Manuskrip

Jaringan Intelektual Ulama Cianjur-Minangkabau-Timur Tengah Abad XIX

(Ilustrasi: zedienz.wordpress.com)

Salah satu koleksi manuskrip yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) adalah naskah bernomor kode (104a) kelompok simpanan K.F. Holle. Naskah tersebut berisi “Syair Tarekat” dan dikarang dalam bahasa Melayu aksara Arab (Melayu-Jawi) oleh seorang ulama dari Minangkabau, yang menyebut identitas dirinya dengan “Tuanku Nan Garang” dan murid dari Syaikh Ismail al-Khalidi Minangkabau (w. 1858 M).

Dalam titimangsa, karya tersebut diselesaikan pada 11 Rabiul Awwal 1303 Hijri (bertepatan dengan 18 Desember 1885 Masehi). Jumlah keseluruhan halaman naskah adalah 10 (sepuluh) halaman, dengan jumlah keseluruhan syair 157 bait, dalam format kertas ukuran besar. Di bagian awal syairnya, Tuanku Nan Garang menulis:

بسم الله ايت اوال برمولا # مموهنكن كرنيا كفد الله
سوفاي نظم جاغن ترسلا # ممبلسكن قصة دهول كلا

(Bismillah itu awal bermula # Memohonkan karunia kepada Allah
Supaya nazhom jangan tersela # membalaskan kisah dahulu kala)

Tuanku Nan Garang dalam karyanya itu banyak mengemukakan kritik dan bantahannya atas risalah yang dirilis oleh Sayyid Usman b. Yahya (w. 1914 M), seorang ulama sentral di Batavia, yang mana dalam risalah tersebut Sayyid Usman b. Yahya mengharamkan aktivitas tarekat karena dipandang menyimpang. Tuanku Nan Garang menulis:

كفد عثمان مغاتوركن سورات # دغن بهاس ملايو سكلا عبارات
لواس فدكو تيدق ضرورة # مدهمدهن منفعة دنيا اخرت

(Kepada Usman mengaturkan surat # Dengan bahasa Melayu segala ibarat
Luas padaku tidak darurat # Mudah-mudahan manfaat dunia akhirat)

اكو مندافت مندغر حبر # سورة طريقة بايق تربير
فربواتن عثمان اورغيغ ببل # مغاف مك تيداق اغكو صبر

(Aku mendapat mendengar kabar # Surat Tarekat banyak terbiar
Perbuatan Usman orang yang bebal # Mengapa muka tidak engau sabar)

Muhammad Shoheh (2013; 2017) telah mengkaji dengan sangat baik atas beberapa aspek dari naskah ini dalam dua artikelnya yang berjudul “Cerita Perbantahan Dahulu Kala: Pembelaan dan Sanggahan Tuanku Nan Garang Atas Kritik Sayyid Uthman bin ‘Aqil Tahun 1885” (terbit di Jurnal Jumantara, vol. 4 no. I tahun 2013), juga “Naskah Surat Tariqah: Kritik Tuanku Nan Garang Atas Sikap Anti Tarekat dan Anti Jihad Sayyid Uthman al-Batawi” (terbit di Jurnal Tsaqafah UIN Banten, vol. 15 no. 1, Januari-Juni 2017).

Selain itu, naskah “Syair Tarekat” ini juga memiliki keterkaitan dengan sejarah gerakan sosial yang cukup menyita perhatian pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang terjadi pada tahun 1885 di daerah Cianjur (juga Sukabumi) di kawasan Priangan (Jawa Barat). Peristiwa bersejarah tersebut dikenal juga dengan “Geger Cianjur 1885”.

