Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat (1877-1943) tercatat sebagai salah seorang tokoh menak (bangsawan lokal) Sunda yang pernah menjabat sebagai bupati Serang, bupati Batavia dan juga anggota volksraad.
Ayah Achmad Djajadiningrat adalah Raden Adipati Aria Natadiningrat, yang pernah menjabat sebagai bupati Pandeglang (m. 1849-1870). Adik Achmad, yaitu Hussein Djajadiningrat (1886-1960), tercatat sebagai doktor pertama pribumi yang berhasil menamatkan pendidikannya di Universitas Leiden di bawah bimbingan Prof. Snouck Hurgronje (w. 1936).
Seorang yang berasal dari trah “Djajadiningrat” lainnya adalah Rd. Aboe Bakar Djajadiningrat (w. 1914), yang bekerja sebagai informan dan penerjemah di kantor Konsulat Belanda di Jeddah. Rd. Aboe Bakar Djajadiningrat juga tercatat memiliki kedekatan khusus dengan Snouck Hurgronje, ketika ia menjadi pengajar bahasa Melayu untuk Snouck saat baru tiba di Jeddah pada tahun 1884. Rd. Aboe Bakar Djajadiningrat di kemudian hari pun menjadi informan Snouck yang rutin memberikan laporan atas situasi Hijaz dan kehidupan para ulama Nusantara di Makkah pada peralihan abad 19 dan 20 M.
Achmad Djajadiningrat menuliskan memoar perjalanan hidupnya dalam bahasa Belanda berjudul “Herinneringen van Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat”. Memoar tersebut diterbitkan pada tahun 1936 di Batavia. Versi terjemahan bahasa Indonesia dari memoar tersebut berjudul “Kenang-kenangan Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat” (Balai Pustaka, 1936), lalu “Memoar Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat” (Paguyuban Keturunan Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat, 1996).
Dalam memoar tersebut, Achmad Djajadiningrat mengisahkan pengalaman didaktisnya yang ia dapatkan di masa remajanya saat belajar di lembaga pendidikan Islam tradisional atau pesantren. Pada akhir dekade 1880-an, Achmad belajar di Pesantren Karundang, salah satu pesantren tua di wilayah Serang (Banten). Di pesantren tersebut, ia juga berkawan dengan Rd. Moehammad Isa b. Rd. Asta Soetaningrat (1873-1940), yang di kemudian hari menjadi penghulu besar Serang, lalu kepala pengadilan agama tinggi Batavia.
Di pesantren, Achmad yang merupakan anak seorang menak pun menjalani kehidupan ala santri. Di sana ia mempelajari kitab-kitab dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan Islam tingkat dasar, seperti fikih, tauhid, dan tata bahasa Arab. Namun demikian, ketika baru saja sampai pada pelajaran kitab “al-Âjjurûmiyyah” (dalam ilmu tata bahasa Arab), ia harus pulang disebabkan sakit. Achmad mengatakan bahwa sebenarnya ia enggan untuk meninggalkan pesantren karena hatinya sudah sangat terpaut dengan kehidupan di dalamnya dan juga sangat menikmati akan ilmu-ilmu yang ia pelajari di sana.
Saat berada di rumahnya itu, ayah Achmad, Rd. Aria Natadiningrat menerima surat dari kakaknya, yaitu Rd. Adipati Soetadiningrat, agar memasukkan Achmad ke sekolah “Belanda” yang baru saja dibuka di Pandeglang.
* * * * *
Dalam buku memoar tersebut, Rd. Adipati Aria Achmad Djajadiningrat juga banyak menyertakan foto-foto Pesantren Karundang beserta dengan teks keterangan di bawahnya. Hal ini tentu sangat menarik, karena di sana Achmad memberikan kepada kita gambaran yang hidup dan cukup utuh terkait potret kehidupan pesantren di Tatar Sunda pada masa peralihan akhir abad 19 dan awal abad 20.
Misalnya, terdapat foto bangunan pesantren dengan keterangan “En pondok van de pasantren te Karoendang. In mijn tijd was het gebouw van bamboe, thans is het van steen, alleen de dakbedekking is nog steeds van atap (Bangunan pondok di pasantren Karoendang. Dulu bangunannya terbuat dari bahan bambu, sekarang dari batu, hanya atapnya saja yang masih terbuat dari “atap” [injuk])”.
Terdapat juga foto yang menggambarkan suasana sungai yang airnya jernih dan mengalir di samping pesantren. Di sungai itulah para santri berwudhu dan juga membersihkan diri. Tertulis keterangan pada foto tersebut: “Het beekje bij de pasantren van Karoendang, waar de santri’s zich vijfmaal daags ritueel wasschen (Sungai di pasantren Karoendang, tempat para santri membasuh diri untuk ritual [shalat] lima kali sehari)”.
Foto-foto lainnya mengambarkan suasana masjid pesantren yang tampak teduh dan bersahaja, dengan bahan bangunan tembok dan kayu, serta halamannya yang luas dan rindang penuh pepohonan. Terdapat pula foto dua orang anak santri yang memakai baju khas anak pesantren yang disebut oleh Achmad dengan baju “sangsang”, serta foto seorang ajengan yang sedang memberikan pengajian kitab kepada para santri di teras halaman masjid dengan metode pelajaran yang disebut “sorogan”.
Terkait suasana pengajian “sorogan” itu, Achmad memberikan keterangan: “Een goeroe bezig kitabonderwijs te geven Deze wijze van lesgeven heet sorogan. Zijn bibliotheek, waaruit hij z’n geleerdheid put, ligt gewoonlijk op den mimbar, op den achtergrond zichtbaar. Voor deze gelegenheid heft hij die bibliotheek naast zich gelegd (Seorang guru yang mengajar membaca kitab. Cara mengajar ini disebut ‘sorogan’. Perpustakaannya, di mana beliau memperoleh ilmunya, biasanya diletakkan di atas mimbar, tampak di belakang. Hanya untuk kesempatan ini perpustakaannya diletakkan di sebelahnya)”.
Selain itu, terdapat pula foto halaman manuskrip al-Qur’an yang disebut berasal dari Keraton Banten, juga foto rak kayu berukir yang menjadi tempat penyangga al-Qur’an ketika ia dibaca. Hal menarik lainnya adalah sebuah foto yang bertuliskan keterangan “Schrijfgerei van den santri (alat tulis santri)”. Apa yang disebut dengan “alat tulis santri” itu adalah berupa pena dan balok wadah tintanya, juga sebuah papan kayu seukuran lembar kertas besar yang kemudian diberi benang bergaris (“mistharah”/penggaris). Saat akan menulis atau menyalin sebuah kitab, seorang santri akan meletakkan selembar kertas di balik benang “mistharah” itu. Fungsi dari benang bergaris itu, selain sebagai pembatas kolom teks pada halaman, adalah juga agar ukuran aksara dan baris tulisan yang dibuat oleh penulisnya tampak rapi dan seirama di setiap halamannya. Tidak berantakan dan “mobat-mabit”.
Di sini, Rd. Adipati Aria Achmad Djajadiningrat memperlihatkan lembar halaman kedua dari manuskrip kitab yang disalinnya saat di pesantren. Ia menuliskan keterangan atas lembar halaman kitab tersebut dengan “Een bladzijde uit mijn tweede kitab in de pasantren (Halaman kedua dari kitab saya di pesantren)”. Kitab tersebut berisi kajian bidang ilmu morfologi Arab (ilmu sharaf/tasripan), salah satu bagian dari ilmu tata bahasa Arab. Di sana tampak baris-baris teks berbahasa Arab dengan terjemahannya berbahasa Jawa Pegon. Tulisan aksara Arab Achmad pun tampak sangat rapi.
Tertulis di sana:
تصريفان
بسم الله الرحمن الرحيم
باب أول: فعَل يفعُل فَعْلًا فهو فَاعِلٌ وَذاكَ مَفْعُوْلٌ اُفْعُلْ لَا تَفْعُلْ مَفْعَلٌ مَفْعَلٌ مِفْعَلٌ. موزوني تݢسي بانديڠاني
نصَر ينصُر نَصْرًا فهو نَاصِرٌ وَذاكَ مَنْصُوْرٌ اُنْصُرْ لَاتَنْصُرْ مَنْصَرٌ مَنْصَرٌ مِنْصَرٌ
* * * * *
Kitab “Tasripan” sebagaimana yang disalin oleh Rd. Adipati Aria Achmad Djajadiningrat di atas, merupakan salah satu mata pelajaran wajib yang dipelajari di pesantren-pesantren Tatar Sunda dan di Nusantara secara lebih luas pada masa itu. Pada tahun 1886, Bupati Lebak Rd. S. Soerianataningrat menerima laporan dari Penghulu Landraad Lebak, Mas Hadji Muhammad Ismail, yang berisi daftar sejumlah kitab yang dipelajari di pesantren-pesantren di Tatar Sunda untuk tingkat pemula. Studi dimulai dengan kitab dasar “Alip-alipan”, lalu “Turutan” dan “al-Qur’an”, lalu “Sittin”, “Tasripan”, “Amil”, “Jurumiyah” dan “Syarah Sittin” (Laffan, 2003: 163).
Seorang bangsawan Sunda lainnya yang menuliskan pengalaman didaktisnya ketika belajar di pesantren adalah Rd. Haji Hasan Mustapa (1852-1930), tokoh besar pujangga Sunda modern yang juga pernah menjabat sebagai Hoofd Penghulu (Penghulu Besar) Bandung. Mustapa menuliskan pengembaraan intelektual pesantrennya dalam naskah “Asmarandana Ngagurit Kaburu Burit”, yang saat ini menjadi koleksi Perpustakaan Universitas (Universsiteitsbibliotheek/ UB) Leiden, Belanda dengan nomor kode Or. 7876. Jajang A. Rohmana telah mengkaji naskah tersebut dalam artikelnya yang berjudul “Asmarandana Ngagurit Kaburu Burit: Pengalaman Didaktis Kepesantrenan Haji Hasan Mustapa (1852-1930)” (dimuat dalam jurnal “Jumantara”, edisi Vol. 4 No. 2 – Oktober 2013). []