Sebagai konsekuensi dari penjatuhan cerai dari suami, istri wajib menjalani masa iddah selama tiga kali masa sucian menurut kalangan syafiiyah, jika tidak hamil, atau sampai dia melahirkan kalau sedang hamil saat prosesi cerai dijatuhkan. Mengenai tentang keharusan menjalani masa iddah ini, ulama mengajukan dua alasan, pertama untuk mengetahui bahwa si istri tidak sedang hamil, kedua karena ta’abbudi.
Dalam masa iddah itu si istri tidak boleh menikah dengan orang lain, serta harus berdiam diri di rumah yang telah ditanggung oleh suami, karena memang saat itu suami masih punya tanggungan membiayai istri sampai masa iddah selesai. Tanggungan ini ada karena selama masa iddah masih belum selesai, keduanya masih ada ikatan zaujiyah (pernikahan) yang sewaktu-waktu bisa diulangi jika keduanya berubah pikiran untuk kembali ruju’. Sementara itu, si suami boleh-boleh saja melangsungkan akad nikah dengan perempuan lain jika memang sudah tidak ada kemauan lagi untuk kembali pada istri sebelumnya tanpa menunggu masa iddah istri selesai.
Jika dilihat dari segi kewajiban, kedua pasutri ini dinilai sebanding karena si istri wajib menjalani masa iddah, sementara si suami wajib menanggung biaya mantan istri selama menjalani masa iddah. Tapi perlu diketahui, hal yang diperhatikan dalam pernikahan adalah adanya pasangan istri bagi suami dan sebaliknya. Berbeda halnya dengan masalah nafkah, hal ini tidak hanya ada dalam pernikahan, melainkan juga ada pada ikatan orang tua dan anak, sehingga dalam hal ini sepertinya perempuan lebih diberatkan dalam masalah pernikahan “cerai”.
Tentang ketimpangan ini, akal cenderung menginginkan adanya kewajiban beriddah pula bagi si suami. Hal ini dinilai penting untuk lebih memperjelas bahwa agama tidaklah memandang sebelah mata terhadap perempuan. Sebagai buktinya, Syekh Zainuddin al-Malibary menuturkan
ويشترط أيضا أن لا تكون تحته أربع من الزوجات سوى المخطوبة ولو كان بعضهن في العدة الرجعية لان الرجعية في حكم الزوجة فلو نكح الحر خمسا مرتبا بطل في الخامسة أو في عقد بطل في الجميع
[زين الدين المعبري ,فتح المعين بشرح قرة العين بمهمات الدين ].
Dalam teks ini beliau menjelaskan salah satu syarat kebolehan suami untuk menikah, yakni harus tidak sedang menikahi empat istri. Hatta ketika salah satu dari mereka dicerai, suami harus beriddah untuk tidak menikah kepada perempuan lain selama mantan istrinya masih belum selesai menjalani masa iddah.
Kewajiban iddah bagi suami ini tentunya tidak sama dengan kewajiban iddah bagi istri. Saat suami memiliki empat istri, dia tidak boleh lagi menambah istri yang kelima, selama yang empat itu masih berada dalam ikatan pernikahan. Termasuk ikatan pernikahan –sebagaimana dijelaskan di atas- adalah istri yang masih menjalani masa iddah setelah dicerai, sehingga suami harus beriddah untuk menunggu lepasnya ikatan pernikahan dengan salah satu dari empat istrinya, agar tidak malakukan penambahan hubungan pasutri kelima yang tidak dilegalkan oleh syariat, wallahu a’lam. []