Kyai Tolchah Hasan Sang Kyai Multi-Pesantren

Di masa tua ini, hiburan saya datang ke Unisma (Universitas Islam Malang), ke Sabilillah (Lembaga Pendidikan Islam Sabilillah). Di teras depan rumah saya, tiap pagi saya lihat siswa-siswa Al Ma’arif yang hilir mudik. Saya bahagia. Ini yang saya cita-citakan 40-50 tahun lalu.”[2]

Kalau boleh membayangkan, mungkin saya termasuk di antara kerumunan siswa yang dilihat oleh Almarhum Kyai Tolchah Hasan dua puluhan tahun lalu hilir mudik di salah satu sekolah yang menjadi kebanggaan warga Nahdliyyin di Singosari, Jawa Timur ini.  Pada tahun 1993 selepas lulus Madrasah Ibtidaiyah, saya memutuskan mondok di Pesantren Ilmu Al-Quran (PIQ) di bawah bimbingan KH M Bashori Alwi di Singosari Malang. Keinginan yang wajar karena sejak kecil saya didorong untuk mengikuti jejak keluarga yang terlebih dulu nyantri. Selain mondok, saya juga menghabiskan pendidikan formal tingkat menengah saya di Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah Al Maarif yang didirikan dan diasuh langsung oleh Kyai Tolchah.

Banyak orang mengenal Singosari  sebagai “Kota Santri” tempat dimana belasan atau bahkan puluhan Pondok Pesantren dengan puluhan ribu santrinya memperdalam ilmu agama di salah satu kecamatan di Kabupaten Malang yang memiliki luas 118,51 km2 ini. Selama di Singosari bisa dikatakan saya belajar di dua pesantren. Saya mempelajari tahsin beserta tafsir Al-Qur’an, ilmu Hadits, Fiqh, nahwu dan shorof sebagai bagian dari pelajaran untuk membaca kitab klasik di Pesantren Ilmu  Al Quran dan belajar pengetahuan umum seperti ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial lain di “Pesantren” Al Maarif yang diasuh oleh Kyai Tolchah. Ketersediaan Sekolah Umum yang didirikan oleh Kyai Tolchah untuk para santri desa seperti saya ini, membuat banyak santri di Singosari memiliki keberanian untuk bermimpi memiliki profesi lain selain fokus pada dakwah keagamaan.

Uniknya, tidak seperti kebanyakan Kyai NU lain yang memilih membangun pesantren tempat para santri mondok dan belajar agama, Kyai Tolchah memilih membangun pendidikan formal dari jenjang pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Sebenarnya dengan kadar kealiman dan penguasaan terhadap ilmu agama yang dalam, dimana dalam satu kesempatan Gus Dur pernah menyebut KH Tolchah Hasan sebagai Imam Ghozalinya Indonesia, mudah saja beliau membangun pondok pesantren seperti Kyai pada umumnya.

Fokus Kyai Tolchah yang memilih membangun sekolah daripada pondok pesantren membuat beberapa akademisi menyebut beliau sebagai Kyai Tanpa Pesantren.[3] Saya pribadi tidak terlalu setuju dengan julukan ini setidaknya karena beberapa alasan. Pertama, definisi pesantren juga bisa dilekatkan pada berbagai lembaga pendidikan yang beliau dirikan. Ini  termasuk sekolah dan madrasah yang dikelola Yayasan Al Maarif yang sejatinya adalah “Pesantren” tempat masyarakat “nyantri” untuk memperoleh pengetahuan yang dibutuhkan di tengah persaingan global saat ini. Kedua, jika dilihat dari konteks pendirian berbagai sekolah dan yayasan, Kyai Tolchah membuat Lembaga-lembaga pendidikan ini untuk melengkapi dan membekali para santri dengan pendidikan formal yang dibutuhkan dengan tetap tidak menghilangkan pengajaran tentang pentingnya nilai-nilai Ahlus Sunnah Wal Jamaah An Nahdliyyah. Karena alasan inilah, ribuan santri termasuk saya bisa mengenyam pendidikan formal hingga saat ini. Ketiga, seperti Universitas Al-Azhar Mesir dan pesantren-pesantren NU pada umumnya, lembaga pendidikan yang beliau dirikan juga bermula dari Masjid. Kecintaan beliau terhadap Masjid nampak dari bagaimana beliau selalu melekatkan berbagai Lembaga pendidikan formal dengan pengembangan Masjid yang beliau kelola. Paket pendidikan komplit di Yayasan Al Maarif an mulai dari Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar Islam, Madrasah Ibtidaiyah, Sekolah Menengah Pertama Islam, Madrasah Tsanawiyah, Sekolah Menengah Islam, Madrasah Aliyah dan Sekolah Menengah Kejuruan bermula dari Masjid Hizbullah di Jalan Masjid Singosari Malang. Para santri dan masyarakat yang tinggal di Singosari seperti diberikan hidangan ala prasmanan yang dapat memilih sekolah mana yang sesuai dengan minat dan bakat mereka.

