Sebuah lagu berjudul “Aisyah Istri Rasulullah” mencerminkan dakwah Islam kontemporer. Kesenian Islam melalui musik dan syair indah menemukan makna pentingnya. Islam ditampilkan kembali dalam wajah yang segar dan lembut setelah sekian lama dicoreng oleh radikalisme-ekstrimisme.
Sebagai sebuah kesenian, lagu yang dibawakan oleh vokalis bernama Muallimah dan group Projector Band ini menuai kontroversi. Tribunnews menurunkan laporan Ustad Yahya Zainul Ma’arif meminta lirik lagu tersebut diubah sesuai saran dan masukannya (6/5/2020). Sementara satu hari sebelumnya, Channel Youtube Al-Bahjah TV memposting penuh isi ceramah sang ustaz (4/5/2020).
Lirik lagu Aisyah Istri Rasulullah ditulis oleh Mr. Bie, tampaknya sebuah nama pena yang lazim dipakai para seniman. Mr. Bie menampilkan ciri-ciri fisik Sayyidah Aisyah yang begitu indah dan detail, seperti cantik berseri, berkulit putih, pipi merah, Nabi minum di bekas bibir beliau, bermain lari-lari bersama Nabi, hingga Nabi mencubit hidungnya sembari bermanja.
Ustaz Yahya dalam Al-Bahjah TV tampak gerah dengan syair di atas. Syair Mr. Bie dianggap tidak beradab, tidak bermoral, karena menggambarkan sifat jasmani Ummul Mukminin secara detail. Opini semacam itu hal lumrah dan digolongkan sebagai kategori kritik sastra. Segala penjelasan yang mengarah pada penjelasan fisik, bagi ustad Yahya, harus ditepis.
Ustad Yahya bahkan mengatakan tidak boleh menerjemahkan sebutan “Humairo”. Sebaliknya, ia menyarankan agar lirik lagu itu direvisi dan diganti dengan penjelasan tentang sifat cerdas, pandai, penuh kasih sayang, menghibur hati, dan semacamnya. Padahal, dalam ilmu kritik sastra, pembaca (reader) tidak jauh lebih berkuasa dibanding pengarang (author) terhadap karya (text).
Turki Ibnu al-Hasan al-Dahmani jauh lebih serius dibanding Ustad Yahya dalam membahas profil Sayyidah Aisyah. Al-Dahmani menyebut Sayyidah Aisyah sebagai as-Shiddiqah binti al-Shiddiq (perempuan jujur putri bapak yang jujur, Abu Bakar), Habibah Habibi Allah (kekasihnya kekasih Allah, Muhammad), al-Syarifah al-Mubarra’ah min Fawqi Sab’i Samawat (Perempuan Agung yang pengampunannya Turun dari Puncak Langit Ketujuh), alim, ahli ibadah, zuhud, pemurah, istri Nabi di dunia dan akhirat (al-Dahmani, al-Sirah al-Mu’aththarah fi Manaqib Umm al-Mukminin ‘Aisyah ra, Oman: Amwaj, 2012: 7).
Metode al-Dahmani yang seperti itu mungkin memenuhi harapan Ustad Yahya. Penggambaran abstrak-ideal tentang profil seseorang yang berkedudukan mulia. Namun nyatanya, ilmuan dan penyair seperti al-Dahmani juga mengutip Imam al-Hafizh al-Dzhahabi, yang mengatakan bahwa Sayyidah Aisyah itu imroatun mahabatun baidha’u jamilatun, perempuan agung, putih, dan cantik (al-Dahmani, 2012: 11).
Menjadi sangat aneh ketika Ustad Yahya menolak penyifatan jasadiah pada Sayyidah Aisyah seperti dilakukan oleh Mr. Bie, pengarang lirik lagu tersebut. Sementara Imam al-Dzhahabi sendiri menyebut ciri fisik Sayyidah Aisyah sebagai berkulit putih yang sangat cantik. Tiga ciri ini: agung, berkulit putih, dan cantik adalah terjemahan dari al-Humaira (al-Dzahabi, Sair A’lam al-Nubala’, 5, 347).
