Setiap Nahdlatul Ulama (NU) merayakan hari lahirnya, santri Cipasung pasti ingat KH. Moh. Ilyas Ruhiat. Keduanya memang lahir — menurut hitungan masehi — pada tanggal dan bulan yang sama. NU lahir 31 Januari 1926 dan Ajengan Ilyas lahir 31 Januari 1934.
Dalam 94 tahun sejarah perjalanan NU, ada 10 ulama pilihan yang pernah menjabat rais akbar dan rais aam syuriyah PBNU, salah satunya ialah Ajengan Ilyas Ruhiat. Ia seorang organisatoris karier, yang mengawali aktivitas ke-NU-annya sebagai Ketua IPNU Tasikmalaya pada tahun 1954. Tahun 1981, K.H. Prof. Anwar Musaddad gagal menjadi rais aam karena dianggap tidak memimpin sebuah pesantren. Tahun 1992, K.H. Prof. Ali Yafie juga gagal karena alasan yang sama.
Sempat muncul dugaan keduanya tidak bisa menjadirais aam karena bukan dari suku Jawa. Dugaan itu tak terbukti ketika Konferensi Besar NU di Lampung 1992, menetapkan Ajengan Ilyas sebagai pejabat pelaksana rais aam, melalui suatu proses yang dramatik. Saat itu, ia bukan pilihan Gus Dur, yang menjadi tokoh utama dan paling berpengaruh di NU. Gus Dur bahkan tak ingat nama Ajengan Ilyas karena urutannya ada di bawah (Tempo, 1992). Gus Dur lebih menjagokan K.H. Dr. M.A. Sahal Mahfudh, pengasuh pesantren Maslakul Huda, sebagai upaya membendung laju K.H. Yusuf Hasyim, pemimpin pesantren Tebuireng.
Prestasi Ajengan Ilyas di NU, sangat bersejarah. Dialah rais aam yang mengantarkan seorang warga NU menjadi Presiden RI. Ia husnul khatimah dalam kepemimpinannya. Pada waktu sang Presiden “diturunkan”, Ajengan Ilyas sudah “pensiun” dari NU. Setelah terpilih sebagai rais aam melalui Muktamar Cipasung 1994, dengan caranya yang luwes, ia berhasil menjaga komunikasi dan keseimbangan NU dalam relasi dengan pemerintah. Di sisi lain, pada saat yang sama komunikasi Gus Dur dengan pemerintah “disumbat” dengan berbagai rekayasa.
Saat K.H. Hasan Basri wafat, ketua umum MUI sesuai urut kacang jatuh ke tangannya, tetapi ia menolak dan mendukung Kiai Ali Yafie. Menurutnya, ia sudah tua serta tak mungkin meninggalkan Cipasung. Kiai Ali dinilainya lebih senior dan tinggal di Jakarta. Kalau di Konbes Lampung Ajengan Ilyas seolah “merebut” jatah Kyai Ali Yafie, maka tujuh tahun berselang, ia “membalasnya” dengan memberikan posisi Ketua Umum MUI Pusat kepada ulama asal Pare Pare itu.
Ia bukan tokoh penurut dan gampangan, melainkan sangat memegang teguh prinsip. Tahun 1992, ia menolak pengangkatan sebagai anggota MPR dari Golkar, karena menurutnya melanggar khittah NU 1926. Ia baru menerima tawaran itu ketika diatasnamakan utusan daerah Jabar. Ia bisa tegas menolak berbagai rekayasa politik, seperti tak mau hadir ke ruangan ketika seorang capres yang sangat dikenalnya sedang kampanye di lingkungan Cipasung. Ia hanya mau menerima para capres itu di rumahnya sebagai tamu biasa. Semua tamu diterimanya dengan ramah sebab ia tak pernah membeda-bedakan tamu apa pun kedudukannya.
Hal lain yang tak dapat dimungkiri, ia tidak pernah memanfaatkan organisasi atau nama orang lain untuk mencari keuntungan pribadi, termasuk saat tokoh NU jadi Presiden. Bahwa namanya sendiri banyak dimanfaatkan orang tak bertanggung jawab, tentu tak selalu bisa dicegahnya. Apalagi rekayasa atas dirinya dilakukan dengan segala cara. Akan tetapi, ia percaya masyarakat bisa membedakan mana pernyataan dirinya dan mana yang direkayasa seolah-olah dibuat olehnya. Ia menyadari belaka keterbatasannya.
Ajengan Ilyas hadir di panggung nasional dengan kejujuran, ketulusan, dan kesederhanaan. Ia membuktikan sikap jujur dan sederhana bukanlah penghalang untuk diakui orang lain, melainkan sebagai kekuatan dan modal utama. Ajengan Ilyas juga mempraktikkan pluralisme secara paripurna. Selain bersikap baik kepada non-Muslim, ia tak pernah bermasalah dengan sesama Muslim yang berbeda mazhab. Ia tetap aktif di MUI sekalipun dikecam kawan-kawan sendiri. Ajengan Ilyas membuktikan bahwa di MUI, ia tidak kehilangan sikap independen. Dalam kasus Darul Arqom umpamanya, ia kukuh memberikan dissenting opinion bahwa ormas itu tidak melanggar akidah, sementara MUI secara resmi memutuskannya sebagai aliran sesat.
Ada kesan Ajengan Ilyas kurang tegas dalam kepemimpinannya, baik di NU maupun di pesantren, dan dikendalikan partner organisasinya. Bagi Ajengan Ilyas, berorganisasi ialah proses menempa kedewasaan diri. Ketika hal itu tidak tampak dari partnernya dalam organisasi, ia memilih mengalah dan bersabar menunggu tibanya kedewasaan itu, dengan risiko dianggap tidak tegas. Tanpa kedewasaan, sulit mencapai musyawarah yang di dalamnya meniscayakan take and give. Padahal, musyawarah itulah inti berorganisasi yang sehat. Tanpa kedewasaan, yang terjadi hanyalah pemaksaan kehendak dan kepentingan sepihak.
Ajengan Ilyas merasa tak pernah meminta-minta jabatan dan kedudukan, karena itu ia bersikap nothing to lose ketika ada yang coba menggerogoti kepemimpinannya. Prinsipnya, ridla jami’in nas ghayatun la tudrak, mencari kepuasan semua orang adalah tujuan yang mustahil tercapai.
Ajengan Cipasung itu telah berpulang, 18 Desember 2007. Jejak dan jasanya akan selalu dikenang. 31 Januari 1934 – 31 Januari 2020. Harlah NU ke-94, hari lahir Ajengan Cipasung ke-86.
Alfatihah …
(Iip Yahya)