Baca Juga:  Sejarah dan Arah Media di 100 Tahun Pertama Nahdlatul Ulama

Pola ini juga nampak beliau terapkan saat membangun dan mengembangkan Masjid Sabilillah yang terletak di tengah masyarakat urban di Kota Malang dengan juga membangun Sekolah Modern di tingkat dasar yang berdampingan dengan Masjid. Kyai Tolchah terlihat sangat adaptif dan responsif dalam melihat kebutuhan masyarakat kelas menengah dengan memodifikasi model pendidikan ala NU agar lebih diterima masyarakat urban. Tangan dingin Kyai Tolchah menjadikan sekolah ini menjadi salah satu sekolah favorit dan percontohan di Jawa Timur. Selain itu kecintaan Kyai Tolchah terhadap Masjid nampak dari kesiapan beliau menjadi “badal” saat khatib yang diundang berhalangan hadir atau terlambat. Setidaknya hampir setiap Jumat selama saya menempuh sekolah menengah di Al Maarif saya hampir selalu melihat Guru Besar Pendidikan Islam Universitas Islam Malang ini menyempatkan memimpin salat Jumat di Masjid Hizbullah yang letaknya berdempetan  dengan sekolah tempat saya belajar dulu itu.

Berkat tangan dingin beliau juga lah Universitas Islam Malang yang beliau dirikan pada awal 1980 an saat ini telah menjadi salah satu Perguruan Tinggi Swasta Islam terbaik di Indonesia. Ini belum termasuk sumbangsih yang luar biasa dalam pembangunan rumah sakit, Lembaga kesehatan dan Lembaga lain yang menjadi tumpuan masyarakat. Dengan rekam jejak seperti ini, sulit untuk tidak menyebut Kyai Tolchah sebagai “Kyai Multi Pesantren” yang meletakkan fungsi kesantrian tidak hanya sebatas dakwah keagamaan namun mencakup juga basis sosial lain yang dibutuhkan masyarakat. Ini juga mencerminkan bagaimana mantan Rektor Universitas Islam Malang ini mempromosikan pendidikan Islam multikultural mulai dengan hal dasar yaitu saling menghargai antar manusia apapun suku, budaya dan agama melalui berbagai “pesantren” yang beliau dirikan.

Baca Juga:  Wacana Calon Tunggal Fatayat NU Jepara, PCNU Tiadakan Calon Alternatif?
Membangun tradisi manajerial kepesantrenan NU

Jika pendidikan Islam ingin maju maka harus lepas dari konflik.”Sudah ada banyak contohnya pendidikan yang tidak karuan karena konflik ditingkat pimpinannya,”[4]

Ungkapan Kyai Tolchah ini bukanlah tanpa dasar, sudah lama model pengelolaan Lembaga pendidikan NU banyak dikritik jauh dari kata professional. Jamak terjadi, konflik yayasan pendidikan di kalangan NU sebagaimana diungkapkan oleh Kyai Tolchah bermula dari sengketa keluarga. Lembaga pendidikan yang masih menerapkan manajemen tradisional dan bertumpu pada sosok pengasuh dan keluarganya rawan mengalami konflik seperti ini. Hal ini yang sepertinya dihindari oleh Kyai Tolchah dalam pengelolaan berbagai Lembaga pendidikan di bawah asuhan beliau. Sepanjang yang saya telusuri, tidak terlihat keterlibatan putra-putri beliau dalam struktur kelembagaan yang beliau kendalikan. Padahal dengan posisi Kyai Tolchah di berbagai kelembagaan itu, sejatinya mudah sekali menempatkan putra-putri beliau sebagai Rektor, Ketua Yayasan atau Kepala Sekolah di berbagai lembaga tersebut.