Bagi pencinta sastra, lirik lagu karya Mr. Bie dalam memuji Sayyidah Aisyah istri Rasulullah saw belum ada seujung kuku. Dalam artian, Abu Imran Musa bin Muhammad bin Abdullah, seorang da’i Abad 6 Hijriyah dari Andalusia, jauh lebih dahulu secara khusus mengarang sebuah Qasidah yang terdiri dari 56 Bait untuk memuji Sayyidah Aisyah ra. Judul karya Abu Imran tersebut Manaqib Umm al-Mukminin as-Shiddiqah Aisyah Radhiyallahu ‘Anha (Riyadh: Maktabah al-Taubah, 1998).
Ustaz Yahya mungkin terkejut dengan syair Mr. Bie yang dibawakan oleh Muallimah. Mungkin akan lebih terkejut bila membaca Qasidah Abu Imran yang menyebut ciri fisik Sayyidah Aisyah ra., sebagai pencemburu, di samping dermawan dan alim. Bahkan, hadits Bukhari menyebutkan bahwa istri-istri Nabi itu “bermain” kubu-kubuan; satu kubu ada Aisyah, Hafshah, Shafiyah dan Saudah, sedangkan kubu lainnya dipimpin Ummu Salamah dan lainnya (Abu Imran, 1998: 16-21).
Dalam kitab al-Mustadrak (4/10), Musnad Abi Ya’la (8/91), Thabaqat Ibnu Sa’ad (8/63-65), Majma’ al-Zawaid (9/241-242), Sair A’lam al-Nubala (2/141, 147, 190 dan 191), hampir sepakat menyebutkan sebuah hadits yang menerangkan bahwa wa tuwuffiya alaihis shalatu was salami wa riquha fi famihi, Rasulullah saw wafat pada saat ludah Sayyidah Aisyah ada di mulut Nabi saw. Ini semua penggambaran yang sangat rinci dan fisikli sekali.
Pada masa kecil, Sayyidah Aisyah juga tercatat dalam sejarah sebagai anak gadis yang lemah tubuhnya. Sebab, kota Madinah ketika pertama kali Sayyidah tiba di sana adalah negeri yang panas dan penduduk banyak menderita demam tinggi. Karena itulah, Shahih Bukhari (4/264) dan Muslim (2/1004) menggambarkan sebuah doa Nabi saw yang memohon kepada Allah agar diberi kecintaan pada kota Madinah sebagaimana cinta pada kota Makkah, dan memohon agar penyakit deman dikeluarkan dari Madiah lalu dipindah ke Juhfah. Saat meninggal, sebagian sejarawan mencatat kemungkinan Sayyidah Aisyah wafat karena demam tinggi ini. Sebagian karena malaria (Abu Imran, 1998: 34).
Syair, puisi, prosa, maupun narasi ilmiah adalah sah-sah saja menggambarkan profil seseorang selama berlandaskan kebenaran. Apalagi kesenian, kesusastraan, memang lebih menuntut kepekaan rasa dari pada logika. Dengan membayangkan diri sebagai Aisyah ra., salah satu bait Abu Imran mengatakan:
Nabi sakit lalu wafat di pangkuanku/hari ini hariku. Zaman ini zamanku/suamiku Rasulullah, tak ada yang lain/Allah menikahkanku dengannya, dan beliau mencintaiku/malaikat Jibril datang pada beliau dalam rupaku/Nabi pun mencintainya (Jibril) hingga kemudian beliau melihatku/akulah istrinya yang perawan, rahasianya ada padaku/dan teman tidurnya, serta makamnya di kamarku…” (Abu Imran, 1998: 54).
Setiap zaman memiliki cara berbeda dalam memuliakan istri Nabi saw., Sayyidah Aisyah ra. Mr. Bie membuat lirik lagu sesuai versinya, Abu Imran pun demikian. Sampai-sampai menggambarkan Rasulullah saw nyaris mencintai Jibril, karena datang untuk menyampaikan wahyu dalam rupa Sayyidah Aisyah.
Moral dan keindahan kata semacam ini tidak bisa dipakai dengan nalar logika melainkan harus nalar puitis. Kritik sastra itu penting namun tidak dalam rangka memandulkan kreatifitas, khususnya dalam berkesenian. Sebab, syi’ar Islam yang ditampilkan dalam wajah kesenian dan keindahan jauh lebih berguna dari pada berwajah ekstrimisme-radikalisme.