Menjelang akhir tahun 1885, masyarakat Sunda-Priangan di Jawa Barat tengah digegerkan oleh sebuah desas-desus yang berkembang di daerah Cianjur dan Sukabumi. Saat itu, pemerintah Hindia Belanda sangat mencemaskan aktivitas para pengikut tarekat Naqsyabandiah Khalidiah di daerah Cianjur dan Sukabumi, karena jumlah anggota tarekat ini dari waktu ke waktu makin meningkat. Para jemaat tarekat Naqsyabandiah Khalidiah ini tidak hanya berasal dari lapisan masyarakat biasa, tetapi juga dari kalangan aristokrat dan pejabat pribumi (menak), termasuk di antaranya adalah Bupati Cianjur, Hoofdpanghulu (Penghulu Besar) Cianjur, Patih Sukabumi, dan Hoofdpanghulu Sukabumi (lihat: Burhanuddin, 2012: 181; Bruinessen, 1992: 106).

Di saat yang bersamaan, Sayyid Usman b. Yahya, seorang ulama berpengaruh yang berkedudukan di Batavia dan memiliki kedekatan dengan pemerintahan kolonial, juga menerbitkan risalah yang mengkritik persaudaraan tarekat, khususnya Naqsyabandiah Khalidiah, karena dianggapnya telah menyimpang dari ajaran Islam. Risalah tersebut berjudul “al-Nashîhah al-Anîqah li al-Mutalabbisîn bi al-Tharîqah”. Di sana, Sayyid Usman b. Yahya juga menyerang sosok Syaikh Ismail b. Abdullah al-Khalidi, ulama besar Minangkabau yang lama berkarir di Makkah pada paruh pertama abad XIX dan juga tokoh sentral tarekat Naqsyabandiah Khalidiah yang punya pengaruh kuat di Nusantara.

Di sisi yang lain, K.F. Holle (panasihat pemerintahan Hindia Belanda untuk urusan pribumi) dan kolabolatornya R.H. Moehammad Moesa (penghulu besar Limbangan, Garut) memandang bahwa pengikut tarekat Naqsyabandiah yang berpusat di Cianjur itu “beraliran fanatik” dan dianggap membahayakan keamanan serta ketertiban, bahkan berpotensi untuk melakukan gerakan perlawanan dan pemberontakan. Risalah Sayyid Usman b. Yahya (al-Risâlah al-Anîqah) pun menjadi dasar argumen keagamaan Holle dan Moesa. Keduanya menyarankan agar pemerintahan kolonial memecat Penghulu Besar Cianjur dan Sukabumi dari jabatan mereka, karena menjadi bagian dari tarekat Naqsyabandiah Khalidiah yang “menyimpang, fanatik dan berbahaya” itu (lihat: Moriyama, 2005: 148-9).

Menariknya, yang membela keberadaan jemaat tarekat Naqsyabandiah Cianjur justru seorang Belanda yang menjabat sebagai Residen Priangan, yaitu Peltzer. Menurut Peltzer, tarekat Naqsyabandiah sudah eksis dan berkembang di Cianjur sejak lebih 30 tahun sebelumnya dan tidak pernah menimbulkan masalah dengan pemerintahan kolonial, apalagi memicu perlawanan dan pemberontakan kepada pemerintah sebagaimana yang dituduhkan oleh Holle dan Moesa. Peltzer justru lebih jauh menganalisis bahwa tarekat Naqsyabandiah dijadikan kambing hitam oleh Moesa untuk melayani ambisi politiknya yang oportunistik. Pasalnya, Moesa bukan hanya anti-tarekat, tetapi juga telah menjadi kolabolator Holle dalam usaha memberangus tradisi literatur Islam yang sudah ratusan tahun lamanya berkembang di Tatar Sunda, yaitu tradisi penulisan aksara Arab Sunda (Pegon). Sejak pertengahan abad ke-19 M, Moesa dan Holle berkolaborasi menerapkan kebijakan untuk mengganti penulisan aksara Arab-Pegon dengan aksara Latin sebagai “identitas baru tradisi literasi masyarakat Sunda”. Hal lainnya, Moesa juga ternyata punya ambisi politik yang sangat tinggi untuk menjadikan anaknya sebagai Bupati Cianjur (Moriyama, 2005: 149).

