Pesantren adalah suatu kebudayaan asli (indegenous culture) di Indonesia. Sebagai sebuah institusi yang bercorak tradisionalis di Indonesia, pesantren menjadi tempat yang sakral dan menyimpan banyak harta karun didalamnya. Harta tersebut merupakan nilai yang sangat berharga bagi perkembangan dinamika sarana dakwah islam di Indonesia. Islam tidak melulu berisi doktrin dan teologi, tapi juga tentang kebudayaan dan nilai-nilai etika yang tertancap di dalamnya. Itulah representasi dari harta karun yang dimaksud sebelumnya.
Pembentukan dan internalisasi nilai-nilai etika di pesantren tidak bisa dikatakan sebagai suatu hal yang independen. Dibalik itu ada berbagai elemen yang menjadi penopang dalam merealisasikannya. Elemen tersebut adalah kiai dan santri yang menjadi entitas penting serta sebagai aktor yang saling berinteraksi dalam perwujudan nila-nilai etika di pesantren. Dengan kata lain, hal ini dilakukan demi melanjutkan estafet misi mulia dari Nabi Muhammad SAW yang diutus ke bumi untuk memperbaiki akhlak (etika) manusia.
Selanjutnya adalah bagaimana cara mengkonvergensikannya dalam nuansa beragama dan bersosial di lingkungan pesantren, lebih-lebih bisa mengimplementasikannya di tengah masyarakat dan itu membutuhkan upaya-upaya universalisasi atas etika-etika pesantren, agar bisa diaplikasikan ke berbagai lapisan. Akan tetapi pada tulisan ini, ruang lingkupnya hanya pada pembahasan di dalam dinamika pesantren.
Seperti yang telah umum diketahui bahwa di dalam pesantren terdapat banyak sekali kegiatan dan aktifitas baik itu formal maupun non formal. Kegiatan-kegiatan tersebut meliputi kajian kitab kuning, setoran, hafalan, ngaji quran dan sholat berjamaah. Demi kelancaran berbagai kegiatan-kegiatan, pesantren memberikan konsekuensi kepada para santri jika tidak mengikuti beberapa kegiatan tersebut. Setiap konsekuensi dan kebijakan yang dibentuk atau dirumuskan harus berlandaskan kebijaksanaan. Suatu kebijakan di pesantren haruslah berorientasi terhadap kemaslahatan bersama dan tidak ada salah satu pihak yang dirugikan. Tujuannya adalah menciptakan generasi santri yang mampu menjadi key person yang memiliki etika dan moral yang baik.
Dalam hal ini, berbagai bentuk kebijakan yang diterapkan di pesantren dengan berlandaskan kepada kebijaksaan atau berorientasi terhadap kemaslahatan bersama merupakan ciri khas dari etika utilitarianisme. Utilitarianisme adalah salah satu etika yang atau kebiasaan yang dapat dipandang baik jika mendatangkan kemanfaatan atau kemaslahatan bersama. Utilitarian terbentuk sebagai reaksi dari suatu kebijakan yang cenderung otoriter atau bercorak tiran. Utilitarian hadir sebagai etika yang membawa es dawet segar di siang hari yang panas bagi orang yang kehausan, sebagai kehangatan selimut di tengah dinginnya malam. Oleh karenanya, segala bentuk kebijaksanaan yang ada di pesantren haruslah membawa kebahagiaan dan kemaslahatan bagi setiap elemen di dalamnya.
Sekilas memang nampak dinamika kehidupan di pesantren berjalan begitu baik, lancar dan menyenangkan. Ditambah dengan konsep kebijakan dan konsekuensi yang ada di dalamnya bercorak utilitarian, yakni memiliki fondasi kemaslahatan khalayak banyak. Akan tetapi dibalik itu semua pasti ada suatu hal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai etika kepesantrenan. Pertanyaannya, apakah yang demikian itu dari sisi kebijakan-kebijakannya? Atau dari konsekuensi-konsekuensinya? Atau dari aspek perilaku-perilakunya?.
Sebelum membahas lebih detail dan komprehensif, saya sebagai manusia yang pernah berada di posisi santri atau lebih umum dikenal sebagai alumni pesantren ingin memberikan disclaimer yang kemungkinan besar masih belum banyak dimaklumi oleh sebagian masyarakat. Menurut perspektif saya, kehidupan di pesantren itu dapat dianalogikan seperti rumah sakit yang di dalamnya terdapat Dokter, Suster dan Pasien. Coba kita lihat pasien-pasien yang keluar dari rumah sakit, apakah mereka (pasien) 100% sembuh total atau masih merasa sedikit sakit atau bahkan lebih parah setelah keluar dari rumah sakit?. Begitu juga dinamika kehidupan di pesantren. Masyarakat harus bisa memahami warna-warni karakteristiknya.
Kalau dapat disimpulkan bahwa pesantren itu tidak menjamin seseorang memiliki watak individual yang baik, akan tetapi pesantren bisa membantu untuk menjadi orang yang memiliki personality yang baik. Semua itu kembali kepada jati diri masing-masing. Oleh karena itu, ketika ada oknum santri yang melakukan hal-hal yang tidak relevan dengan nilai-nilai etika kepesantrenan, maka yang seharusnya dipahami oleh seorang yang non-santri adalah tidak boleh menggeneralisir bahwa sosok “santri kok gitu”. Jadi, jangan membawa label “santri”. Fenomena ini yang sering terjadi di zaman sekarang.
Untuk menghindari problema etika yang terjadi di pesantren, maka kebijakan-kebijakan yang dirumuskan haruslah mengandung kemaslahatan bersama dan itu merupakan ciri khas dari etika utilitarianisme. Karena permasalahan yang menyangkut etika merupakan masalah yang komprehensif, masalah yang mengundang perhatian banyak orang. Istilah etika kalau dalam bahasa pesantrennya sering diartikan sebagai akhlak. Oleh karena itu, akhlak yang baik merupakan tameng kuat bagi terciptanya relasi yang harmonis antar sesama manusia.
Dalam hal ini, saya mencoba analisis suatu bentuk kebijakan pesantren yang menurut perspektif agak kurang relevan lagi dengan kondisi era sekarang. Pada zaman ini penyebaran informasi banyak dilakukan pada media online. Hampir seluruh pesantren di Indonesia pasti mempunyai akun media sosial, seperti instagram, fanspage facebook, youtube, twitter dan tiktok. Kemudahan yang ditawarkan dalam penyampaian informasi menjadi salah satu alasan bagi pesantren untuk mempunyai akun media sosial. Akan tetapi, resiko yang akan dihadapi juga pasti dapat ditemukan. Karena semua orang dapat mengakses info yang disebarluaskan.
Berdasarkan pengalaman saya, salah satu contoh fenomena yang terjadi di era sekarang adalah ketika akun media sosial pesantren mengunggah info-info tentang konsekuensi atau sanksi-sanksi bagi santri yang melanggar. Pada saat saya sedang scroll-scroll beranda salah satu aplikasi media sosial, disitu saya temukan akun official dari pondok pesantren, sebut saja pesantren A mengunggah sebuah video yang berisi konsekuensi atau sanksi bagi santri yang ketahuan membawa handphone. Dalam video tersebut berbagai handphone hasil sitaan dikumpulkan menjadi satu di atas meja, kemudian santri-santri yang ketahuan melanggar diperintahkan untuk mengahancurkan handphone kepunyaan sendiri dengan benda-benda tumpul, seperti palu atau batu.
Sebagai seseorang yang pernah menjadi santri, refleksi pribadi saya atas video tersebut terlihat biasa saja, karena memang hal demikian lumrah terjadi pada sebagian pesantren di Indonesia dengan tujuan melatih kedisiplinan para santri dan agar fokus pada kegiatan pesantren. Akan tetapi ketika saya mencoba melihat comment section, terlihat banyak pendapat yang kontra dan kecewa atas konsekuensi yang diterima oleh santri. Berbagai reaksi yang dilontarkan sangatlah beragam. Ada yang berasumsi bahwa hal tersebut malah kontradiksi dengan nilai-nilai keislaman, yakni mubadzir. Ada yang memberikan solusi terbaik dan terkadang ada juga yang sampai hatespeech.
Dari sini, saya mencoba berpikir bahwasanya segala bentuk kebijakan-kebijakan pesantren itu ada masanya. Hendaknya pesantren harus mencoba meracik kembali formula baru atau merevisi kebijakan dan konsekuensi sesuai dengan kondisi di era sekarang. Oleh karena itu, kebijakan atau konsekuensi yang bercorak utilitarian menjadi salah satu senjata ampuh bagi pesantren untuk mengimplementasikannya. []
[…] Source link […]