Melalui inbox seorang teman bertanya “apakah benar Islam Nusantara itu Islam yang bernuansa liberal. Kebanyakan orang-orang yang membelanya ada keterkaitan dengan pemikiran liberalisasi Agama”.
Aku bertanya: apakah lslam Nusantara itu? Apakah Liberal itu. Bagaimana bentuknya atau contohnya. Apa kriteria atau ukurannya?.
Hal seperti ini sering juga terjadi pada pernyataan: kita harus menjalankan Islam secara kaffah. Apakah arti kata “Kaffah“.
Atau pancasila itu hanyalah falsafah dan tidak komprehensif. Apakah falsafah itu dan apakah komprehensif itu?.
Teman itu menjawab bahwa dirinya tidak paham semua itu. Aku menjawab lagi: kita tidak bisa menghukumi atau menilai suatu masalah yang kita sendiri tidak mengerti apa sejatinya sesuatu yang dihukum itu?.
Sebuah kaidah berpikir menyatakan :
الحكم على الشيء فرع عن تصوره؛ فلا تحكمْ على شيء إلا بعد أن تتصوره تصوُّرًا تامًّا؛ حتى يكون الحكم مطابقًا للواقع، وإلا حصل خللٌ كبيرٌجدًّا”.
“Menghukumi/menilai sesuatu itu buah dari mengerti esensinya. Apakah ia itu?. Maka janganlah menghukumi/menilai sesuatu kecuali sesudah memahami hakikat sesuatu itu secara lengkap, agar sesuai dengan kenyataannya. Jika tidak, maka akan terjadi kekeliruan besar”.
Al-Quran menyatakan:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya“. (Q.s. al-Isra, 36). [IM]