dari dampar pesantren sampai doktor

“Boleh jadi keterlambatanmu dari suatu perjalanan adalah keselamatanmu”

(Prof. Dr. AG. H. Quraish Shihab, L.c., M.A.)

Jika ditanya orang apa yang bisa menyebabkan saya bisa sampai saat ini adalah selalu berbaik sangka (husnudzon) kepada Allah, karena Allah adalah sebaik-baiknya Dzat yang mengatur. Saya dilahirkan dari keluarga yang sederhana. Ayah seorang kiai kampung yang sekaligus merangkap sebagai ketua Yayasan, dan petani. Ibu seorang pedagang beras dulu pernah menjadi penjahit dan pernah bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Timur Tengah.

Tahun 1996 saya diajak oleh ayah saya untuk jalan-jalan ke Kota Kudus, diajak melihat-lihat pesantren dan madrasah di kota Kudus. Tahun itu kakak perempuan saya sudah lebih awal mondok dan sekolah di Kudus tepatnya di MTs-MA Banat Kudus (sekolah khusus perempuan). Singkat cerita saya Bersama dua teman saya yang bernama kang muji dan kang eko mendaftar di MTs TBS Kudus dan MTs Negeri Prambatan Kudus.

Setelah melihat materi tes, ayah saya berinisiatif untuk mengadakan pelatihan untuk mempersiapkan saya dan kedua teman saya agar bisa diterima di Madrasah Tasywiquth Thullab Salafiyah (TBS) Kudus. Madrasah idola para calon ulama. Kami bertiga diajari nahwu “jurumiyah” shorof “amsilatut tasrifiyah”, Tauhid “akidatul awam”, Fikih “Fatkhul Qorib” belajar menulis arab jawa (pegon) serta diajari imla’ dll. Selama kurang lebih dua minggu full di mushala yang didirikan ayah “mushala alhikmah”.

Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba, kami bertiga mengikuti tes di dua madrasah tadi (MTs Negeri Prambatan Kudus & MTs TBS Kudus). Singkat cerita kedua teman saya tadi (kang muji dan kang eko) diterima di MTs TBS Kudus sedangkan saya hanya diterima di Madrasah Persiapan Tsanawiyah (MPTs), harus mengulang dua tahun lagi. Selain itu ada kabar baik, saya diterima di MTs Negeri Kudus.

Saya masih ingat sekali waktu itu saya menangis di bawah Masjidil Aqso Menara Kudus yang sekaligus kompleks pemakaman Sunan Kudus. Ayah saya berkata “Mid kue milih Ijazah opo Ilmu?” saya masih menangis tak henti-henti. Sedih kecewa memang, kenapa ayah saya yang mengajari kami bertiga tapi malah saya sebagai anaknya tidak lulus tes. Saya sebenarnya malu sama ayah, memang diantara kami bertiga, sayalah yang paling rendah kecerdasannya. Kami bertiga adalah Rangking 1, 2 dan 3 lulusan MI Sultan Agung 03 Gadingan Kedungwinong Sukolilo Pati, madrasah yang berada di perkampungan yang jauh dari perkotaan.

Kang Eko merupakan langganan juara kelas dan dia selalu mendapatkan Rangking satu di setiap tahun. Sedangkan Kang Muji adalah siswa teladan yang mulai kecil sudah terlihat jiwa kepemimpinannya, mulai dari ketua kelas, ketua pramuka, ketua cerdas cermat dan lain sebagainya. Sedangkan saya orang biasa dengan kecerdasan yang biasa-biasa saja. Hanya ketekunan dan sikap untuk selalu belajar yang selalu saya utamakan.

Baca Juga:  Mbah Moen dalam Kenangan Santrinya

Singkat cerita saya memilih untuk mengulang dua tahun di Madrasah Persiapan Tsanawiyah TBS Kudus. Tidak tahu faktor apa yang mendorong saya waktu itu untuk lebih memilih mengulang Kembali dua tahun. Walaupun terlambat akhirnya saya bisa menyelesaikan dengan baik mondok sambil sekolah saya di Kota tinggalan Sunan Kudus ini.

