sayyidina Ali; Sepuluh Jawaban yang Membuat Orang-orang Khawarij Masuk Islam

Akan tetapi, jika Islam Nusantara dimaknai sebagai nilai-nilai yang mempunyai corak tersendiri atau ciri khas, hal ini berarti mencatat karakteristik dan watak Islam yang tumbuh di Indonesia baik dari segi ibadah muamalah dan mahdoh. Penjelasan tentang apa itu Islam Nusantara juga di paparkan oleh Gus Mus (KH. Mustofa Bisri). Menurut beliau, kata Nusantara akan salah maksud jika di pahami dalam struktur na’at-man’ut atau penyifatan sehingga berarti “Islam yang dinusantarakan”. Akan tetapi benar bila di letakkan dalam struktur Idhafah (penunjukan tempat) yang berarti “Islam di Nusantara”.

Mengenai penjelasan Gus Mus tentang Islam Nusantara di atas memanglah tidak salah ketika di maksudkan dalam konteks untuk meredam segala ketakutan suatu kelompok yang salah paham dalam memahami arti Islam Nusantara sesungguhnya. Akan tetapi perlu di cermati, penunjukan suatu wilayah juga dapat di artikan menguak segala sesuatu, segala unsur yang tedapat dalam suatu wilayah tersebut.

Oleh karenanya, suka atau tidak suka, mau tidak mau, sebagai masyarakat bangsa Indonesia ini harus tetap menjaga dan merangkul corak, karakteristik dan watak dari sebuah wilayah itu sendiri yan disebut Nusantara. Maka dari itu nusantara memiliki ciri khas tersendiri dalam menerapkan nilai-nilai keislaman yang melebur terhadap kebudayaan masyarakat Indonesia.

Sejalan dengan pendapat Azyumardi Azra dalam memaknai Islam Nusantara sebagai Islam distingtif sebagai hasil dari kontekstualisasi, interaksi, vernakularisasi dan Indigenisasi Islam yang universal dengan budaya, realitas sosial dan agama di bumi Indonesia. Lebih singkatnya dapat dikatakan bahwa Islam Nusantara adalah praktik keislaman di Nusantara sebagai implementasi dari hasil dialektika atau interaksi antara syariat dengan budaya dan realitas sosial masyarakat.[1]

Menurut analisis megenai Islam Nusantara oleh Nurcholis Madjid, hasil pemikiran dan peradaban manusia akan lebih tangguh jika berakar pada tradisi atau kebudayaan, mengandung  (al-ashlah) orisinalitas, dan (up to date, mu’sarah) bersifat relevan. Kemudian Cak Nur juga menambahkan terkait hal itu, budaya lokal bisa di jadikan sumber hukim jikalau tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam sendiri dan tidak melanggar ajaran tauhid, seperti halnya feodalis, tahayyul, mitologi.[2]

Baca Juga:  Berjilbab menurut Syariat Islam

Dalam memahami Islam Nusantara, Teuku Kemal Fasya dalam karya esainya “Dimensi Puitis dan Kultural Islam”, dalam isi penjelasannya yaitu ia dalam mendefinisikan Islam Nusantara yaitu pengalaman dan proses lokalitas umat yang hidup di bumi Indonesia.

Penekanan terhadap kata “Nusantara” di sini bukan hanya menegaskan nama tempat semata, namun lebih dari itu, dan juga menegaskan bahwa adanya corak yang berbeda dari Islam yang ada di Nusantara dengan Islam yang ada di tanah Arab atau Timur tengah lainnya. Keberhasilan atas Islam Nusantara yang menjadi Islam khas Indonesia tidaklah lepas dari adanya adaptasi dan meleburnya dengan kebudayaan serta kesenian lokal. Pada tahun 1980, Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid) memunculkan gagasan yang beliau sebut sebagai “pribumisasi Islam”.

Gagasan tersebut bermaknakan bahwa pribumisasi Islam sebagai bentuk transformasi dari unsur Islam terhadap unsur kebudayaan pribumi di Nusantara, hal ini sesungguhnya menyajikan bentuk akulturasi budaya yang mana unsur luar yang datang pada masyarakat lokal diterima dengan baik.

Istilah Islam Nusantara kembali menjadi sorotan kembali ketika di publikasikan oleh ketua umum PBNU, KH. Said Aqil Siraj ketika dalam acara pembukaan Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama dan pembukaan Istighosah dalam menyambut bulan suci Ramadhan pada 14 Juni 2015, bertempat di masjid Istiqlal Jakarta. Istilah ini tertuju pada fakta sejarah penyebaran Islam di bumi Nusantara yang tidak menggunakan kekerasan dan doktrin yang kaku, akan tetapi menggunakan pendekatan budaya.

Islam Nusantara ini justru melestarikan budaya, merangkul budaya dan justru sangat menghormati budaya. KH. Said Aqil Siraj menambahkan bahwa Islam Nusantara ini memiliki ciri khas yang anti radikal, ramah, toleran dan inklusif, tidak seperti Islam yang ada di Timur Tengah yang sampai saat ini masih menuai konflik  dengan sesama muslim yang mengakibatkan perang saudara.[3]

Baca Juga:  Ning Lis, Ulama Perempuan Ahli Ilmu Waris

 

[1] Edy Susanto, Karimullah, “Islam Nusantara: Islam Khas dan Akomodasi Terhadap Budaya Lokal”, Al-Ulum, vol. 16, no. 1, Juni 2016. 65.

[2] Zakiya Darajat, “Warisan Islam Nusantara”, Al-Turaz, vol. XXI, no. 1, Januari 2015, 83.

[3] Habib Sulthon Asnawi, Eka Prasetiawati, “Pribumisasi Islam Nusantara dan Relevansinya dengan Nilai-Nilai Kearifan Lokal di Indonesia”, Fikri, vol. 3, no. 1, Juni 2018, 226-227.

Ali Mursyid Azisi
Mahasiswa Studi Agama-Agama - UIN Sunan Ampel, Surabaya dan Santri Pesantren Luhur Al-Husna, Surabaya

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini