Tak ada hubungan jelas antara hidup dan membaca: apakah seseorang layak dikatakan hidup bila ia membaca—menjadi pembaca, atau apakah seseorang lantas dikatakan mati begitu ketika ia tak membaca—begitu enggan membaca; tak ada korelasi di antara keduanya memang. Namun setidaknya lewat perilaku seseorang yang khusyuk pada alergi terhadap membaca akan menemui dirinya dalam keadaan konsisten: di wilayah kebodohan, bahkan abadi.
Aktivitas membaca sendiri masih menjadi barang asing—untuk tidak mengatakan tabu, agar terhindar dari kesan riskan—bagi kita, bahkan bisa berupa najis; beberapa kawan saya mengatakan muntah bila membaca. Padahal sedari belia kita telah diajarkan membaca lewat kegigihan guru-guru di masa kecil.
Anda tentu masih ingat bahwa dulu kita merasa gembira mengatakan “Ini Budi, “Ini bapak Budi”, dan “Ini ibu Budi’. Sampai sekarang, ketika kata-kata itu disodorkan atau dalam hal lain saya tuliskan, saya yakin ingatan Anda akan terlempar ke belakang jauh sejauh Anda telah meninggalkannya di sana begitu saja.
Bagi Anda yang bernama “Budi” tentu akan merasakan unsur kedekatan hadir ketika membaca kata-kata tersebut dicuapkan atau dibasah oleh seseorang. Anda serasa menjadi tokoh utama dalam pembelajaran itu dan kabar baiknya ialah seluruh anak se-Indonesia mempelajarinya: Anda sangat cukup untuk dikatakan terkenal, meskipun media online belum merambah begitu banyaknya seperti sekarang, akan tetapi lewat materi yang sama-sama dipelajari di seluruh Indonesia akan membuat Anda—merasa—terkenal.
Namun kearifan semacam itu perlahan menguap, memudar, dan menyisakan kenangan kosong yang—seolah—tak membekas karena kecil kemungkinan ditilik jasanya. Kita mungkin tak akan jadi seperti ini tanpa aktifitas itu.
Padahal aktivitas membaca merupakan aktivitas unik. Ia tak hanya kegiatan yang melibatkan antara benda mati yang diwakili “Teks” dengan makhluk hidup yang disebut “Manusia”, namun ia lebih dari sekedar itu yang juga dimainkan oleh imajinasi: sebuah perangkat yang membuat manusia menjelajah-merenggas batas yang menjadi pembatas, serta melampaui masa yang menjadi pemisah antara waktu yang lampau dan sekarang.
Kalimat yang kita baca akan memaksa imajinasi hidup dan tumbuh sehat. Mereka yang membaca berarti juga menjadi atau bertamu kepada gagasan atau cerita orang lain, sehingga imajinasi adalah peranti terbaik untuk berkendara menuju sana.
George RR Martin, seorang novelis Amerika pernah mengatakan dalam salah satu karyanya yang terkenal berjudul A Game of Thrones: seorang pembaca memiliki kehidupan seribu kali sebelum ia mati, sedangkan mereka yang tidak pernah membaca hanya memiliki satu saja. Kehidupan yang ia maksud tentu bukanlah sebuah pengulangan hidup selepas kematian menimpa seseorang—reinkarnasi. Namun yang disebut kehidupan itu ialah keadaan di mana pembaca berkunjung ke dalam kehidupan orang lain: mereka seolah menjadi Oedipus, Hamlet, Romeo, Juliet, Sangkuriang, Pandawa, Nyai Ontosoroh, Minke dan lain sebagainya; sekalipun ketika hidup tak sempat mengenal mereka langsung, jangankan mengenal, hidup sezaman pun tidak. Dengan membacalah keadaan itu menjadi terasa dekat, kita serasa ada di situ: di saat peristiwa itu berlangsung.