Saat pengukuhan Guru Besar Ilmu Pendidikan Islam di Universitas Islam Malang pada 2007, Kyai Tolchah menyebut bahwa “penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai ikon peradaban dengan tidak menghilangkan ketaqwaan dan moral bagi umat yang beriman, tidak mungkin dapat dicapai dengan baik, tanpa melalui pendidikan sebagai sistem atau institusi.”[5]  Fokus Kyai Tolchah mewariskan sistem merit dalam pengelolaan Sumber Daya Manusia berbagai Lembaga yang beliau pimpin dengan melakukan pengkaderan secara sitematis nan rapi serta meletakkan sistem yang professional misalnya, merupakan salah satu bukti bahwa beliau berbeda dengan banyak akademisi lain yang ide dan gagasannya terhenti hanya sebagai wacana di atas kertas. Sebagaimana yang dikemukakan oleh salah satu guru yang saya wawancarai, proses pengisian jabatan-jabatan penting dan rekrutmen pegawai di Al Maarif diatur dalam aturan tertulis yang menjadi pedoman dalam penyaringan kualifikasi, kompetensi dan kinerja saat akan memilih kandidat yang akan menduduki jabaran tertentu. Hingga saat Kyai Tolchah wafat, sistem inilah yang akan bekerja mengendalikan kualitas institusi pendidikan beserta dengan SDM yang dimilikinya.

Baca Juga:  Pemerintah Jangan Paksakan New Normal di Pesantren Jika Tidak Siap

Tradisi manajerial yang sistemik dan profesional ala Kyai Tolchah ini mungkin dapat dijadikan panduan dan desain awal oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) saat mendirikan berbagai Perguruan Tinggi NU dan Pesantren Luhur di berbagai daerah di Indonesia. Dengan manajemen yang rapi dan professional serta menekankan merit daripada hanya sekedar nasab seperti yang Kyai Tolchah terapkan, insya’Allah lembaga pendidikan dan pesantren yang dikelola secara kelembagaan oleh PBNU dapat dikembangkan dan mampu bersaing di tengah kompetisi yang makin mengglobal.

Selain itu sebagaimana diulang beberapa kali oleh Menteri Agama di era Presiden KH Abdurrahman Wahid ini dalam berbagai kesempatan, fungsionaris NU yang diamanahi untuk mengelola pesantren atau Lembaga lain harus memiliki empat komponen yaitu Ikhlas, Sabar, Istiqamah dan Amanah, agar mampu memaksimalkan potensi Lembaganya sebagai basis sosial yang rahmatan lil alamin. Setidaknya empat hal ini telah beliau praktikkan saat membangun basis sosial di berbagai “pesantren’ yang beliau dirikan sehingga dapat maju dan berkembang seperti yang telah kita lihat sekarang. [HW]

Catatan:

[1] Ditulis dalam rangka menyambut undangan menulis Buku Guru Segala Penjuru: Mata Air Keteladanan Prof, Dr. KH. Tolchah Hasan

[2] Pernyataan Kyai Tolchah Hasan disampaikan di hadapan KH Cholil Nafis dan KH Faris Choirul Anam,13 November 2018

[3] Mudjia Rahardjo, dkk Prof. KH. Muhammad Tolchah Hasan: Kyai tanpa pesantren : kiprah dan pengabdian sang kyai dalam pandangan para akademisi, Paramasastra Press, 2007

[4] Mengenang KH Tolchah, Kiai Tanpa Pesantren, Dikenal Multitalenta, https://kumparan.com/tugumalang/mengenang-kh-tolchah-kiai-tanpa-pesantren-dikenal-multitalenta-1rAn2L7pWyd  diakses 6 September 2019

[5] Kiai Tholhah Dikukuhkan sebagai Profesor, https://www.nu.or.id/post/read/8440/kiai-Tolchah-dikukuhkan-sebagai-profesor  diakses 6 September 2019

Fachrizal Afandi
Dosen Departemen Hukum Pidana Universitas Brawijaya, Ph.D Researcher di Leiden University. Salah satu pendiri NU Belanda dan Ketua Tanfidziyah PCI NU Belanda 2014-2017. Saat ini tercatat sebagai anggota ISNU Komisariat Universitas Brawijaya Malang.

    Rekomendasi

    Poligami Sunnah Nabi?
    Opini

    Poligami Sunnah Nabi?

    Ketika  Membahas tentang poligami, pastilah akan timbul pemikiran mengenai laki-lai yang beristri banyak. ...

    Tinggalkan Komentar

    More in Ulama