Kurikulum di madrasah saya adalah perpaduan antara salaf dan khalaf, gabungan kurikulum pesantren dan kurikulum pemerintah. Kalau tidak salah hitung, kurang lebih sekitar ada 28 mata pelajaran di madrasah kami. Mulai jurumiah, imrithi, mutammimah, alfiah dan ibnu aqil, mulai dari Qur’an Hadis, sampai dengan Matematika, Fisika dan kimia. Kami juga mendapatkan dua ijazah sekaligus yaitu ijazah dari Madrasah TBS (Berbahasa Arab) dan Ijazah dari Pemerintah MTs-MA.

Kota Kudus merupakan kota kedua bagi saya. Karakter saya diukir oleh guru-guru saya, selain ketekunan, sikap mau belajar, berbaik sangka (husnudzon) adalah kunci bagi saya. Singkat cerita, setiap kejadian yang membuat saya sedih kecewa, saya selalu berbaik sangka karena saya selalu yakin bahwa Allah telah menyiapkan saya sesuatu yang lebih baik.

Sampai pada suatu ketika saya melanjutkan kuliah diploma dua di IAIN Walisongo Semarang. Ketika masuk saya tidak termasuk mahasiswa yang paling bagus nilainya (terlihat nilainya) tapi Ketika proses perkuliahan saya selalu antusias untuk belajar materi kuliah dan belajar berorganisasi sekaligus. Banyak orang mempunyai pandangan bahwa biasanya seorang yang aktivis itu akademiknya jelek dan begitupun sebaliknya banyak orang yang akademiknya bagus biasanya tidak mau aktif di organisasi. Alhamdulillah saya mampu menjawab bahwa saya seorang aktivis tapi juga menjadi wisudawan terbaik.

Saya aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) sekaligus terpilih menjadi Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Diploma Dua Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, di tengah-tengah kesibukan berorganisasi saya diam-diam selalu belajar di tengah-tengah waktu kesibukanku dan alhamdulillah 2006 dinobatkan sebagai wisudawan berprestasi tertinggi.

Ketika menjadi aktivis saya pernah mengikuti seleksi beasiswa dan akhirnya saya gagal dengan alasan saya seorang mahasiswa diploma bukan mahasiswa sarjana, kecewa pasti. Namun, dalam lubuk hatiku yang paling dalam, saya ikhlas dan ridha kepada ketetapan Allah, saya berbaik sangka mungkin orang lain lebih membutuhkan daripada saya.

Baca Juga:  Sekilas Kitab Siraj al-Thalibin Karya Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan

Setelah lulus kuliah diploma dua sambil mengajar di Madrasah rintisan ayah, saya ikut aktif di Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama Kecamatan Sukolilo, Ketika itu ada Konferancab PAC IPNU-IPPNU Kec. Sukolilo dan saya diamanahi sebagai Ketua PAC IPNU Kec. Sukolilo 2007-2009 dan alhamdulillah saya dibantu oleh Kang Muji dan Kang Eko teman seperjuangan Ketika di TBS Kudus, sambil melanjutkan kehausan akan ilmu saya melanjutkan kuliah di STAIN Kudus (sekarang IAIN Kudus).

Dalam berjalannya waktu PAC IPNU Sukolilo dinilai berjalan baik dan berprestasi sehingga mengantarkan saya terpilih sebagai Ketua PC IPNU Kab. Pati 2009-2011 dalam Konfercab di Puspela Kajen. Bismillah dengan niat berkhidmah dan belajar dan sesuai pesan ayah saya “mid diniati belajar dan Khidmah kepada para Ulama NU insya Allah berkah”.

Sukolilo menuju Pati ditempuh kurang lebih sekitar 30-40 menit, jika menggunakan sepeda motor kira-kira 27 km sekali jalan menuju kantor PCNU Kab. Pati yang bertempat di samping RSUD Pati dan sering keliling kabupaten pati yang mempunyai dua puluh satu kecamatan. Di sini saya belajar banyak tentang organisasi dan tabarukan dengan kiai-kiai se-kabupaten Pati.

Di sela-sela aktif di PC IPNU Pati saya menyelesaikan kuliah S1 saya di STAIN Kudus dan alhamdulillah lulus Cumlaude pada tahun 2009. Pasca lulus PC IPNU Pati mengadakan “Sanlat Mata Air” salah satu program dari PP GP Ansor waktu itu yang intinya mencetak santri-santri intlektual. Saya bersama rekan-rekan berhasil menyeleksi sekitar 80 santri-santri se-kabupaten Pati (40 Jurusan IPA, 40 Jurusan IPS) yang digembleng selama 40 hari agar bisa menembus universitas-universitas top Indonesia.

