Kajian Hukum Jual Beli Jangkrik, Ulat, Cacing dan Semut (Kroto) dengan Pendekatan Maqosid As Syari’ah

Manusia adalah makhluk sosial. Yang dimaksud dengan makhluk sosial adalah makhluk yang tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Salah satu diantaranya yaitu melakukan perdagangan atau jual beli seperti yang dilakukan kebanyakan masyarakat, yakni jual beli jangkrik, ulat, cacing dan semut( kroto )  yang mana penjual menawarkan barang melalui postingan di facebook kepada pembeli dengan harga yang telah disepakati kedua belah pihak. Dengan berkembangnya kehidupan terutama pemanfaatan barang-barang yang awalnya tidak ada manfaatnya, memunculkan praktek jual beli dengan obyek barang yang menjijikkan bahkan barang remeh.

Jual beli yang tidak asing lagi bagi kehidupan masyarakat karena itu sudah merupakan salah satu dinamika perekonomian yang selalu berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, seperti yang dilakukan oleh masyarakat, Jual beli terjadi karena satu pihak memiliki barang dan pihak lain ada yang membutuhkannya. Demikian halnya praktek jual beli yang dilakukan oleh mereka.

Meskipun secara lahiriyah jangkrik, cacing, ulat dan kroto, tersebut menjijikkan dan tidak ada kemanfaatan sama sekali. Karena permasalahan menjijikkan itu bersifat sangat relatif, dimana antara satu orang dengan yang lain berbeda-beda dalam memberikan penilaian tergantung pada kebiasaan, pengalaman, lingkungan dan lain sebagainya maka jual beli terhadap benda-benda tersebut dapat terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa sifat “menjijikkan” sekarang telah mengalami evolusi. Terbukti dengan banyaknya jual beli cacing, bekicot, ulat, jangkrik yang saat ini tidaklah sulit ditemukan bahkan menjadi hal yang biasa dilakukan.

Dari sinilah awal mulanya bagaimana pandangan hukum Islam terhadap pelaksanaan jual beli semacam ini. Jika hal itu di larang bahkan hukumya haram, bagaimana nasib para penjual yang ekonominya tercukupi karena menjual barang itu. Dan ini termasuk dalam maqosid asy syari’ah hifdu al maal.

Tak hanya itu pada zaman sekarang ini banyak sekali para pecinta burung yang mana makanannya adalah serangga, bahkan tidak sedikit orang yang punya banyak uang contoh saja irfan hakim, dia membuat aviary ( kandang burung yang luas ) dimana pemilik melepaskan burung di dalamnya dan bertujuan agar si burung berkembangbiak supaya tidak terjadi kepunahan spesies. Jika dikaitkan dengan maqosid asy syari’ah itu di sebut hifdu al bi’ah.

Akan tetapi banyak kitab fikih yang menyatakan jual beli serangga atau disebut ba’i al khasyarot itu tidak sah, sebagaimana imam jalaludin al mahally dalam kitab kanzu ar roghibin mengatakan ” tidak sah jual beli serangga seperti ulat, kalajengking, jangkrik, semut dan sejenisnya, jika tidak terdapat manfaat padanya”. Jika dimafhum mukholafah dalam artian jika ada manfaatnya maka hukumnya sah.

Baca Juga:  Tata cara (Akad) Jual beli Hewan Kurban di Masa Pandemi

Dalam ulama’ khanafiyah hal tersebut di perbolehkan, dikatakan Hukumnya boleh kalau bermanfaat. Wahbah Zuhaili dalam Al-Fiqhul Islami V/446-447 menyatakan:

ويصح بيع الحشرات والهوام كالحيات والعقارب اذا كان ينتفع به. والضابط عندهم (المالكية)ان كل ما فيه منفعة تحل شرعا لان الاعيان خلقت لمنفعة الانسان بد ليل قوله تعالى هوالذي خلق لكم ما فى الارض جميعا

Artinya: Sah jual beli serangga dan binatang melata, seperti ular dan kalajengking jika memang bermanfaat. Parameternya menurut mereka (mazhab Maliki) adalah, semua yang bermanfaat itu halal menurut syara’, karena semua makhluk yang ada itu memang diciptakan untuk kemanfaatan manusia sesuai dengan firman Allah SWT: “Dialah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.

Dalam permasalahan tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa jika barang tersebut tidak ada manfaatnya maka hukumnya tidak sah, dan jika ada kemanfaatan di dalamnya maka hukum tersebut menjadi sah. []

Rama Nurul Fajar
Santri Maslakul Huda Kajen Margoyoso Pati

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Hukum