Terlepas dari polemik antara Tuanku Nan Garang Minangkabau dengan Sayyid Usman b. Yahya Batavia dan juga sejarah “Geger Cianjur 1885” yang penuh intrik politik itu, naskah “Syair Tarekat” ini jika ditelisik lebih jauh ternyata dapat menghantarkan kita menemukan sebuah fakta sejarah yang menarik dan tak kalah penting, yaitu “jaringan intelektual antara ulama Cianjur-Minangkabau-Timur Tengah pada abad ke-19 M”.

Jaringan tersebut dihubungkan dan dipertalikan oleh tradisi tarekat Naqsyabandiah Khalidiah yang berpusat Makkah, dengan tokoh utamanya Syaikh Abdullah Efendi al-Khâlidî (al-Makkî al-Arzinjânî, w. 1240 H/ 1825 M) dan dua orang muridnya yaitu Syaikh RH. Hasan al-Khalidi dari Cianjur (w. 1848 M) dan Syaikh Ismail al-Khalidi dari Minangkabau (w. 1858). Syaikh Abdullah al-Khâlidî sendiri merupakan murid dan khalifah dari Syaikh Dhiyâ al-Dîn Khâlid al-Baghdâdî al-Naqsyabandî (w. 1827), sang inisiator tarekat Naqsyabandiah Khalidiah (Sya’ban, 2018).

Syaikh RH. Hasan al-Khalidi, yang pernah menjabat sebagai penghulu besar Cianjur periode 1830-1834, ditengarai sebagai ulama yang pertamakali membawa tarekat Naqsyabandiah Khalidiah ke Cianjur. Syaikh RH. Hasan al-Khalidi sebelumnya bermukim di Makkah selama kurang lebih 19 (sembilan belas) tahun, di mana ia berbaiat tarekat Naqsyabandiah Khalidiah dari Syaikh Abdullah Efendi al-Khâlidî al-Makkî al-Arzinjânî di Jabal Abu Qubais di Makkah (Muhammad, 2018: 29).

Di bawah kemursyidan Syaikh RH. Hasan al-Khalidi, tarekat Naqsyabandiah Khalidiah berkembang dengan sangat pesat di Cianjur dan seitarnya (Sukabumi, Bogor). Selain mengajarkan ilmu tasawuf dan tarekat, Syaikh RH. Hasan al-Khalidi Cianjur juga mengajar ilmu-ilmu keislaman lainnya di Masjid Agung Cianjur. Pada tahun 1264 H/ 1848 M, Syaikh RH. Hasan al-Khalidi Cianjur pergi dan bermukim di Singapura. Di sana, Syaikh RH. Hasan al-Khalidi Cianjur pun menjadi pengajar agama Islam dan bergabung dengan komunitas tarekat Khalidiah Naqsyabandiah yang berjejaring dengan Syaikh Ismail al-Khalidi Minangkabau. Syaikh RH. Hasan al-Khalidi Cianjur wafat di Singapura pada tahun 1275 H/ 1859 M (Muhammad, 2018: 30).

Kedudukan Syaikh RH. Muhammad Hasan al-Khalidi sebagai mursyid tarekat di Cianjur kemudian diteruskan oleh RH. Abdussalam al-Khalidi (w. 1888 M). Saat masa kepemimpinan RH. Abdussalam al-Khalidi inilah peristiwa “Geger Cianjur 1885” yang berkaitan dengan tarekat Naqsyabandiah Khalidiah terjadi. Tahun di mana RH. Abdussalam al-Khalidi wafat (1888 M), adalah tahun di mana naskah kitab “Syair Tarekat”ditulis oleh Tuanku Nan Garang dari Minangkabau.

Ahmad Ginanjar Sya'ban
Alumnus Mahasiswa Al Azhar, Dosen UNUSIA Jakarta, dan Peneliti Ulama Islam Nusantara.

    Rekomendasi

    Tempa Doa
    Hikmah

    Tempa Doa

    Beberapa minggu yang lalu saya menulis tentang menyuburkan lahan perjuangan. Dimana wirid adalah ...

    Tinggalkan Komentar

    More in Manuskrip