Mereka bertanya, apa gunanya hafal al-Qur’an jika akhlaknya tidak sesuai dengan al-Qur’an?. Maka, sungguh pertanyaan yang demikian pun tak layak keluar dari mulut sang penghafal al-Qur’an. Bukankah pertanyaan tersebut terkesan menghakimi seseorang melalui apa yang kita lihat secara kasat mata?.
Seorang penghafal al-Qur’an itu adalah manusia. Selagi masih menyandang status sebagai manusia, ia tak akan lepas dari kesalahan dan kekhilafan. Kesalahan manusia itu tak lantas membuat kita berkesimpulan bahwa akhlak dan budi pekertinya tidak sesuai dengan al-Qur’an. Sebab kita tak pernah tahu, bisa jadi ia memiliki momen kemesraan dan kebersamaan yang hangat dengan Tuhannya di malam hari.
Seorang penghafal al-Qur’an tak akan pernah bisa mengamalkan al-Qur’an yang dihafalnya secara sempurna, karena dia adalah manusia. Setiap manusia memiliki prosesnya masing-masing. Tak lantas seorang penghafal al-Qur’an itu bisa dijuluki sebagai insan kamil tanpa pernah menjalani dan mengalami prosesnya.
Bagaimanapun juga seorang penghafal al-Qur’an telah bersusah payah merapal, menghafal, dan menjaga ayat-ayatNya. Ia melalui proses panjang. Hari-harinya dihabiskan demi menjadi budaknya al-Qur’an. Ia berjuang mati-matian supaya termasuk golongan yang utuh jasadnya ketika ia telah ditimbun tanah. Ia punya jalan, waktu, dan cara tersendiri untuk menjadi pecinta kalam Ilahi. Maka jangan tuntut ia secara berlebihan untuk menjadi sempurna.
Mengamalkan seluruh isi al-Qur’an tanpa terkecuali adalah satu hal yang mustahil bagi manusia. Bahkan sifatnya pun telah dilukiskan di dalamnya. Nabi Muhammad juga pernah mengambil satu keputusan yang tidak atas dasar perintah wahyu, lalu beliau pun mendapatkan teguran. Ini tertulis jelas dalam al-Qur’an. Artinya, bahwa seorang nabi yang dijamin kema’shumannya, beliau tidak terlepas dari sifat kemanusiaannya.
Tugas penghafal al-Qur’an, dan tiap-tiap manusia, sekalipun tidak menghafal al-Qur’an adalah terus berproses dan berusaha memahami kandungan al-Qur’an, merenungi makna yang tersurat maupun tersirat, lalu perlahan diamalkan.
Karena al-Qur’an, ia mengandung seluruh lini kehidupan, mulai dari keimanan, tata cara beragama, tata cara bermasyarakat, bersosial, amalan-amalan, kisah-kisah, berita gembira, hingga ancaman. Maka kiranya, untuk dapat mengamalkan seluruh isinya secara sempurna adalah hal yang sangat tidak mungkin bagi manusia yang tidak dijamin kema’shumannya. []