Mengenang 12 tahun lalu
Jam 19.00, satu hari menjelang tahun 2009 berganti, HP berdering mengganggu makan malam gratis saya di rumah makan “Jepun”, milik NS, sahabat saya. Jay, wartawan Koran Sindo mengkonfimasi kabar mengejutkan. “Bagaimana Gus Dur, aku dengar beliau wafat,” katanya tegang. Dengan dada berdegup, saya segera menghubungi A.W. Maryanto, teman yang selalu mendampingi Gus Dur di Rumah Sakit. Jawabannya tak meyakinkan. Katanya : “Aku baru saja istirahat dan sekarang sedang makan. Jam 17.00 tadi, 18 orang dokter khusus telah memeriksa kesehatan Bapak dan beliau sudah baik”. Tetapi saya penasaran. mbak Yenni, putri kedua Gus Dur, saya kontak. “Bapak meninggal, mbak Yenni di dalam”, suara Innayah, putri bungsunya, lirih bergetar, tersekat. Dan saya terkulai lemas. Langit 30 Desember 2009 tiba-tiba menjadi muram, murung. Saya segera sms Ibu Shinta, isteri tercinta Gus Dur : “Ibu, saya sangat menyesal tidak berada di samping bapak, seperti sebelumnya, mohon maaf”. Ya seperti sebelumnya ketika Gus Dur beberapa kali berada di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, saya menjenguknya sekaligus mendo’akan kesembuhannya dengan segera. Dan saya merasa mendapat kehormatan, ketika beliau meminta saya berdo’a bagi kesehatannya. Dengan tetap berbaring di tempatnya, di didampingi ibu Nur, isterinya yang setia dan orang-orang yang hadir, Gus Dur dan mereka mengamininya.
“Kita harus berangkat ke Jakarta sekarang juga”, kata saya kepada isteri. Sepanjang jalan dari Cirebon ke Ciganjur, sms dari teman-teman dari segala macam identitas diri; Kiyai, Santri, Abangan, Pendeta, Romo, Bhiku, penganut Konghuchu dan Ahmadiyah, terus berhamburan masuk ke HP saya. Mereka menyatakan duka nestapa teramat dalam dan rasa kehilangan atas kepergian orang yang dicintainya. Saya tak mengerti mengapa mereka mengirim sms, selain ingin mengabari saya tentang wafatnya Gus Dur dan mendo’akan bagi orang yang mereka kagumi dan keluarga yang ditinggalkannya. Saya membalasnya singkat: “Dia yang selalu membagi kegembiraan, cinta dan harapan pada bangsa, Negara dan mereka yang tak berdaya, telah kembali kepada kekasihnya, dalam damai abadi”.
Dini hari yang sejuk, jam 03.00, ketika saya tiba, jalan Warung Sila sampai rumah duka, karangan bunga berwarna-warni, tanda duka cita, berjejer tak berjarak, berserak dan bertumpuk, bagi “Presiden RI ke 4”, bukan “Mantan Presiden”. Saya tak bisa menghitung jumlahnya. Beberapa jam sebelumnya jalan ini macet total. Ratusan kendaraan dan pejalan kaki seakan tak bergerak. Stagnan. Semuanya sengaja datang ke Ciganjur, ke rumah Gus Dur, menyambut kedatangannya dan menyampaikan ta’ziyah kepada keluarganya. Ketika saya tiba, ribuan orang masih berjaga di ruang-ruang di sekitar rumah. Masjid al Munawwaroh, tempat Gus Dur mengaji kitab “al Hikam”, karya Ibnu Athaillah, seorang sufi besar, dan kitab-kitab yang lain, masih gemuruh dengan bacaan ayat-ayat suci al Qur’an. Saya segera masuk rumah. Jenazah sudah dibaringkan. Wajah Gus Dur yang tertutup kelambu putih yang tipis, terlihat jelas, seakan-akan sengaja dibiarkan demikian agar para pelayat bisa melihatnya. Saya segera mendapat giliran entah untuk yang ke berapa puluh kali, memimpin shalat janazah, tahlil dan berdo’a.
Di hadapan tubuh yang masih utuh itu, saya teringat kata-kata dalam sebuah buku tasawuf : “Ketika jiwa pergi dalam keadaan bersih, tanpa membawa serta bersamanya hasrat-hasrat rendah duniawi yang menciptakan ketergantungan, yang selama hidupnya selalu dihindari dan tak pernah dibiarkan menguasi diri; menjadi diri sendiri dan menempatkan perpisahan jiwa dari badan sebagai tujuan dan bahan permenungan… maka jiwa itu telah siap untuk memasuki wilayah kasat mata (‘Alam al-Musyahadah) di mana para bijak-bestari tinggal”.
Ya, itulah jiwa yang telah matang. Ia yang hatinya telah menjadi hati orang-orang yang ditinggalkannya, yang dicintainya. Ia yang telah membagi cintanya kepada mereka yang hatinya remuk-redam, tak berdaya dan tanpa gantungan. Ia yang bicara begitu bebas, tanpa beban, polos, karena tak punya hasrat rendah apapun dan tak tergantung pada siapapun, kecuali kepada Tuhan. Ia yang tak pernah peduli dengan gelar-gelar kehormatan yang dianugerahkan dunia kepadanya. Ia yang pikirannya mampu menjangkau masa depan dan melampaui zaman, tetapi yang tetap bisa bertahan dengan kokoh menjalani tradisinya. Ia yang tak pernah gentar untuk melawan setiap tangan tiranik dan korup. Ia yang tak mau kompromi terhadapnya dan tak peduli pada cibiran orang kepadanya. []
Bersambung ke (part 2)