Singkat cerita malam itu bakda isya’ para peserta sanlat mata air terjadwal ada acara motivasi, Gus Fasihullisan salah satu senior Pati yang sedang menempuh studi doktor di UNS Solo (Santri PP Al-Hikam Malang), saya kebetulan bertugas sebagai moderator mendampingi beliau, dengan semangat empat lima beliau berapi-api menyemangati para peserta sanlat mata air Pati dan ternyata secara tidak langsung saya juga terkena imbasnya.

Acara sudah selesai, gus fasihullisan sudah pulang, namun malam itu saya tidak bisa tidur, saya merenungkan ucapan-ucapan dari gus fasihullisan, saya malam itu berfikir saya bisa menghantarkan 80 orang santri Pati menuju kampus-kampus top di Indonesia, masak saya hanya puas dengan keilmuan saya (sarjana), maka malam itu saya browsing-browsing internet mencari S2 di kampus-kampus top yang kemungkinan masih membuka pendaftaran dan akhirnya saya menemukan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).

Baca Juga:  Setelah Anak Bersekolah atau Mondok, Lantas Orangtua Ngapain?

Setelah saya siapkan administrasinya akhirnya saya modal nekad bismillah saya memberanikan diri niat belajar dan melanjutkan ke pascasarjana. Atas restu dan dukungan orang tua, senior, Pembina saya nekad S2 di UNY tanpa beasiswa (karena belum tahu caranya) saya kuliah sambil bekerja di jurusan yang berbeda dengan S1 saya. Pagi kuliah sampai sore, sore sampai malam bekerja dan tengah malam baru bisa belajar tentang materi-materi yang diajarkan di kampus, prinsip saya pada waktu itu “saya bekerja untuk hari ini, dan saya belajar untuk hari esok”.

Cita-cita saya sederhana waktu itu saya bisa selesai tepat waktu dan agar tidak membayar kuliah lagi karena lumayan membayar kuliah S2 di UNY waktu itu. Saya selalu membayar di hari terakhir pembayaran, karena harus mengumpulan uang sedikit semi sedikit. Selama dua tahun saya makan seadanya biasanya saya membawa beras dari rumah dan memasaknya dengan lauk seadanya. Salah satu lauk favorit saya adalah sambel gereh buatan ibu saya, biasanya ibu saya membawakan saya ketika saya mau berangkat ke Yogya. Lauk ini merupakan lauk favorit mulai zaman saya di pesantren.

Alhamdulillah dengan segala keterbatasan, di tengah kuliah sambil bekerja dan kuliah di luar jurusan S1 saya, saya mampu menyelesaikan S2 saya di UNY dengan nilai yang baik Cumlaude dan akhirnya setahun setelah itu memberanikan diri melamar seorang gadis yang sekarang menjadi istri saya.

Lulus dari UNY September, Oktober ada lowongan PNS besar-besaran, awalnya saya mau mendaftar di Aceh tapi saya melihat ada lowongan di Surabaya maka dengan restu istri, guru dan kedua orangtua saya beranikan mendaftar di UIN Sunan Ampel Surabaya dan alhamdulillah diterima, 2014 saya resmi menjadi dosen CPNS di Surabaya.

Setelah mengabdi dua tahun ada informasi tentang beasiswa 5000 doktor dari Kemenag RI dengan ikhtiar disertai doa, alhamdulillah prasangka baik saya zaman ditolak beasiswa; ketika masih Diploma dua diganti secara langsung oleh Allah dengan mendapatkan beasiswa S3 Teknologi Pembelajaran di Universitas Negeri Malang (UM). Tidak hanya itu, saya juga diterima menjadi Pegawai Negeri Sipil di UIN Sunan Ampel Surabaya.

Saya haqqul yaqin semuanya tidak lepas dari prasangka baik (husnudzon) sama Allah, berkah khidmah di Nahdlatul Ulama serta doa orang tua, teman dan guru-guru. Untuk beliau semua, al-Fatihah. []

dari dampar pesantren sampai doktor

Abdulloh Hamid
Co-Founder Pesantren.id, founder Dunia Santri Community, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di pengurus pusat asosiasi pesantren NU (RMI PBNU)

Rekomendasi

1 Comment

Tinggalkan Komentar

More in Kisah