Koleksi ini pasti belum representatif. Masih banyak buku yang ditulis nahdliyin membicarakan tentang organisasinya sendiri. Ada banyak buku juga yang membicarakan NU ditulis sarjana Barat. Di antara deretan buku-buku ini, hanya buku Wahid Hasyim yang ditulis oleh non nahdliyin, ditulis Tempo dan diterbitkan KPG.

Saya ingat, pertama kali saya membaca buku Mbah Wahab Hasbullah karangan Kiai Saifuddin Zuhri ketika kelas 3 SMA. Saya bolak-balik, baca berulang, makin lama saya makin banyak pertanyaan. Masa itu bertepatan dengan mulai diselenggarakannya haul Mbah Wahab yang besar-besaran. Biasanya cuma buka terop di halaman ndalem kesepuhan.

Tulisan kiai Saifuddin barangkali memang tidak dimaksudkan kronologis. Untuk anak SMA yang biasa belajar sejarah melalui fragmen, saya bingung sekali. Mulai timbul pertanyaan naif, demikian besar usaha Mbah Wahab menyicil organisasi-organisasi menjadi NU, tapi kenapa posisi Mbah Wahab pertama di NU tidak terlalu strategis? Lebih jauh lagi saya ndlodok, kenapa Mbah Hasyim yang jadi Rois Akbar? Maklum pertanyaan anak SMA. Juga anggap saja pertanyaan ini sangat bias Tambakberas. Hehe.

Ketika saya kuliah, suatu hari rombongan KMNU UGM menyelenggarakan ziarah dan sowan ke Gus Mus. Lama saya menunggu kawan-kawan selesai Salim dan foto. Di kesempatan yang sempit itu, saya memberanikan diri mengajukan pertanyaan naif yang saya simpan bertahun-tahun, mengapa Mbah Hasyim yang jadi rois akibar? Beliau menjawab, “karena Mbah Wahab tawaduk terhadap gurunya.” Mendapat jawaban itu tentu saya malu. Mbah Wabah saja tawaduk, ngapain saya ngotot?.

Perlahan saya mulai memahami sejarah NU lebih komprehensif. Ternyata tidak hanya kronologi yang penting, tapi bahwa dalam pendirian NU, semua tokoh memegang peranan penting. Mbah Wahab memang inisiator, tapi beliau tidak sendirian dalam menjalankan Taswirul Afkar dan Nahdlatul Wathon. Ada Kiai Ridwan Abdullah, Kiai Faqih Maskumabang, Kiai Raden Mas Alwi, dan sebagainya.

Baca Juga:  PAC Ansor-Banser Cipanas Cianjur Ikuti Renungan Suci Bersama Forkopimcam

Makin lama saya juga akhirnya tahu kebesaran pribadi Hadratussyekh Hasyim Asy’ari. Seperti yang diceritakan Gus Baha menukil dari buku Ahmad Sahab, Kiai Hasyim ini pernah mengangkat janji bersama kawan-kawannya lintas bangsa di hadapan kakbah, kelak mereka akan memperjuangkan kemerdekaan dengan jalan menebar ilmu agama.

Apa hubungannya menebar ilmu dengan kemederkaan? Di situ lah menariknya Tebuireng. Pada 1942, Jepang mencatat alumni Tebuireng sebanyak 25.000. Itu statistik yang menunjukkan pengaruh Kiai Hasyim selama Tebuireng berdiri sejak 1899. 27 tahun sebelum NU berdiri. Di 27 tahun pertama saja, Mbah Hasyim sudah panen kader sekaliber Mbah Wahab, Mbah Bisri Syansuri, dan lainnya.

Dalam buku Pertumbuhan dan Perkembangan NU karya Choirul Anam, Mbah Wahab sempat nyaris putus asa karena restu pendirian jamiyyah tidak kunjung turun. Beliau bertahun-tahun berdebat dengan golongan kanan yang suka bid’ah-bid’ah-kan. Sampai akhirnya, perubahan geopolitik di Semananjung Arab terjadi disebabkan Perang Dunia II. Klan Saud menguasai Hijaz dengan gaya keagamaan yang ortodoks, sementara kiai-kiai pesantren di Jawa tak bisa melakukan apa-apa. Mereka tersisih dari kelompok kanan yang sudah dulu terorganisir. Kiai pesantren berbicara selantang apapun pada dunia dianggap tak mewakili siapa-siapa. Takdir mengantarkan pada peristiwa 31 Januari 1926.

Bayangkan Mbah Hasyim, Mbah Wahab, Mbah Bisri yang pernah ziarah ke makam Khodijah di Ma’la di bawah naungan kubah putih mendengar kalau kubah itu diratakan dengan tanah. Sama nasibnya dengan bangunan di pemakaman baqi’. Wajar beliau-beliau gelisah. Bertahun-tahun beliau-beliau tinggal di Mekkah, menikmati lezatnya ilmu sambil menapaki jejak sejarah Islam, tiba-tiba monumen itu dirobohkan. Sungguh sebuah pukulan.

Tapi di antara sekian buku ini, favorit saya adalah Guruku orang-orang Pesantren. Wah Indah pokoknya. Seperti membaca novel. Tapi lebih tepat seperti catatan antropologis. Kiai Saifuddin Zuhri jitu sekali menuliskan fragmen sejarah tanpa kehilangan rasa dan suasana. Begitu kaya.

Baca Juga:  Sinergikan Madrasah Diniyah Nahdlatul Ulama dengan Pesantren

Tapi jika Anda tak mau jadi nahdliyin yang naif seperti saya dulu, memahami sejarah NU dengan konteksnya yang lengkap, Anda harus baca Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama karya Kiai Yahya Cholil Tsaquf. Tidak perlu kebanyakan footnote, esensi buku ini sungguh runtut mengulur dan menarik sejarah pendirian NU kaitannya dengan sejarah Islam masa khilafah, sampai Saud, sampai konteks Nusantara. Kita bakal dibuat manggut-manggut ternyata fakta pendirian NU itu tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan efek domino dari peta geopolitik global. Sama seperti yang mengantarkan Indonesia menuju pintu kemerdekaan. Sebab Jepang kalah di Pasifik sana.

Catatan ini jauh dari layak membicarakan buku-buku penting ini. Tapi saya berterima kasih pada nahdliyin yang menulis NU dari dalam. Berkat panjenengan semua, saya memahami asal usul dan masa kini saya. Ngomong-ngomong, selamat hari buku!. [HW]

Nabilah Munsyarihah
Alumni PP Tambakberas, Krapyak dan Fisipol UGM

    Rekomendasi

    1 Comment

    1. […] “Ensiklopedia NU“, Ahmad Tohari adalah seorang pembelajar otodidak di dunia kepengarangan dengan bakat dan […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini