Sebelum menceritakan kisah-kisah unik ala pesantren, saya kadang berpikir, apakah orang-orang yang tidak pernah “tidur” di pesantren dan orang-orang rasionalis masih percaya kisah-kisah yang seperti mimpi di siang bolong di era digital seperti sekarang ini. Kisah di bawah ini di antaranya.
Beberapa waktu sebelum Ramadan 1442 H atau Maret 2021 M kemarin, saya bersama lima teman lainnya takziyah ke Nganjuk kota. Pulangnya saya usul untuk sowan bersama ke ulama sepuh yang nyentrik dan karismatik. Sangat khumul, wira’i, zuhud dan jauh dari hingar bingar dunia modern. Namanya KH Muzajjad, biasa dipanggil Mbah Jad. Alhamdulillah usul saya disetujui.
Satu rombongan tidak ada satupun yang pernah sowan ke Mbah Jad. Jadi belum ada yang tahu arah menuju ke ndalem dan pondoknya yang terletak di dusun Pengkol Warujayeng itu. Setelah tanya tiga kali, akhirnya kami sampai di jalan yang pinggirnya ada pohon-pohon bambu, seperti yang ditunjukkan kami ketika bertanya. Gerbang pondok tak berpintu itu sungguh sejuk dan tenang. Setelah mobil saya parkir (kebetulan pas giliran saya yang nyopir, karena gantian) di bawah pohon bambu yang sangat rindang, saya turun dan melihat keadaan sekeliling. Siang itu angin sepoi-sepoi di sela-sela pohon bambu meniup dengan pelan. Banyak pohon-pohon tinggi di sekitar bilik-bilik kamar santri. Udaranya sangat sejuk. Suasana tenang dan damai segera merasuk dalam sanubari. Lebih lengkap lagi dengan adanya sungai yang masih bersih yang mengalir tak jauh di depan pondok. Hemmm.
Tak lama kemudian ada salah satu santri menemui kami, menanyakan ini dan itu. Dia bilang kalau Mbah Yai baru masuk kamar. Itu artinya beliau sedang istirahat siang. Sejak pagi sekitar pukul tujuh, beliau mengaji kitab hingga pukul setengah dua belas. Hampir 5 jam lamanya. Sangat kuat sekali untuk orang seusia beliau, sudah lebih dari 80 tahun.
Menurut info yang saya ketahui, Mbah Jad ini memang sosok yang sangat langka. Beliau melakukan riyadhah Shaum Dahr (puasa tiap hari kecuali hari yang diharamkan berpuasa) sudah sejak beliau nyantri di Pesantren Lirboyo. Selain berpuasa tiap hari, konon beliau juga ngrowot (hanya makan sayur, ubi-ubian dan kacang-kacangan). Karena kebiasaan puasa dan ngrowot itu, fisik beliau tambah sehat. Di samping itu beliau hampir tidak pernah mengkonsumsi makanan yang mengandung bahan kimia. Makanan yang dikonsumsinya masih natural. Beliau juga diketahui sangat jarang sakit. Konon, seumur hidup, baru sekali beliau suntik, itupun karena terpaksa sebagai syarat mau berangkat haji, suntik meningitis.
Kamipun menunggu beliau yang sedang istirahat siang. Kami dipersilahkan oleh santri untuk menunggu di ruang tamu yang berada persis di depan musala pondok dan tidak jauh dari dalem/rumahnya. Jangan dikira ndalemnya seperti dalem para kiai pada umumnya. Dalemnya hanya berupa kamar yang berada di sisi utaranya musala dan satu bangunan dengan musala. Ukuran kamarnya itu cuma sekitar 3 x 8 meter. Selain untuk menerima tamu, ruang kecil itu kelihatannya juga untuk mengaji, karena di situ ada meja-meja kecil pendek yang biasanya untuk mengaji anak-anak TPQ di kampung. Karena itu, jangan tanya soal kesederhanaan dan kezuhudan beliau. Bagaimana dengan keluarganya, tinggal di mana mereka? Ternyata beliau sosok yang membujang (‘azib, uzzab) alias tidak menikah. Jadi beliau tidak punya istri dan putra. Beliau juga pernah berkata kalau tamu yang datang kepadanya terkadang ada yang minta doa agar cepat dapat jodoh. Padahal beliau sendiri tidak dapat jodoh. Kata beliau sambil terkekeh.
Soal membujang ini, beliau berhujjah dengan dawuh Rasulullah:
أكثركم أزواجا يوم القيامة أكثركم صلاة علي في الدنيا (الحديث أو كما قال النبي)
“Kalian yang paling banyak istrinya pada hari kiamat adalah yang paling banyak membaca shalawat kepadaku di dunia“
Karena itu beliau sangat banyak membaca shalawat. Beliau membaca shalawat 40.000-50.000 kali sehari semalam. Kalau bulan Ramadan, malah sehari semalam membaca 125.000 kali. Saya baru membayangkan ribuannya saja sudah berat. Untuk shalawat yang diwiridkan, redaksinya yaitu صلى الله على محمد. Salawat yang ringkas ini biasa dikenal dengan nama Shalawat Jibril.
Kesempatan menunggu sowan beliau itu kami gunakan untuk melihat-lihat lingkungan pondok. Tak lupa saya juga mandi di kamar mandi tamu. Segar betul air di situ, tidak seperti di kampung kami yang berada di pesisir pantai utara. Setelah mandi, kami berjalan-jalan melihat bilik-bilik santri masih sangat kuno dan terbuat dari kayu dan anyaman bambu (Jawa: gedek). Bilik-bilik yang agak naik ke atas (Jawa: angkring) itu kira-kira muat 2-3 santri. Ketika itu santri yang tinggal di pondok sekitar 40 santri.
Walaupun pondoknya kecil dengan jumlah santri yang tidak banyak, tapi santri-santri itu rata-rata sudah senior dan sudah pernah mondok sebelumnya. Dan mereka datang dari berbagai penjuru di Indonesia. Tidak hanya dari Jawa. Konon, selain mengaji kitab, santri di sana harus melakukan riyadhah puasa. Ada yang puasa 40 hari, puasa Ngrowot, puasa tiap hari (shaum dahr), dan ada yang puasa Daud (puasanya Nabi Dawud). Tak heran, siang hari itu sepi di pondok, karena selain waktunya istirahat, juga tidak ada santri yang ngopi seperti di pondok salaf pada umumnya. Karena hampir semua santri di sana berpuasa. Makanya tak heran santrinya juga tidak banyak, walaupun beliau dikenal sebagai kiai yang alim. Ketika masih di Lirboyo saja, beliau mondok hingga menjadi mustahiq (ustadz). Salah satu murid beliau kini telah menjadi tokoh internasional, yaitu Prof. Dr. KH. Said Aqil Siraj, MA.
Setelah ikut jamaah Dhuhur di musala bersama para santri dan diimami oleh Mbah Jad, kamipun langsung menunggu di depan kamar beliau. Kami berenam sudah menunjuk juru bicara salah satu dari kami. Saya yang sejak awal mengusulkan untuk sowan dan menyopiri mobil untuk mencari alamat, tidak berani menjadi juru bicara. Saya grogi dan dredeg. Konon, kata orang, beliau ini “weroh sak jerone karah“. Sufi ahli ma’rifat. Wallahu a’lam.
Dag dig dug kami menunggu di depan pintu. Saya membayangkan jangan-jangan beliau langsung menempeleng saya karena sudah tahu kejelekan-kejelekan saya. Pengumuman-pengumuman yang ditempel juga agak membuat kami grogi. Di antaranya ada tulisan: “Tidak menerima tamu waktu mengaji”, “tamu paling lama 15 menit”, “Tidak boleh memfoto Mbah Yai”, “Ketika sowan HP harap dimatikan” dan lain-lain. Kami berusaha menjaga hati dan menguatkan mental untuk sekedar minta doa kepada beliau.
Tak berapa lama, beliau muncul dibalik pintu yang baru terbuka. “Dari mana?” tanya beliau. “Dari Tuban Mbah..!” kami menjawab hampir bersamaan. “Ayo masuk, masuk..!”. Kami berenam masuk ke kamar tamu beliau. Beliau mengawali pembicaraan seputar masalah yang sedang viral, virus Corona. Dari bahasa beliau yang vulgar dan lucu, rasa takut dan grogi tadi segera sirna. Suasana sangat cair. Tentu kami masih mengedepankan andap asor kepada kiai sepuh.
Aturan waktu sowan yang seharusnya cuma 15 menit itu tidak terasa mengalir hingga satu jam lebih. Beliau bertanya dan bercerita banyak hal kepada kami. Mulai soal covid-19, cara menjadi guru, jadi murid, cara biar panjang umur, hingga soal penyakit stroke dan lain sebagainya. Kami disuruh menulis ijazah doa-doa yang beliau sampaikan. Di tempat itu sudah disediakan kertas dan pulpen. Kalau kami menulis agak lama, beliau langsung menyuruh nulis dengan cepat. “Nulis kok suwe eram“, kata beliau. Dan kami tersenyum. Karena begitu banyak doa-doa yang harus ditulis, maka butuh waktu lama. Jika nulisnya tidak cepat, pasti ketinggalan kereta.
Kata beliau, kalau punya murid bebal atau sulit memahami pelajaran, tanyakan apakah murid itu sudah diaqiqahi apa belum? Jangan-jangan belum diaqiqahi. Soal umur panjang, beliau memberi resep agar senantiasa sedekah meskipun sedikit. Dan usahakan sedekah sirr (rahasia). Cara sedekah sirr yaitu membuang uang di jalan supaya tidak ada tahu. Bisa juga dimasukkan kotak amal masjid, yang penting tidak ada yang tahu. Bukannya lebih baik diberikan orang daripada mubadzir dibuang di jalan? Kata beliau, kalau diberikan kepada orang, malah diketahui oleh orang. Masih banyak lagi dawuh-dawuh beliau yang sangat bermanfaat.
Setelah beliau berdoa, kamipun undur diri. Beliau menunjukkan ijazah doa yang sudah ditulis di papan depan musala. Saya potret sebagiannya. Beliau juga menyuruh ambil air berkah yang telah disediakan. Kata beliau, air di tempatnya itu hampir sama mujarabnya dengan air berkah dari Sunan Ampel Surabaya. Kami membawa masing-masing satu botol mineral tanggung. Tak lupa kami minta berkah foto bersama dengan beliau dan beliau mempersilahkan dengan santai. Setelah foto, kamipun salaman dan mencium tangan beliau yang bersih dan lembut.
Beberapa waktu setelahnya, saya berharap bisa sowan lagi ke sana di lain hari. Setelah bebas pandemi. Tapi ternyata, pertemuan itu adalah yang pertama dan terakhir. Karena tadi pagi ketika buka HP, saya baca berita di grup-grup WhatsApp kalau beliau KH. Muzajjad Faqihuddin telah wafat meninggalkan kita semua. Hanya doa yang bisa kita panjatkan. Semoga beliau mendapat terbaik di sisi-Nya. Semoga beliau segera bertemu dengan istri-istri surga. Aamiin. []
اللهم اغفر له وارحمه وعافه واعف عنه
واجعل الجنة مثواه