Bukan, ini bukan tentang gus yang sedang naik daun tersebut. Meskipun mungkin ada sedikit hubungan, namun yang ingin saya tulis disini adalah tentang sifat iqdam, berani maju. Iqdam sendiri dalam kitab idzotun nasyi’in menjadi bahasan pertama, maka tidak heran bila tentang berani maju, atau bapak sering menyebutnya ‘tandang’ ini, menjadi prinsip penting dalam pendidikan ala beliau.
Sebagaimana yang sering saya bahas, bahwa kitab ihya’ adalah salah satu kitab yang menjadi wirid bapak. Setiap kali hatam membaca, pasti akan langsung memulai kembali dari awal. Terus seperti itu sejak awal ada pondok Kwagean, hingga kini, dan mudah-mudahan hingga nanti jauh kebih lama lagi. Dan salah dua lagi kitab wiridan beliau adalah kitab idzotun nasyi’in. Meskipun, kitab ini beliau wiridkan hanya dengan murid kelas terakhir Madrasah diniyah Futuhiyah Kwagean. Maka tak heran, bila kitab yang sering menjadi sumber rujukan sikap beliau adalah kitab ihya’ dan kitab idzotun nasyi’in.
Kesadaran akan pentingnya ‘tandang’ dulu jangan menunggu alim ini, sudah ditanamkan olah bapak sejak mondok di Kencong dulu. Dan semakin tertanam disanubari, sejak beliau didawuhi oleh Allahu yarham Yai mahrus Lirboyo bahwa thoriqoh beliau adalah ngaji. Diceritakan dalam suatu ketika, bapak, Allahu yarham Yai Zam Kencong, dan Almarhum Mbah Haji Anwar duduk dalam satu meja bersama. Kemudian mbah yai mahrus ngendikan: “eh kang, lek moco kitab ojo banter-banter. Koyok ngaji kitab ihya’ ngeneki ojo setahun hatam. Sak orak-orake yo rong tahun (kang, kalau ngaji kitab jangan terlalu cepat. Seperti baca kitab ihya’ seperti ini, jangan setahun hatam. Setidaknya ya dua tahun lah hatamnya). Kemudian ganti ngendikan kepada yai zam: “yai, iki santri sampean thoriqohe ngaji (yai, ini santri sampean thoriqahnya ngaji). Setelah itu ganti lagi matur kepada bapak mertua saya (bapak red) atau kakek saya: “pak, niki anake njenengan thoriqahe ngaji (pak, ini anak anda thoriqahnya ngaji)”.
Pesan dari yai mahrus ini, disamping agar ngajinya jangan terburu-buru, juga menanamkan keyakinan dalam benak bapak untuk teguh dalam ngaji. “Dados geh kulo akhire ngeten, pokok ngaji. Iso gak iso panggah ngaji (jadi, akhirnya saya menjadi pribadi yang seperti ini. Pokok ngaji. Bisa ataupun tidak, tetap ngaji)”.
Pokok ngaji ini bukan hanya slogan belaka bagi bapak, beliau benar-benar pernah dalam posisi pokok ngaji ini. Terutama dalam masa-masa awal berdirinya pondok Kwagean. Salah satu contohnya adalah saat bapak ngaji kitab al-Hikmah. Beliau bercerita:”Kulo pernah ngaos kitab alhikmah fit thiibi wal hikmah. Ingkang nderek ngaos kuatah kiai dugi pundi-pundi. Enten kiai dugi pondok ndresmo, terus kiai yasin pondok petuk niku. Terus enten kiai lintu-lintune (saya pernah ngaji kitab al hikmah fit thiibi wal hikmah. Waktu itu yang ikut ngaji banyak sekali kiai-kiai dari pondok lain. Seperti kiai dari pondok ndresmo, kiai yasin pondok petuk, juga banyak kiai dari daerah lainnya yang ikut ngaji).
“Terus ten tengah-tengah ngaos niku kulo pernah meh mandeg mboten bade kulo terusne maose keranten pun kosong uteke. Kulo muthola’ah gak nemu sampek siang. Terus jam 12 siang kulo akhire ajenge mapan turu niku pun azam, engko bar dzuhur wes tak ndek ngajine, pun sak menten mawon mboten terus (kemudian ditengah-tengah pengajian kitab ini, saya sudah hampir berhenti. Tidak mau melanjutkan membaca karena memang sudah kosong otaknya. Saya sudah muthola’ah sampai siang tidak ketemu-ketemu maknanya. Akhirnya hingga jam 12 siang saya mau berangkat tidur sudah berkeyakinan untuk mengumumkan kepada teman-teman santri bahwa ngajinya sudah cukup disini saja. Tidak bisa lanjut karena saya sudah tidak mampu)”.
“Tapi terus ten njero tilem niku kulo ngimpi, mbuh setan mbuh jin ngoten, tapi rumaos kulo imam suyuti kiambek rawuh terus ngendikan kon nerusne ngajine. Akhire geh kulo terusaken sak iso e. Seng gak iso maknani yo tak woco lafadze tok (namun keanehan terjadi saat saya tidur. Entah itu setan, atau jin, atau siapa. Namun menurut perasaan saya itu imam suyuti sendiri yang hadir dan menyuruh saya untuk melanjutkan ngaji. Akhirnya ya saya lanjutkan ngaji kitab tersebut sebisanya. Yang tidak tahu maknanya ya saya baca lafadznya saja)”.
Dan memang begitulah karakter bapak yang saya tahu. Dan karakter tersebut beliau wariskan kepada kami, anak dan santrinya. Tidak usah menunggu ahli untuk maju tandang ngaji, karena justru dengan ngaji, kita perlahan memperbaiki diri.
Sebagaimana gus iqdam yang awalnya asal maju-majuan, hingga akhirnya maju beneran. Meskipun sebenarnya ukuran kemajuan bukan tentang ketenaran dan atau kekayaan. Tapi kemajuan sejati adalah pribadi yang lebih baik setiap hari. []
#salamKWAGEAN