Kontinuitas Islam dan Syariat

Setiap agama datang membawa syariat yang berbeda dengan agama yang lain. Ibnu Aqil menyatakan: الدين واحد والشريعة مختلفة “agama yang dihadirkan kebumi ini oleh Allah SWT hakikatnya adalah satu, tapi syariatlah yang membedakan antara satu dengan yang lain”. Pandangan Ibnu Aqil ini sebenarnya sejalan dengan penjelasan dalam al-Qur’an surah Al-Ma’idah 5: Ayat 48:

وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ بِٱلْحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ ٱلْكِتَٰبِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ ۖ فَٱحْكُم بَيْنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَآءَهُمْ عَمَّا جَآءَكَ مِنَ ٱلْحَقِّ ۚ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا ۚ وَلَوْ شَآءَ ٱللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَٰحِدَةً وَلَٰكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِى مَآ ءَاتَىٰكُمْ ۖ فَٱسْتَبِقُوا۟ ٱلْخَيْرَٰتِ ۚ إِلَى ٱللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ

Artinya: “Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan”. (QS. Al-Ma’idah 5: Ayat 48).

Jelas bahwa, setiap komunitas, umat, dan bangsa memiliki شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا (syariatnya sendiri, yang satu dengan yang lain berbeda). Tidak berarti, syariat yang di bawah oleh Islam sama sekali adalah syariat yang baru, yang tidak ada presidennya dalam sejarah. Itu sebabnya didalam ilmu ushul fiqh dinyatakan شرع من قبلنا “syariat-syariat yang ada sebelum Islam”, sebagain banyak diadopsi dan diambil menjadi bagian dari syariat Islam sendiri.

Baca Juga:  Dinamika Kepustakaan Islam

Salah satu contohnya adalah seperti hukum rajam bagi para pezinah. Hukum rajam bagi yang berzinah sudah ada di masa syariat Nabi Musa as. kemudian dimasukkan kedalam Islam.

الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوهُمَا الْبَتَّةَ نَكَالاً مِنَ اللهِ وَ اللهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ

Artinya: “Dan Asyaikhu (artinya: laki-laki yang pernah menikah) dan juga Asyaikhotu (artinya: wanita-wanita yang pernah menikah) baik masih atau sudah bercerai kalau keduanya berzinah maka rajamlah mereka sebagai hukuman dari Allah. Allah maha mengetahui lagi bijaksana”.

Dengan demikian, hukum rajam adalah hukum yang diadopsi Islam dari syariat Nabi Musa as. Rupa-rupanya bukan cuma hanya rajam, tapi kalau kita perhatikan dan telisik lebih dalam, ada ayat al-Qur’an yang menyatakan:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِى الْقَتْلٰى ۗ اَلْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْاُنْثٰى بِالْاُنْثٰى ۗ فَمَنْ عُفِيَ لَهٗ مِنْ اَخِيْهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ ۢ بِالْمَعْرُوْفِ وَاَدَاۤءٌ اِلَيْهِ بِاِحْسَانٍ ۗ ذٰلِكَ تَخْفِيْفٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ ۗ فَمَنِ اعْتَدٰى بَعْدَ ذٰلِكَ فَلَهٗ عَذَابٌ اَلِيْمٌ

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) qisas berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barang siapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan baik, dan membayar diat (tebusan) kepadanya dengan baik (pula). Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Barang siapa melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih”. (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 178).

Bahwa hukum rajam adalah, hukum yang di adopsi oleh Islam untuk memberikan sanksi terhadap para pelaku kriminal yang di adopsi dari syariat sebelum Islam. Hukum qishash bisa saja dalam bentuk قتل القاتل (membunuh orang yang membunuh), جرح الجارح (melukai orang yang melukai), قطع القاطع (memotong orang yang memotong).

Baca Juga:  Merangkul Harmoni dalam Keadilan dan Kemanusiaan: Perspektif Islam tentang Hak Asasi Manusia

Kiranya tak keliru jika dikatakan bahwa hukum qishash bukan hukum baru didalam Islam. Begitu juga yang menyangkut dengan makanan-makanan boleh dan tidaknya untuk dimakan. Kalau didalam Islam babi diharamkan untuk dimakan, maka keharaman memakan babi bukan hanya didalam Islam, tapi juga ada didalam perjanjian lama, Taurat, bahwa orang-orang Yahudi tidak diperbolehkan untuk memakan makanan yang diharamkan.

Syahdan, tentu ada banyak hukum didalam Islam yang kemudian bentuknya adalah شرع من قبلنا “diambilkan dari syariat sebelum Islam”. Dari sini bagus sekali jika ditarik sebuah pertanyaannya, apakah mungkin ada syariat yang dirubah? Jelas di sepakati oleh para ulama bahwa, tidak ada nilai-nilai agama yang boleh dirubah sama sekali. Sementara yang menyangkut urusan syariat ada yang bisa dirubah dan tidak.

Syariat yang tidak bisa dirubah adalah syariat yang bersifat universal seperti, perintah untuk bersikap jujur, menghormati orang tua. Ini yang direkam dalam al-Qur’an ketika menjelaskan apa yang harus dilakukan oleh orang-orang Bani Israil. Al-Qur’an menyatakan:

وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ لَا تَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِنْكُمْ وَأَنْتُمْ مُعْرِضُونَ

Artinya: “Dan (ingatlah) ketika kami mengambil janji dari Bani Israil, “Janganlah kamu menyembah selain Allah dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin. Dan bertutur katalah yang baik kepada manusia, laksanakanlah sholat dan tunaikanlah zakat.” Tetapi kemudian kamu berpaling (mengingkari) kecuali sebagian kecil dari kamu dan kamu (masih menjadi) pembangkang”. (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 83).

Inilah syariat yang kebenarannya bersifat universal. Tidak akan ada perubahannya sepanjang masa. Namun demikian, kita tahu bahwa, ada syariat-syariat yang bisa dirubah seiring dengan perkembangan zaman, yang di sebut oleh para ulama dengan يختلف بختلاف الدين “berubah mengikuti perubahan zaman”. Pandangan ini selaras dengan qawaidul fiqh:

تغير الأحكام بتغير الأزمنة والأمكنة والاحوال

Baca Juga:  Ibn Taimiyyah dan Kristen-Islam Abad ke-20

Bahwa perubahan zaman menyebabkan terjadinya perubahan hukum seiring dengan perubahan situasi dan kondisi yang menyertai hukum itu sendiri.

Dengan menyatakan seperti ini maka, seharusnya dimungkinkan terjadinya ijtihad terhadap sejumlah ketentuan-ketentuan yang ada didalam hukum Islam, apakah misalnya hukum potong tangan bisa diterapkan atau malah sebalinya tidak bisa?

Terlepas dari itu, negara Islam yang ada di dunia ini (sekurang-kurangnya ada 47 negara Islam), tidak semuanya menerapkan hukum potong tangan. Misalnya di Mesir, Maroko, Brunei Darussalam, dan negara Islam lainnya tidak ada hukum potong tangan sekalipun ayat-ayatnya sudah jelas didalam al-Qur’an. Ini berarti seperti ada konsensus dikalangan umat Islam untuk tidak menerapkan hukum potong tangan, atau memandang hukum potong tangan sebagai hukum maksimal, yang tidak selalu bisa dilaksanakan oleh umat Islam. Wallahu a’lam bisshawaab. []

Salman Akif Faylasuf
Santri/Mahasiswa Fakultas Hukum Islam, Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini