Kalau kita buka lembaran sejarah Nusantara, kondisi pageblug atau wabah penyakit serupa dengan pandemi Covid-19 seperti saat ini ternyata sudah pernah terjadi beberapa kali di Nusantara. Diantaranya adalah yang terjadi pada 1409 di masa Kerajaan Demak saat dipimpin oleh Raden Patah. Kala itu, merebak wabah yang oleh masyarakat pada masa itu disebut Lelepah. Bahkan, konon banyak orang meninggal dengan sangat cepat hanya dalam hitungan jam saja.
Wabah Lelepah ini sungguh membuat masyarakat kala itu menjadi panik dan bingung. Apalagi, belum ditemukannya obat yang dapat menyembuhkan wabah penyakit Lelepah ini. Kanjeng Sultan Syah Alam Akbar Patah Jimbun Sirullah atau Raden Patah, akhirnya meminta bantuan kepada Walisongo untuk menyelesaikan wabah tersebut. Sampai akhirnya, Sunan Kalijaga membuat rangkaian doa-doa dalam bahasa Jawa berupa “Kidung Rumekso Ing Wengi”.
“Kidung Rumekso Ing Wengi” ini biasanya dilantunkan pada sore atau malam hari selepas salat malam. Dengan dilantunkannya kidung ini, diharapkan terhindar dari segala macam bahaya atau penyakit baik yang kasat mata maupun tidak. Disamping itu, kidung ini juga dimaksudkan untuk membebaskan diri dari serangan berbagai penyakit, baik yang bersifat lahir maupun batin.
Di tengah kepungan wabah Covid-19 yang belum kunjung mereda, warisan intelektual Kanjeng Sunan Kalijaga “Kidung Rumekso Ing Wengi” ini patut dilestarikan sebagai simbol kearifan lokal.
Apalagi, kidung ini mengajarkan kepada manusia untuk selalu mendekatkan diri dan memohon perlindungan dari Allah SWT agar terhindar dari berbagai macam bahaya dan penyakit seperti Covid-19 yang terjadi saat ini.
Adapun beberapa bait syair, “Kidung Rumekso Ing Wengi” berbunyi:
Ana kidung rumekso ing wengi, Teguh hayu luputa ing lara luputa bilahi kabeh, jim setan datan purun, paneluhan tan ana wani, niwah panggawe ala, gunaning wong luput, geni atemahan tirta, maling adoh tan ana ngarah ing mami, guna duduk pan sirno.
Artinya: “Ada sebuah kidung doa permohonan di tengah malam. Yang menjadikan kuat selamat terbebas dari semua penyakit. Terbebas dari segala petaka. Jin dan setanpun tidak mau mendekat. Segala jenis sihir tidak berani. Apalagi perbuatan jahat, guna-guna tersingkir. Api menjadi air. Pencuripun menjauh dariku. Segala bahaya akan lenyap”.
Sakehing lara pan samya bali, Sakeh ngama pan sami mirunda Welas asih pandulune, Sakehing braja luput, Kadi kapuk tibaning wesi, Sakehing wisa tawa, Sato galak tutut, Kayu aeng lemah sangar, Songing landhak guwaning Wong lemah miring, Myang pakiponing merak.
Artinya: “Semua penyakit pulang ke tempat asalnya. Semua hama menyingkir dengan pandangan kasih. Semua senjata tidak mengena. Bagaikan kapuk jatuh di besi. Segenap racun menjadi tawar. Binatang buas menjadi jinak. Pohon ajaib, tanah angker, lubang landak, gua orang, tanah miring dan sarang merak”.
Dalam Kidung Rumekso Ing Wengi Sunan Kalijaga pun mengajarkan untuk menjadi manusia yang waspada. Selain itu, kidung ini juga mengandung falsafah mengenai hubungan manusia dengan Tuhan. Hal ini tercermin pada potongan bait kedelapan yang berbunyi, “Lan den sabar sukur ing Widhi, Insya Allah tinekanan, Sakarsa nureku”. Artinya ialah setiap perbuatan ditampakkan dengan sikap sabar, syukur, dan pasrah kepada Allah. Apabila ini dilakukan dengan sungguh-sungguh dapat dikabulkan oleh Allah, dapat tercapai apa yang dicita-citakan. Secara implisit kidung ini mengajak untuk menguatkan tauhid seorang hamba kepada Allah Tuhan Yang Mahakuasa.
Kualitas Tauhid tentunya harus didasari pada keyakinan penuh terhadap Allah serta mengharap ampunan dan kemuliaan dari-Nya. Karena hal ini dapat meningkatkan jiwa orang beriman kepada Allah itu sampai pada tingkat sabar, teguh, dan tawakal kepada-Nya. Kekuatan sabar, tawakal, dan istikamah seperti inilah merupakan kekuatan yang jauh di atas kekuasaan manusia. Yang dengan itu para rasul ataupun nabi mampu menghadapi kesulitan dan cobaan. Pun demikian, dalam menghadapi wabah pandemic Covid-19 ini kita diajarkan untuk sabar, tawakal, dan istikamah dalam usaha dan doa agar wabah ini lekas mereda. [HW]