Anda tahu, sebenarnya keseharian kita begitu erat dengan hal-hal yang metaforis. Ketika belia—atau bahkan sampai sekarang—kita sering dinasihati oleh ayah bahwa padi itu semakin berisi semakin merunduk, atau ucapan ibu yang lembut yang mengatakan sayangilah kawan-kawanmu sebagaimana kau menyayangi keluargamu. Kalimat-kalimat itu tak lain dari bentuk dari kalimat metaforis: yang menjadi salah satu kekayaan yang akan mudah didapatkan dengan menjadi pembaca yang baik, pembaca yang rajin, bahkan pembaca yang rakus.
Akan tetapi tidak semua orang beruntung memiliki orang tua yang arif dan peduli terhadap kebutuhan tumbuh-kembang sang anak untuk menjadi manusia dewasa yang benar-benar berlaku manusiawi, sanggup bertanggung jawab atas pilihannya, berani memperjuangkan kebenaran meskipun terancam, atau lebih jauh mampu mengembara-bebas tanpa mesti merengek ketika mendapati kenyataan hidup yang serba pahit. Sebagian dari kita justru terlempar dari kenyataan idealis semacam itu. Hidup tidak jelas mau dan untuk apa.
Akan tetapi, anak-anak yang membaca buku bagus akan memiliki keberuntungan yang sama yang dimiliki anak-anak yang memiliki orang tua yang bagus. Buku-buku bagus mendidiknya secara perlahan, membuat isi kepalanya melebar, dan egoisme dirinya menciut lalu begitu saja pudar. Lewat garapan bacaannya ia akan menemukan moral hidup dan nilai-nilai universal yang disajikan si penulis. Ia akan tangguh menghadapi peliknya hidup karena bacaannya pelahan-lahan membentuk karakteristiknya.
Membaca buku-buku yang baik akan memberikan wawasan bagi kita bagaimana menghormati manusia lain sebagai saudara. Bagaimana menyayangi mereka yang tak satu suku, satu ras, satu agama dengan kita sebagai manusia. Dan membaca jugalah yang berkontribusi membuat kita merasa tenang menghadapi polemik hidup yang tali-temali—seolah—tak kunjung terurai; membaca membuat kita menilai seseorang, kejadian, atau peristiwa tak cuma dengan satu sisi—jika alat yang Anda punya hanyalah palu, maka Anda akan cenderung melihat yang lain sebagai paku: Abraham Maslow.
Percayalah, membaca itu menyenangkan dan membahagiakan. Meskipun untuk urusan membaca, saya masih seumur singkong yang tunasnya setinggi kelingking bayi yang tubuhnya masih berwarna merah.
Namun jika Anda tergolong kaum pragmatis, membaca—seakan—akan menjadi penghambat yang memperlambat laju kesuksesan Anda: membaca tak menghasilkan uang, dan hanya melahirkan keletihan pada diri dari yang disebabkan oleh memahami kalimat-kalimat penulis yang kadang kali terasa kabur dan mengawang-awang. Memang, seseorang tak akan mati sekalipun ia tak membaca: ia akan tetap hidup dan baik-baik saja meskipun tak membaca, namun ia akan mengalami satu hal yang pasti dan tak bisa digugat: memakai baju berlabel kebodohan. Anda masih berminat memakainya? Kalau saya tak sudi, kawan.
Kebodohan adalah musuh terbesar manusia, bahkan agama begitu mengerikan bila kebodohan masih melekat erat di diri seseorang; banyak para tokoh agama mengatakan bahwa dosa besar itu tak cuma riba, bodoh pun termasuk di dalamnya, sebab agama akan hancur bila orang-orang bodoh tumbuh subur.
Maka demi untuk tidak menimang-nimang dan merawat kebodohan, membaca adalah tindakan yang memiliki kans terbaik untuk itu. Lebih jauh, membaca berarti juga ibadah: karena di situ prosesi penyerapan ilmu pengetahuan berjalan, dan kabar baiknya, proses mencari ilmu adalah salah satu peluang untuk masuk ke dalam surga. [HW]